Kamis, 07 Juli 2011

End ? (2/3)

Buku-buku tebal dengan sampul kaku tersebar di hadapanku, dengan sebuah stabillo berwarna merah muda aku menandai kalimat-kalimat yang ku perlukan dan kemudian menyalinnya di buku catatanku. Terkadang sesekali aku meraih kamus bahasa inggris yang terbuka lebar untuk mencari arti kata yang tak ku mengerti. Melelahkan namun aku menyukainya.

“Hoampp..” reflek aku langsung menoleh ke arah jam dinding ketika rasa kantuk itu berhasil meraih kesadaranku setelah tadi tertelan oleh timbunan teori dan tugas yang ku kerjakan. Sudah pukul satu pagi ternyata, waktu memang berjalan cepat. Aku meregangkan otot-otot tubuhku, duduk selama empat jam lebih memberi efek letih padaku.

Inilah rutinitasku tiga bulan belakangan ini. Sekolah di negeri orang dengan bahasa ibu yang berbeda jauh dari yang aku gunakan sehari-hari membuatku harus sedikit lebih bekerja keras untuk mengejar ketinggalan. 



Hariku hanya di isi dengan waktu di kampus dan di rumah, itupun selalu saja ada buku yang menemaniku, membuatku terlihat seperti kutu buku.

Dan kegiatan-kegiatan ini tidak hanya membuatku kehilangan waktuku untuk diriku sendiri, tapi juga semakin memupuskan jarakku dengan dirinya, Siwon oppa.

Sudah enam bulan aku memutuskannya. Dan masih ku ingat ketika tiga bulan lalu saat keberangkatanku, dengan beraninya ia berbicara seperti itu di depan publik. Dari berita yang ku ikuti, aku mengetahui bahwa sejak pernyataan nekatnya itu, oppa menjadi selebriti yang keberadaan dan beritanya paling banyak dicari. Untungnya tidak ada satupun netizen korea yang berhasil melacak keberadaanku disini, hingga aku bisa hidup dengan tenang.

Di awal ia masih sering mengirimiku email yang selalu di akhiri dengan pernyataan “masihkah ada kesempatan kedua untukku menempati ruang di hatimu lagi Eun Ah ?” Namun karena perbedaan waktu yang begitu signifikan dan kesibukanku terkadang aku tak sempat membalas emailnya. Aku sendiri tak dapat memastikan perasaanku padanya saat ini.

Ia masih namja terbaik di mataku. Tapi merajut kembali kisah kami dengan jarak yang semakin jauh seperti ini membuatku harus berpikir ribuan kali untuk kembali. Ia tak pernah menyakitiku, tak pernah mengkhianatiku dan tak pernah membohongiku. Meski sampai saat ini tak pernah ada rasa sesal karena aku telah memutuskan untuk melepaskan diriku darinya tapi aku tahu, itu adalah tindakan terburuk yang aku ambil sepanjang hidupku.

“Aish Eun Ah, kenapa kau jadi memikirkan tentangnya ?!” rutukku sambil menghela napas. Aku menatap tugasku yang jadi terbengkalai, namun sekarang nafsuku untuk mengerjakannya entah telah menguap kemana. 
Mataku melirik semangat ke arah laptop, mungkin berselancar di dunia maya dapat me-refresh otakku. Dengan semangat segera kunyalakan benda persegi panjang, yang lagi-lagi berwarna merah muda itu, dan ku sambungkan dengan koneksi internet.

Aku memang tergila-gila dengan warna pink. Hampir seluruh benda yang ku punya mulai dari sikat gigi hingga sepatu selalu ku usahakan untuk berwarna pink. Dulu jika aku berkunjung ke dorm, aku paling suka mengobrak-abrik kamar Sungmin oppa dan memintanya memberiku koleksi-koleksi benda pink-nya padaku dengan cuma-cuma.

Setelah sambungan internetku tersambung, aku langsung mengklik akun yahoo email-ku yang menunjukkan sebuah email baru yang belum ku buka. Aku tersenyum sendiri ketika menemukan siapa yang mengirimiku pesan elektronik ini. Namja tampan yang sejak beberapa menit lalu memenuhi otakku.

