Bruuk!
Perempuan berambut panjang itu bergumam kecil, ketika
sikunya tak sengaja menyenggol sebuah kotak yang terletak di sudut meja hingga
terjatuh dan isinya tersebar di lantai. Ia segera meletakkan tumpukkan buku
yang dibawanya ke atas meja secara asal, dan segera berlutut untuk membereskan isi
kotak tersebut.
Awalnya, ia tidak begitu menyadari, pikirannya sudah
terlanjur penuh dengan kegiatan bersih-bersihnya di apartemen baru ini, tapi
ketika lembaran-lembaran polaroid yang merupakan isi dari kotak tadi berpindah
ke tangannya, menampakkan apa yang terbingkai disana, ukiran senyum manis sekaligus
rindu, tak mampu untuk tak terlukis di bibirnya....
....dan mungkin juga, pedih.
Ada lebih dari dua puluh lembar foto, yang merekam kenangan,
yang menyimpan memori, yang menjaga rasa, miliknya dan dia,
laki-laki itu.
sahabatnya,
musuh abadinya,
teman masa kecilnya,
pemilik bahu yang pernah menampung semua air matanya,
pemberi pelukan yang hangat dan juara,
belahan hatinya,
dan tentu saja,
cintanya.
*
“Shilla, enggak makan
?”
“Enggak. Aku kan
puasa.”
“Oh..”
“Alvin kenapa enggak
makan juga ?”
“Nemenin Shilla.”
Jawaban laki-laki
kecil berpipi putih itu terdengar polos, membuat Shilla tersenyum senang
mendengarnya, meski sejujurnya, dua anak berusia lima tahun itu yang saat ini
sedang bersama-sama menikmati ayunan di halaman sekolah mereka tak benar-benar
mengerti apa arti dari puasa sesungguhnya.
*
Salju.
Butiran-butiran dingin berwarna putih itu sedang berjatuhan
perlahan, tidak terlalu deras, hanya meninggalkan sedikit jejak di beranda
apartemennya, yang saat ini sedang ia pandangi dengan mata sabitnya sambil
menikmati secangkir teh aroma vanili kesukaannya.
Entah kenapa, semakin diperhatikan, yang Shilla ingat malah es
serut yang suka di belinya bersama Alvin di
Jakarta.
Alvin.
Sudah pergi sejauh ini, kenapa nama itu tetap begitu susah
untuk dilupakan ?
Atau, karena mungkin sederhana saja, mungkin hatinya tahu,
begitu juga dengan pikirannya, dan seluruh
bagian di tubuhnya, bahwa ia,
Ashilla, tidak pernah memiliki niat untuk melupakan.
Ia hanya ingin lari. Pergi.
Meski ia mengerti, dan sangat memahami, sejauh apapun ia
menjauh dan bersembunyi, kenyataan itu akan selalu berdiri tegak disana,
melintang diantara dirinya dan Alvin, tak tergoyahkan, dan tak akan mampu untuk
di hindari.
Tidak. Tidak akan pernah.
*
“Ya!” Shilla
melemparkan tatapan sebal, tepat ketika ia membuka pintu rumahnya dan mendapati
siapa yang sedang berdiri di depannya, “apa yang kamu lakuin disini ?! Setengah
jam lagi misa natal di gereja kamu, mulai kan ?”
“Well..”
“Well ?”
“Uhm..”
“Uhm ?”
“Err..”
“Alvin! Kalau enggak
ada hal yang penting untuk kamu omongin ke aku, mending sekarang kamu ke gereja
aja deh, sana, hush!”
Cuuup~
Shilla mengerjap
kaget, sementara Alvin hanya menampakkan cengiran tanpa dosanya, “aku...aku
bakal jemput kamu pulang gereja nanti, mama sama papa ngundang kamu buat makan
bareng keluargaku, dandan yang cantik, bye...”