To : Eun Ah
From : Choi Siwon
Subject : aku merindukanmu

Aku merindukanmu, Eun Ah..
Rasanya begitu pedih, ketika aku lelah aku tak bisa lagi menelponmu ditengah malam buta hanya untuk mendengar suara renyahmu. Dan terlebih lagi, rasa sesak semakin menjadi ketika aku bahagia dan bukan kau yang ada di sebelahku untuk dapat kubagi kebahagiaan itu
Kau memang yeoja paling ‘keras’ yang pernah ku temui, dan aku adalah laki-laki terbodoh yang telah menyia-nyiakanmu. Mungkin kau lelah menghadapiku yang selalu memohon kesempatan kedua padamu, mungkin di matamu aku sudah tak ada artinya lagi, tapi bolehkah aku memohon satu kepadamu ? ..ahh ya aku tahu, aku telah banyak meminta sebelum ini, tapi aku sungguh berharap kau dapat mengabulkannya yang kali ini..
Lusa aku mendapat jatah libur beberapa hari dan aku akan ke London, bisakah kita bertemu ? sekali ini saja, setidaknya biarkan aku melepaskanmu dengan cara yang lebih layak daripada perpisahan menyakitkan kita dulu, izinkan aku melihat senyummu sekali lagi, aku mohon
Aku akan tiba kamis pagi waktu sana dan aku akan menunggumu di London Eye, tempat impianmu dulu, ku harap kau kau dapat menemuiku karena aku akan terus menunggumu,
Saranghae Eun Ah

-Choi Siwon-

Beberapa kali aku mengulangi membaca deretan kalimat di layar laptopku tersebut, sedikit kaget dengan keputusannya untuk menemuiku. Dan rasa kagetku itu berubah menjadi mendebarkan ketika ku tatap sudut bawah kiri layar laptopku, menyadari bahwa ini sudah hari kamis. Hari kamis.

Apa yang harus ku lakukan ?

Dapatkah aku menemuinya ?

...akankah hatiku memberinya kesempatan kedua ?

***

Tidak biasanya aku begini. Dosenku sedang menerangkan di depan kelas dan aku hanya mengetuk-ngetukkan pulpenku ke meja, sambil sesekali melayangkan pandangan mataku kearah jendela. Aku ada kelas dari tadi pagi, dan aku tidak berani menebak, apakah Siwon benar-benar menantiku di London Eye karena sekarang sudah hampir tengah hari.

Mata kuliah ini akan selesai lima belas menit lagi. Namun sesungguhnya aku sendiri belum terlalu yakin untuk menemuinya, meski aku tidak sejahat itu untuk tidak mengacuhkannya yang telah jauh-jauh datang dari Seoul kemari.

Aku memejamkan mataku, menghela napasku perlahan. Mencoba mencari jawaban dalam hati kecilku, apa yang harus ku lakukan nanti.

***

Kakiku melangkah kecil menyusuri trotoar jalan sepanjang sungai Thames, London Eye yang begitu menjulang tinggi itu telah tertangkap oleh mataku. Hilir mudik pejalan kaki lain yang berbagi jalan setapak ini denganku membuat tubuh mungilku seolah tenggelam dalam kota sibuk ini. Aku berdiri diam dibawah lampu jalan, menatap lurus ke arah titik-titik orang yang ada tepat di bawah London Eye, dan tanpa perlu bersusah payah, aku langsung menemukannya.

Aku tertawa kecil melihat penampilannya. Ia sungguh terlihat bodoh dengan duduk di atas kopernya seperti itu. Maksudku ada banyak kafe kecil dan bahkan bangku taman disekitar sini. Dengan memantapkan hati, aku berjalan mendekat ke arahnya. Diam-diam aku tak mampu membohongi hati kecilku bahwa, ya aku begitu merindukan pemilik wajah rupawan tersebut.

“Oppa..” panggilku pelan. Ia langsung mengangkat wajahnya, dan tersenyum begitu manis ke arahku.

“Kau datang juga Eun Ah ? ku pikir aku akan perlu melihat matahari terbenam dulu disini” sahutnya dengan intonasi yang biasa-biasa saja. Tidak dengan emosi selayaknya orang yang baru saja dibuat menunggu selama kurang lebih tujuh jam dalam suhu 15 derajat dan angin yang cukup kencang.

“Oppa sedang menyindirku ?”

“Haha..” ia tertawa, terlihat bahagia, meski muka putihnya telah terlihat merah dan bibirnya memucat. 
“Kemarilah...aku begitu merindukanmu..” dengan tangannya yang panjang, ia menarik tanganku dan langsung mendekap tubuhku.

“Bahkan jika kau memintaku untuk menunggu selama seminggu disini, aku akan benar-benar diam disini, akan aku buktikan bahwa aku benar-benar masih dan akan selalu mencintaimu Eun Ah..” suaranya yang berat itu menelusup ke dalam telingaku. Membuat degup jantungku berpacu lebih cepat.

Aku hanya diam, tidak meresponnya meski hanya dengan anggukan kepala. Aku sendiri masih tetap belum mengerti jalan apa yang harus aku putuskan setelah pertemuan ini. Dan kami terus saja saling berpelukan, menautkan diri kami yang sudah berbulan-bulan tak bersua. Seolah tubuh ini mewakilkan segala gundah, bahwa keinginan untuk bersama itu masih sebegitu besar.

“Apa kau tidak merindukanku Eun Ah ?” tanyanya, jelas sekali ku dengar nada berharap disana. 
“Haha..pabonya diriku, tentu saja kau tidak akan merindukanku, hanya aku yang merindukanmu, begitu merindukanmu..”

“Oppa..” desahku pelan.

“Ne..”

Aku menengadahkan wajahku, menatap wajahnya, melihat garis-garis kesempurnaan disana. Hidung mancungnya, bibir merahnya, tatapan matanya yang tajam, alisnya yang tebal..ahhh..aku masih mampu mengingat semua lekuk wajah itu.

“Ayo kita mengobrol oppa..”

“Ayo kita naik London Eye..” ungkapnya, masih sambil tersenyum, dan dengan gesturenya yang khas ia menunjuk kapsul-kapsul transparant yang ada di belakang kami.

“Oppa yakin ? tidak ingin makan siang dulu ?”

“Apa kau lapar ?”

“Ani..aku sudah makan tadi di kampus”

“Kalau begitu ayo kita naik ini dulu baru makan nanti” ia menggenggam tanganku, dan menggandengnya menuju London Eye, sementara tangannya yang lain menarik kopernya yang berukuran sedang. Meski tangannya terbungkus oleh sarung tangan, namun kehangatan dari genggaman itu masih dapat kurasakan.

Dan, ahh ya..aku baru menyadarinya, bahwa itu adalah sarung tangan rajutan dariku, hadiah untuk hari jadian kita yang pertama. Aku ingat bagaimana aku hampir begadang selama hampir sebulan hanya untuk merajut itu, dan bagaimana bahagianya Siwon oppa setelah menerimanya, ia bahkan memamerkan benda itu kepada seluruh member Super Junior dan tidak pernah lupa membawanya kemanapun.

“Eun Ah..gwenchanayo ?” tanya Siwon oppa sambil melambaikan tangannya di depan mataku.

“Gwenchana oppa, wae ?”

“Kau tidak suka naik London Eye bersamaku ?”

Aku memandang berkeliling dan baru sadar bahwa aku sudah ada di dalam London Eye yang sedang bergerak naik. “Ani oppa..aku senang ..”

“Kau masih ingat Eun Ah ? dulu kau bilang, kau ingin mendatangi setiap tempat yang menjadi trademark sebuah kota bersamaku. Apakah keinginan itu masih berlaku ?”

“Apakah oppa masih mempunyai waktu untukku ?” tanyaku diplomatis. Membuat senyum yang sedari tadi terlukis di bibirnya memudar sedikit.

Ia menghela napasnya sesaat, memandangku sekilas, dan kemudian mengalihkan perhatiannya keluar, memandangi sungai Thames yang tenang. “Jadi kau ingin kemana setelah ini ? bagaimana bila kita ke Taj Mahal ? atau kau ingin melihat peradaban suku Inca terlebih dahulu ? hmm..bagaimana jika kita ke kuil Partheneon ? ahh ya, kau tentu masih ingat kan bahwa kau begitu ingin ke Verona hanya untuk melihat  rumah yang ditinggali Shakespeare dan menuliskan nama kita berdua di kusennya ? iyakan ?”

“Oppa..” selaku pelan.

Tapi seolah tak mendengar, ia tidak menggubrisku sama sekali. “Dan bagaimana dengan impianmu untuk naik gondola bersamaku di Venesia ? lalu kita akan ke Italia untuk mencari restaurant pizza terbaik, dan aku akan menemanimu ke Prancis untuk mencicipi anggur terenak sejagad raya, lantas kita akan ke Belanda dan membeli banyak keju, makanan kesukaanmu..”