Dan tanpa membiarkan
Shilla untuk bereaksi, Alvin segera berlari kecil menuju mobilnya yang
terparkir di halaman rumah, atau ia akan benar-benar terlambat untuk mengikuti
misa natal.
*
Dengan dua kantong kertas belanjaan yang masing-masing
berada di dekapan tangan kanan kirinya, Shilla sedikit kesulitan untuk
mengambil kunci apartemennya yang berada di dalam tasnya.
“Huft..”
“Butuh bantuan ?”
Tubuh Shilla menegang sempurna, suara ini, ia mengenalnya
betul, terlalu fasih malah.
“Masih enggak akan pernah bilang tolong ke aku, ya ?” tanya
suara itu, yang dalam detik ini masih tidak di acuhkan oleh Shilla, “sini..”
dan salah satu kantong belanjaan yang ada di dekapannya, terangkat darinya.
Menampilkan dia. Dia dengan mata almond tipisnya. Dia dengan
bibir merahnya. Dia dengan rambut hitamnya yang tebal. Dia yang sedang
mengenakan kemeja biru yang di lapisi dengan sweater merah bergaris putih.
Yang Shilla ingat, pakaian terakhir yang ia pilihkan, ketika
mereka pergi bersama beberapa bulan lalu.
“Earth to Shilla.”
Laki-laki itu melambaikan sebelah tangannya, meski diam-diam
yang paling ia inginkan adalah segera memeluk gadis di depannya ini, sosok yang
menjadi alasan berjuta kata kangen yang memenuhi benaknya.
“Al..vin ?”
“Hmmh. Kenapa ? Kaget ya ? Pasti kamu kangen aku kan ? Pasti
sih. Bohong banget kamu enggak kangen sama aku yang ganteng ini, hahaha..”
“Vin...”
“Hahaha. Udah deh, mending kamu sekarang buka pintu
apartemen kamu, dan biarin aku masuk, ini super dingin dan aku udah capek
nungguin kamu dari satu jam yang lalu, go!”
Alvin mendorong tubuh Shilla pelan, menimbulkan getaran yang
sama di hati keduanya, getaran yang sejak dulu begitu Shilla takutkan dan Alvin
coba ingkari, getaran yang rasanya begitu manis dan juga pahit di saat
bersamaan.
Bittersweet.
*
“Aku cuma bakal disini sampai hari natal.” Serak bisik suara
Alvin, membiarkan hening yang ada menguap bersama dingin yang tiba-tiba terasa
memeluk hingga ke tulang.
“Besok ?”
Menganggukkan kepalanya kecil, Alvin mencoba memberi senyum,
yang rasanya aneh, yang kemudian segera ia tutupi dengan meminum kopi yang
Shilla buatkan untuknya. “hmm, nikmat..”
“Tiga sendok teh kopi hitam, satu sendok teh creamer, dan
satu sendok teh gula.” Ujar Shilla pelan. Seolah sedang tak berbicara pada
Alvin. Seolah hanya ingin memberi tahu dirinya sendiri bahwa ia masih ingat.
Selalu.
“Aku tahu, kamu bakal selalu ingat itu, tapi sebenernya yang
lebih bikin aku kaget, kenyataan bahwa kamu punya kopi dan creamer di dapur
kamu, come on...Ashilla benci kopi, atau diam-diam kamu berharap aku bakal
datang kesini, ya ?”
“Shut up Vin! Kamu dateng jauh-jauh dari Jakarta ke Seoul cuma
buat godain aku kaya gini ? Kenapa ?
Enggak bisa nemuin orang lain buat di ajak
adu mulut, ya ?”
Kadang, Shilla merasa tidak yakin, apakah ini Alvin yang
sama yang di kenalnya delapan belas tahun lalu, ketika umur mereka masih lima,
ketika pertengkaran yang mereka lakukan hanyalah tentang siapa yang harus duduk
dan siapa yang harus mendorong ayunan.