“Atau impian-impian kecilmu, memintaku untuk menemanimu ke pasar tradisional di Seoul dan kita akan membuat kimci, kita pergi ke taman hiburan dan naik halilintar sepuasmu, atau bermain ice skating hingga tangan kita membeku..”

“Oppa ! berhenti, dengarkan aku” potongku lagi, lebih keras kali ini. Membuatnya terhenyak dan lantas terdiam.

“Aku tanya, seberapa banyak waktu yang bisa oppa berikan untukku ?” aku kembali menanyakannya tentang ‘waktu’ sesuatu yang simpel namun begitu penting dalam hubungan ini.

Ia masih diam, tampak berpikir. “Aku mencintai apa yang saat ini aku dapatkan dan aku jalani..” ujarnya pelan.

“Tapi kau tahu, semenjak kepergianmu dari hidupku, semuanya terasa berbeda, kehilanganmu membuat hidupku tak lagi sama, kau telah menutupi semua rongga dalam tubuhku dan saat kau pergi begitu saja, maka semua rongga itu terbuka membuatku nyaris kesulitan bernapas..” sambungnya dengan penekanan hampir di setiap kata. Membuatku hanya mampu untuk menyimaknya tanpa bersuara.

“Sebelum kesini, aku telah memikirkan semuanya, dan aku rasa, aku siap jika kau memintaku untuk melepas duniaku, kau tinggal bilang dan aku akan segera mewujudkannya”

Aku terbelalak mendengar pengakuan itu. “Dan kemudian, aku akan dibenci oleh seluruh siwonest dan elf di seluruh dunia, mereka tidak akan segan-segan memutilasi tubuhku dan membuatku tersiksa”

“Apapun yang terjadi, oppa tidak akan pernah bisa meninggalkan dunia itu, dan akupun tidak akan memintamu untuk meninggalkannya, aku mengerti seberapa besar oppa ingin ada di posisi oppa saat ini. 
Namun aku juga hanyalah seorang wanita egois yang tak mampu lagi untuk bersabar di sisi oppa, memang jalan ini yang terbaik untuk kita..” lanjutku, menunduk tanpa mampu menatapnya.

“Jalan terbaik untuk kita ? atau untukmu saja Eun Ah ?!!” untuk pertama kalinya, nada bicaranya menjadi lebih tinggi, nyaris membentakku.

“Untukku ? aku juga sakit atas perpisahan kita, yang aku rasakan juga perih, tapi lebih perih bagiku jika terus bersamamu sementara batinku berteriak”

“Kita sama-sama merasakan sakit, untuk apa kita berpisah kalau begitu..” Siwon menyentuh daguku, mengangkatnya perlahan, mengarahkan pandangannya yang begitu rapuh kearahku. Belum pernah sebelumnya ku lihat mata itu memancarkan sesuatu yang seperti itu.

Kapsul yang kami naiki berhenti tepat di atas. Dan kami hanya diam. Saling berpandangan. Menikmati sedih yang sesungguhnya sama-sama terpeta di mata kami. Aku sendiri berusaha menyelami egoku, terbersit untuk mematahkannya dan membuangnya ke tempat sampah lantas berlari menyongsong bahagiaku bersama oppa.
Tapi akankah aku bahagia ?

Sementara setelah dua tahun, waktu yang kurasa tak bisa dibilang singkat, rasa pedih dan sesak malah semakin menghimpitku erat ketika terus mencoba untuk berjalan di sampingnya. Apalagi saat ini aku masih harus tinggal di London untuk beberapa waktu.

Berkumpulnya detik menjadi menit terasa begitu amat panjang. Kemegahan gedung parlemen yang dapat terlihat jelas dari atas sini tak mampu membius kami. Aku masih saja bergulat dengan hatiku, dan entahlah dengannya, yang jelas ia masih saja terus menatapku. Memamerkan sorot mata kehilangan dan pengharapannya. Menimbulkan miris tak terkira di hati.

Dan akhirnya London Eye kembali berputar, turun ke bawah, dan bukankah memang hidup seperti ini ? Berputar layaknya roda, tak akan selamanya bertahan di atas, meski di atas tadi semua terasa begitu indah, namun jika di dalam hati kita tak mampu merasakannya maka keindahan itu hanya akan menjadi gumpalan asap yang menghilang perlahan dan meninggalkan kehampaan.

Meski tetap tak bersuara, ia kembali menggenggam tanganku ketika kami turun. Angin kencang yang cukup dingin langsung menerpa wajah, dan ia, memasukkan tangannya yang sedang menggenggamku ke dalam saku mantelnya. Dan masih tanpa sepatah katapun, aku dan oppa berjalan. Menyusuri jalan berbatu di kota London. Menikmati kesepian yang entah mengapa kami ciptakan.

“Disini saja oppa” ucapku akhirnya, menghentikan langkah di depan sebuah kedai kopi kecil yang tampak sederhana di antara jejeran toko-toko di sepanjang jalan ini.

Ia menurut, dan kami masuk ke dalam. Tangan kami masih saling bertaut bersembunyi di balik saku mantelnya. Aku dan dia duduk bersebelahan, menghadap pemandangan di luar.

“Pesankan aku apa saja” ujarnya, bahkan sebelum aku bertanya. Aku hanya mengangguk, dan mulai 
memesan kepada pelayan yang menghampiri kami.

“Apa kau bahagia berada disini ?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku bisa menghabiskan lebih dari separuh hariku berada di kampus dan aku rasa, aku menikmatinya”

“Baguslah kalau begitu, jangan lupa untuk makan dan istirahat, kau tampak lebih kurus sepertinya, dan jangan pelit waktu untuk membalas emailku”

“Ne, aku paham..oppa juga, sempatkanlah untuk beristirahat di sela-sela jadwalmu, aku dengar oppa sakit kemarin”

“Kau mengkhawatirkanku ?” tanyanya antusias.

“Tentu saja banyak yang mengkhawatirkan oppa”

Jawaban diplomatisku hanya membuatnya tersenyum. Tak lama kemudian pesanan yang kupesan di antarkan. Waffle dan coklat panas.

“Aku tidak bisa makan jika oppa terus menggenggam tanganku”

“Haha..mianhe..” entah kenapa, aku merasa lega melihatnya tertawa. Apapun yang telah ku lakukan, aku tetap tak mampu melihatnya terluka seperti tadi.

“Makanlah oppa, waffle disini sangat enak..”

“Ahh ya tentu saja akan ku makan, aku sangat lapar..”

“Kapan terakhir oppa makan ?”

“Seingatku tadi malam ketika di pesawat” sahutnya enteng, sambil mulai memotong-motong wafflenya dengan garpu.

Aku jadi ingat, bahwa tadi aku telah membuatnya menunggu hampir setengah hari, dan ternyata ia menungguku dengan perut kosong, perasaan bersalah langsung merayapiku.

“Mianhe oppa..”

“Wae ?”

“Karena telah membuatmu menunggu sedemikian lama tadi, aku ada kuliah dan aku baru membaca emailmu tadi subuh”

“Tidak masalah, bukankah sudah kubilang, yang penting kau datang, selama apapun aku harus menunggu”

“Lagipula, kenapa sih oppa harus menungguku disitu ? bukankah disekitar London Eye juga banyak kafe, oppa kan bisa sarapan..”

Ia menyeruput coklat panasnya sedikit dan mengenggam gelasnya yang hangat. “Karena aku ingin ketika kau datang, kau akan langsung bisa menemukanku, aku tidak ingin membuatmu kesulitan, sudah cukup banyak kesulitan yang aku timpakan padamu..”

Tiba-tiba saja mataku terasa panas dan penuh air. “Mianhe oppa..” desahku lagi sambil menunduk kali ini.

“Kau tidak melakukan kesalahan apapun Eun Ah..” ia meletakkan gelasnya dan langsung memelukku, yang malah membuat tangisku semakin keras hingga tubuhku bergetar hebat dipelukannya.

“Mianhe oppa, mianhe..aku tidak bisa, aku tidak mau menjalani hubungan jarak jauh. Aku memang egois, aku tidak dapat memahami posisimu, aku tahu, aku terlalu menuntut banyak darimu..” aku mencoba berbicara meski harus diselingi dengan isakkan. Sementara beberapa orang di kafe itu mulai menatap kami bingung, namun aku tidak peduli.

“Percayalah, aku juga sakit ketika harus pergi darimu, aku juga tidak pernah mengira hubungan kita akan menjadi seperti ini, tapi aku tidak bisa. Aku rasa ini memang yang terbaik untuk kita oppa..ini memang berat tapi aku yakin kita pasti bisa, jadi tolong berhentilah membuatku merasa bersalah..lepaskanlah aku oppa, ku mohon..” semua yang ku pendam, setelah selama ini aku berusaha untuk tidak menangis, menegarkan diri menghadapi perpisahan ini, akhirnya hari ini aku malah berlinang air mata mengungkapkan semuanya.