Alvin terkekeh kecil, ia selalu suka, suka ketika ada raut
kesal di wajah cantik itu, rasanya indah, nikmat yang hanya menjadi milknya. “Well,
itu salah satunya, tapi..aku mau mastiin aja sih, kamu baik-baik aja atau
enggak.”
Sial! Shilla benar-benar ingin mengutuk manusia di depannya
ini, karena sekarang ia yakin, seratus persen, bahwa wajahnya sudah memerah,
mungkin sudah semerah hatinya, hati yang menyimpan semua, semua yang tak pernah
menjadi rahasia, semua yang ada namun tak pernah nyata.
Dan diam datang lagi. Menyeruak seenaknya, seperti beberapa
menit lalu. Mereka ini sahabat bukan sih ?
Shilla bahkan bisa mengobrol panjang lebar dengan
tetangganya yang baru ia kenal dua hari lalu.
“Kamu inget enggak ?”
“Huh ? Apa ?” sahut Shilla, bersyukur Alvin kembali memulai
untuk bicara.
“Harapan yang aku tulis di kartu natal waktu kita kelas satu
sd.”
Kemana saja, asal bukan mata Alvin, ujar Shilla dalam hati
mengingatkan arah pandangannya sendiri.
“Enggak. Itu nyaris enam belas tahun
lalu, menurut kamu aku bakal ingat ?! Huh ?!”
“Bohong.” Alvin tersenyum, tipis saja, dan tetap tampan.
“Enggak.”
“Kanan atau kiri ?”
“Apa ?”
“Lighter.”
“Kanan.”
Senyum yang menyeringai, ada kemenangan, yang tidak pernah
Shilla sukai. Alvin merogoh saku kanan celananya, mengeluarkan lighter yang ia
maksudkan.
“Aku cuma nebak.” Ujar Shilla, membela diri.
“Satu, kamu enggak nebak Shil, kamu tahu pasti dimana aku
naruh barang-barangku. Dua, seorang Ashilla selalu ingat apapun tentang Alvin.”
Shilla memilih untuk hening, dan membencinya. Membenci tentang
waktu yang tak pernah mau berbaik hati padanya, yang selalu saja memberi bagian
dari setiap detak detik yang ada untuk sebuah ruang dengan dia dan Alvin
sebagai isinya, inti cerita.
“Besok flightku jam sepuluh pagi Shil. Waktu kita terbatas. Aku
mohon..” tangan yang terasa begitu hangat itu menarik pergelangan tangan
Shilla, membuatnya tak lagi bisa memandang ke segala arah, membuatnya mau tak
mau harus memandang Alvin, “...kali ini, satu kali ini aja, untuk yang
terakhir.”
Lelah. Shilla tahu, berpura-pura hanya akan membuatnya
semakin lelah, “kalau Alvin udah besar nanti, Alvin mau ngabisin white
christmass berdua sama Ashilla...”
Mata Alvin tersenyum, pancaran bangga itu jelas ada, Shilla
merasakannya, “terimakasih Shil, terimakasih.” Bisiknya, sebelum bibir merah
itu mendarat di kening Shilla dengan lembut.
*
Jika ada yang bertanya, kenapa Shilla dan Alvin bisa
bersahabat selama ini, maka keduanya tak pernah benar-benar bisa memberi
jawaban. Alvin bisa saja menjawab, mungkin karena Shilla selalu mengingat
segala hal untuknya, karena kopi buatan Shilla lebih nikmat dari buatan kafe
manapun, karena Shilla tidak pernah bisa melewatkan satu haripun tanpa teh
aroma vanilinya, karena Shilla tidak bisa memasak dan jangan pernah
membiarkannya memasak, karena Shilla akan membuat bahu Alvin basah setiap ia
menangis ketika menonton drama Korea. Dan Shilla juga bisa saja menjawab,
karena Alvin sangat payah dalam mengingat, karena Alvin membuatnya selalu
membeli kopi dan creamer ketika ia belanja meski Shilla tidak suka minuman itu,
karena Alvin tahu jika Shilla tidak membalas pesannya berarti ia sedang
menikmati secangkir teh aroma vanilinya, karena telur mata sapi yang Alvin buat
bentuknya sama persis seperti yang ada di bungkus mie goreng dan rasanya enak,
karena drama Korea selalu membuat Shilla cengeng tapi Alvin tidak pernah absen
untuk menemaninya.
Dan alasan itu masih akan terus tertulis dan bertambah.
Sementara ketika cinta yang menjadi pertanyaan, Alvin hanya
akan menjawab, “karena dia Shilla” sesederhana jawaban Shilla, “karena dia Alvin.”
*
Rasanya nyaman. Lebih nyaman daripada secangkir coklat panas
yang mereka nikmati beberapa waktu lalu. Dalam genggaman tangan Alvin yang
berbalut sarung tangan berwarna merah, tangan Shilla menjadi bagian tubuhnya
yang paling merasakan kenikmatan itu. Mereka hanya berjalan dalam kehangatan
yang dingin, ini malam natal, lampu warna-warni tergantung ceria di setiap toko
yang mereka lewati, lagu-lagu mengalun dalam dentingan nada syahdu, Santa
Clause jadi-jadian masih sibuk dengan tawanya yang khas sambil menyerukan
selamat natal berulang-ulang pada setiap pejalan kaki yang melewatinya.
Termasuk kepada mereka. Yang meski sama-sama mengerti dan
menyetujui bahwa ini untuk yang terakhir, tapi diam-diam, keduanya sama-sama
berdoa, seandainya...dunia itu satu, benar-benar satu.
“Disana ada gereja, kamu mau mampir ?”
“Kamu ngelewatin Isya kamu tadi.”
“Halangan.”
“Oh.
“Jadi ?”
“Apa ?
“Gereja ?”
“Nanti aja. Nanti...” bisik Alvin pelan, “Uhm,
disini..err..makanan halal..”
“Banyak kok. Daerah apartemenku tadi, Itaewon, itu daerah
yang banyak muslimnya.”
“Oh. Kamu..bahagia ?”
“Iyalah. Kenapa enggak ?”
“Aku enggak bahagia.”
Tiga kata yang terucap dari bibir merah Alvin yang mulai
memutih akibat cuaca yang semakin dingin itu, mau tak mau membuat Shilla
berhenti, singkat tapi kenapa begitu sakit. Namun seolah tak peduli, Alvin
terus berjalan, dan terus menarik Shilla.
“Jangan berhenti. Aku butuh kamu di samping aku. Bukan di
belakang atau di depanku.” Ujar Alvin lagi.
Meski sorot matanya tak sekalipun
menoleh.
“Kenapa ?”
“Apanya ?”
“Enggak bahagia.”
“Karena enggak ada kamu.”
“Vin..”
“Kenapa pergi ?”
“Hah..a..aku, sekolah, nge...”
“Bukan. Kenapa pergi dari cerita kita ? Kenapa ?”
Lagi-lagi Shilla menghentikan langkahnya. “Kamu tahu Vin.
Kamu yang paling tahu alasannya, sama besarnya dengan apa yang aku tahu.”
Kali ini, Alvin ikut berhenti, “Rasanya sakit Shil.”
“Aku tahu. Rasanya menyiksa. Rasanya aku mau egois Vin.
Rasanya aku mau milikin kamu. Kamu.”
“Jangan nangis.”
“Enggak.”
“Suara kamu bergetar, bodoh.” Ujar Alvin, bersamaan dengan
tangannya yang menarik tubuh Shilla ke arahnya, bersamaan dengan dekapan dan
tetes air mata yang jatuh begitu saja.
Cinta ini tersentuh namun tak dapat tinggal.
Terbalas namun tak bisa untuk saling memiliki.
Dibawah salju yang terus turun, Shilla menangis untuk semua
akhir cerita yang mereka ketahui meski cerita
itu sendiri tak pernah di mulai.
“Jangan begini Shil. Kamu bahkan enggak nangis saat pergi ke
Seoul dan ninggalin aku di bandara waktu itu.”
“Bo..doh.” cela Shilla di antara isakannya.
“Huh ?”
Shilla mencoba untuk mengangkat kepalanya, mencoba untuk
menatap wajah itu yang lekuknya begitu ia hapal, “menurut kamu untuk apa aku
nyiapin kopi di apartemenku ?!”
Alvin tersenyum lagi, entah untuk keberapa kalinya malam
ini, yang membuat Shilla ingin menampar wajah itu karena ia bisa merasakannya,
merasakan pedih di balik senyum itu.
“Jadi, kamu juga nyiapin air mata ini, karena kamu tahu aku
pasti datang, hah ?”
Bukannya menjawab, Shilla memilih untuk mengeratkan
pelukannya. Ini salah. Ia tahu itu. Alvin mengambil ciuman pertamanya, cinta
pertamanya, dan patah hati pertamanya.
“Kita...kita milih Tuhan. Jadi kita akan baik-baik aja Shil.
Aku janji.”
Alvin memberikan ciuman pertamanya untuk Shilla, membiarkan
hatinya jatuh untuk pertama kalinya pada Shilla, dan saat ini, sesuatu yang
harusnya di selesaikan sejak bulan-bulan lalu, akhirnya terucapkan, menimbulkan
kerusakan parah pada hatinya, juga untuk yang pertama kali.
Sayup-sayup, dari kejauhan, lonceng gereja mulai menggema
dalam kerlipnya lampu kota di malam natal ini.
“Merry Christmass Vin, white Christmass. ”
Shilla dapat merasa, ketika puncak kepalanya di kecup dengan
manis oleh Alvin, ketika ada basah yang mengalir di helai rambutnya, air mata
Alvin.
“I Love you too
Shill.”
Dan menit menjadi berulang dalam angka-angka yang tak terhitung,
saat keduanya tanpa perlu lagi saling bicara mulai melepaskan diri, saling
menatap dan menyatukan bayang mata masing-masing yang terhiasi bening-bening
kristal manusiawi itu.
“Selamat tinggal. Sampai ketemu lagi.”
Bisik keduanya parau bersamaan, namun saling mengerti,
seperti biasa. Shilla berbalik, dan mulai berjalan, meninggalkan Alvin yang
menikmati punggungnya, yang masih bergetar karena air mata yang kembali
mengalir.
Tamat.
Merry Christmass to all who celebrate it ^^
Some comments for new year’s gift ? Thankyou!^^~
Kak Aniiiin, kok aku nggak dapet feelnya ya pas baca ini(?) terus menurut aku Alvin di sini nggak kayak Alvin yg di cerita kakak yg lain. Ya tapi emang ga selalu harus sama sih ehehe, itu cuma pendapat aku aja :D
BalasHapusDear Anind..
BalasHapusHuwaa..kamu tau gak betapa kangennya aku sama tulisan kamu. Gak tau kenapa, beberapa tulisan kamu yang bergenre korea, aku ga ngerasa feel nya seperti tulisan kamu tentang icil. Yaa mungkin juga karena aku ga begitu ngerti korea kali yaa...
Tapi cerita ini menurut aku khas Anind banget, g ngerti deh gimana ngejelasinnya..hehehe
Makasih sudah ngobatin rindu aku sama tulisan kamu..
Alwyas Keep Writing,
Nurruu
Note :
My Favorite Part ===> semuaaaanyaaa..
My Favorite Quote :
"Cinta ini tersentuh namun tak dapat tinggal, Terbalas namun tak bisa untuk saling memiliki"
Aniiinn... Ahahahaha..
BalasHapusOkay, overall, tetap gaya tulisankamu. Tenang, kalem... But somehow, aku ngerasa pilihan kata-katanya lebih dewasa. But still, you have that magic thing in your writing :)