“Aku mengerti Eun Ah, aku mengerti..” bisiknya sambil membelai punggungku, menenangkanku. Dan kelembutan itu seolah mengingatkanku pada kilatan kenangan di antara kami. Oppa yang dulu selalu menghapuskan air mataku, ketika aku menangis menyaksikan drama tv kesukaanku, ketika aku mendapatkan nilai buruk di ulanganku, ketika aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan, maka pada saat itulah, oppa selalu ada untuk membuatku tegar. Termasuk juga hari ini.

Aku masih terus terisak di dadanya, dapat ku cium aroma khas parfumnya. Ia juga masih terus membelaiku. Hingga sore berawan itu terasa begitu syahdu.

***

Ini hari ketiga sekaligus hari terakhirnya disini. Karena kesibukanku, aku tidak bisa terus menemaninya selama disini. Tapi untuk hari ini, diam-diam aku membolos kuliah untuk mengantarkannya ke bandara. Dan disinilah aku dan Siwon oppa sekarang, dilatari arsitektur bandara Heathrow yang klasik namun juga modern. Aku berdiri berhadapan dengannya yang sesaat lagi harus segera kembali ke Seoul.

“Apakah aku harus benar kembali ke Seoul ? tidak bisakah aku tetap disini ?”

“Dan manajer oppa tidak segan untuk membunuh oppa aku rasa..haha..”

“Aish, dia tidak setega itu, tidak sepertimu..haha..”

“Oppa !”

“Haha..aku hanya bercanda Eun Ah, terimakasih untuk tiga hari yang berkesan ini..”

“Berkesan apanya, aku bahkan tidak bisa menemanimu..”

“Haha..anggap saja itu karmaku karena jika di Seoul akulah yang tidak bisa memberimu waktu”

Aku hanya tersenyum. Pertemuan ini memang tetap tidak menemukan kata sepakat tentang seperti apa hubungan kami. Aku sendiri tidak mengerti.

“Aku rasa kau harus masuk sekarang oppa”

“Kau mengusirku ?”

“Ani ! aku hanya tidak mau kau ketinggalan pesawat”

“Bukankah dengan begitu aku bisa lebih lama disini untuk memandangimu”

“Oppa..berhentilah bercanda..”

“Ne..aku tahu, kemarilah, peluk aku..” belum aku mendekat, ia telah terlebih dulu menarikku kembali. 
“Saranghae..” bisiknya terasa begitu jelas.

“Aku tahu, aku harus melepaskanmu, tapi itu masih terlihat mustahil bagiku, aku berhenti berharap kepadamu Eun Ah, seperti apa yang kau pinta, tapi jangan minta aku untuk berhenti bertahan untukmu, aku akan tetap ada disini, kapanpun kau mau kembali..” aku hanya bisa terpaku mendengar kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, nyaris tak bisa berkutik.

“Baiklah..” ia melepaskan pelukannya. “Aku rasa aku memang harus masuk ke dalam sekarang, tidur dan makanlah dengan cukup, jangan terlalu memforsir tenagamu, kau akan menjadi sarjana yang sukses, aku yakin..” dengan singkat ia mengecup keningku, dan segera menarik kopernya berjalan menjauh dariku.

“Oppa..” panggilku, dan membuatnya menoleh ke arahku.

“Mwo ?”

“Ehm..kau juga oppa, jangan lupa istirahat, jagalah kesehatanmu oppa...dan...”

“Dan ?”

“Ehm..mmhh...a..ak..ku tunggu album kelima kalian !”

Ia tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lantas kembali berjalan meninggalkanku. Tubuh tegapnya itu menghilang perlahan dari mataku. Aku kembali melihat ke arahnya berdiri tadi, meski sosoknya sudah tak lagi ada.

“Nado saranghae oppa..”

TBC

Kyaaaaaa >.< hahaha..
Maaf yaa, kalau feelnya enggak kerasa, abis ini ceritanya lagi galau tapi akunya lagi seneng sih bisa liat kimchi kemarin hahaha jadi feelnya berantakan deh u,u

Jelek ya ? hehe..kritiknya dong yang baca, ditunggu lhoo partisipasinya...

Err..itu yang tentang kota London cuma sebatas pengetahuanku aja, aku males googling ehehe
Makasih buat yang mau baca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar