And one day we will spend our last day waiting on a tomorrow
that will never come – Unknown.
*
“Gue—gue mau keluar dari Grey
Rhymes.”
Tidak sampai setengah detik setelah
kalimat itu meluncur, semua pasang mata yang ada di ruangan itu langsung
membulat sempurna, raut keterkejutan tergambar jelas, suasana hening yang
tadinya memenuhi sudut-sudut ruangan dalam sekejap berubah menjadi diam yang
mencekam.
“Alasannya, Al ?”
“Everything’s just too much, Yo.
Gue enggak bisa lagi, maaf.”
*
“Dan menurut lo, everything’s-not-too-much-to-us , Al ?!”
Gabriel menatap Alvin tajam, membuat orang-orang di sekeliling mereka menjadi
waspada, “Band ini bukan punya lo sendirian yang bisa lo tinggalin gitu aja!”
“Yel—bukan gitu, gue—“
“Egois lo !”
*
Gabriel menendang kursi yang
didudukinya sebelum beranjak dari ruangan itu entah kemana. Membuat Alvin tak
henti memandangi ujung lorong tempat terakhir punggung Gabriel terlihat, seolah
berharap, laki-laki yang biasanya selalu murah senyum dan mendengarkan segala
keluh kesahnya dengan kepala dingin itu akan berbalik kembali, berbaik hati
untuk mendengarkan alasannya.
*
“Biar gue sama Bang Tian yang
nyusulin Gabriel,” ujar Cakka akhirnya, seraya melirik manager mereka yang juga
masih sama bingungnya dengan mereka semua yang tersisa disini, “Al, obrolin
alasan lo sama Rio, oke ?”
Alvin mengangguk. Begitu juga
dengan Rio.
*
“Jadi ?”
Rio bersuara, memecah keheningan di
antara dirinya dan Alvin. Ia sengaja meminta kepada crew mereka untuk memberi
waktu private. Dan disinilah mereka sekarang, di halaman atap apartemen yang
mereka tempati, tempat keempatnya suka berkumpul sehabis manggung.
Alvin masih saja membisu.
Menyandarkan badannya di tembok pembatas, membiarkan angin membuat rambut
hitamnya berantakan, membuat wajah putihnya yang selalu tampak pucat itu pias
oleh remang bulan.
“Al, ayolah, cerita sama gue.”
Bujuk Rio lagi, sembari memandangi drummer yang sudah dianggapnya seperti adik
sendiri.
Adik ? Ah, tiba-tiba saja Rio
menyadari satu hal yang sepertinya akhir-akhir ini ia lupakan, yang mereka
lupakan. Alvin memang drummer berbakat, kemampuan dan kualitasnya sudah diakui
oleh para professional, gebukannya mampu membuat para fans mereka menjerit
histeris dan tersihir oleh pesonanya. Namun tetap saja, dibalik semua itu,
Alvin hanyalah anak berusia delapan belas tahun yang mau tak mau dipaksa untuk
menjadi dewasa terlalu cepat dengan segala gemerlap dunia hiburan yang mereka
geluti dua tahun ini.
“Yo.”
“Ya ?” Penuh harap Rio menatap
Alvin, yang masih saja memandang ke kejauhan, entah kemana, membuat bola
matanya terlihat kosong, yang lagi-lagi baru Rio sadari terasa menyedihkan.
“Sebentar aja Yo,” Alvin berbisik
lirih, “Gue mau berhenti sebentar aja.”
*
“Ini bukan Gabriel yang gue kenal.”
Sekaleng Coke disodorkan tepat di
depan wajahnya, dan Gabriel menerimanya lantas segera meneguknya, membiarkan
sensasi soda yang kuat mengalir di tenggorokannya yang baru ia sadari terasa
begitu kering.
“Thanks.” Ujarnya kemudian, sembari
menoleh kearah Cakka yang telah duduk di sisi kirinya dan juga sedang menikmati
minumannya. Tak jauh dari tempat mereka, Gabriel dapat melihat bang Tian
bersandar di mobil.
Cakka hanya mengangguk, membiarkan
keheningan taman kota kembali mewarnai malam tanpa bintang dan penuh angin ini.
Gabriel meneguk kembali sisa
minumannya, menghela nafas yang seolah baru saja menghimpitnya, “Gimana sama
Alvin ?”
“Gue kira setelah lo
nendang-nendang kursi dan ngebentak dia tadi, lo udah enggak peduli lagi sama
dia.” Sahut Cakka enteng.
“Kka,” lagi-lagi Gabriel menghela
nafasnya, “Gue—gue, maaf,”
“Jangan sama gue Yel.” Potong Cakka
segera, “Kalau lo mau minta maaf, minta maaf sama Alvin, kita semua kaget sama
sikap lo tadi, tapi jelas Alvin yang paling shock, oke ? like I said before, lo
bukan kaya Gabriel yang gue kenal, bukan Gabriel yang paling dewasa dan selalu
berfikir sebelum bertindak.”
“I know, Kka, gue cuma, enggak
paham, enggak ngerti, kenapa Al bisa-bisanya bilang kaya gitu tadi, setelah
semua ini, setelah sejauh ini.”
“Gue juga enggak tahu, Yel, tapi
kita kenal Al bukan baru kemarin, kan ? Dia pasti punya alasan, dan kita harus
kasih kesempatan buat Al ngejelasin semua itu.”
*
“Good night, Al.”
Lampu yang segera padam, dan suara
pintu yang tertutup membuat Alvin tahu bahwa Rio telah beranjak dari kamarnya.
Alvin membuka matanya kembali, membiarkan kegelapan memenuhi penglihatannya,
membiarkan suara detak jam dinding mengisi kekosongan ruang, membiarkan
suara-suara di dalam otaknya terbangun dan menyesakki setiap pikir yang ada di
benaknya.
I'm friends with the monster
That's under my bed
Get along with the voices inside of my head
Sebait lirik milik Rihanna tersebut
terasa begitu tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.
Dan sungguh, Alvin sendiri tak
yakin kapan ini semua dimulai, tapi seandainya bisa, ia benar-benar ingin semua
ini berhenti. Ini terlalu melelahkan.
Rasanya semua menjadi salah,
menjadi tak tepat. Rasanya semua berjalan maju dan terus berputar, namun tidak
dengan dirinya. Alvin merasa ia stuck
disini, berhenti tanpa tujuan, tidak tahu harus kemana dan melakukan apa-apa,
tiba-tiba saja semua mimpi yang pernah ia punya melebur dan perlahan memudar,
bahkan sebagian telah menghilang. Kebahagiaan terasa begitu jauh, meski dengan
posisinya saat ini, Alvin tahu, harusnya ia merasa beruntung. Tapi nyatanya tak
semudah itu, dan untuk pertama kalinya, Alvin merasa takut dengan dirinya
sendiri, dengan hidupnya, dengan semua yang semu namun terasa pasti dan
menyakitkan, dengan rasa bahagia yang kian menepis dan senyuman yang semakin palsu.
Harus, sampai kapan ?
*
“Enggak bahagia ?”
Ulang Cakka, untuk memastikan
pendengarannya mengenai penjelasan Rio soal curhatan Alvin.
Rio mengangguk sabar, ia tahu
kenyataan ini terdengar sedikit konyol dan terkesan tak masuk akal, namun ia
berani bersumpah bahwa selama bertahun-tahun mengenal Alvin, baru tadi ia
melihat Alvin seredup itu, satu hal yang Rio pikir tak akan pernah ia jumpai
sebelumnya, “Yep, He said that, over and over.”
Gabriel melirik pintu kamar Alvin,
ada sesal yang sekejap menyergap hatinya, “Dan gue memperburuk keadaan, yeah ?”
lirihnya, tanpa melepaskan pandangan, seolah pintu kayu itu tembus pandang dan
dapat membuatnya melihat Alvin.
Cakka meremas bahu Gabriel, dan
menepuknya beberapa kali, yang kemudian di balas dengan senyum tipis oleh
Gabriel.
“Grey Rhymes lebih dari ini, iyakan
? Kita bukan cuma empat orang asing di dalam satu band, kita ini sahabat, kan ?
Masih ingat janji kita di awal waktu kita bentuk band ini, kita berempat atau
enggak ada Grey Rhymes sama sekali.” Ujar Rio sembari menatap Cakka dan Gabriel
mantap.
“Iya, Yo. Grey Rhymes itu kita
berempat, enggak lebih, enggak kurang.” Balas Gabriel segera.
“Nah, ini baru Gabriel yang gue
kenal.” Sahut Cakka semangat.
*
Alvin melirik jam dindingnya, dan
segera saja menendang selimutnya menjauh dan beranjak secepat kilat dari kasur,
sudah jam 8 pagi dan seharusnya ia sudah berada di salah satu stasiun radio
untuk mempromosikan album baru mereka. Alvin baru benar-benar terlelap sekitar
jam empat pagi, namun biasanya ia tetap bangun sesuai jadwal. Terburu-buru,
Alvin segera keluar kamar dengan rambut yang berantakan, dan ujung kaos serta
celana yang berkerut disana-sini.
Namun langkahnya terhenti seketika
diambang pintu melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Cakka dan Rio
yang juga masih memakai baju rumah mereka dan sedang bermain Xbox, serta
Gabriel yang sedang menghadap kompor, sepertinya memasak sesuatu, dan untuk
yang ini Alvin benar-benar lega karena Gabriel ada disini, semalam kalau tidak
dilarang oleh Rio, Alvin ingin sekali mencari Gabriel sendiri.
“Hai Al!” sapa Cakka sekenanya,
dengan tatapan yang terfokus ke layar.
“Kita bukannya ada schedule ?”
Tanya Alvin benar-benar bingung, kepada siapapun yang tak cukup sibuk untuk
menjawabnya.
“Well,” Gabriel membawa dua piring
berisi roti bakar dan telor mata sapi ke meja makan, “Gimana kalau kita sarapan
dulu ?”
*
Alvin kembali menatap tiga
sahabatnya ini bergantian, “Seriusan deh, kalian bener-bener enggak mau jelasin
ke gue ada apa ? Atau ini karena obrolan kita semalam ? Kalau iya gue minta
maaf, gue—gue cuma asal, gue—“
“Gue yang harusnya minta maaf, Al.”
Potong Gabriel segera, “Maukan maafin gue ?”
Tidak terlalu paham, namun Alvin
tetap mengangguk.
“Dan, inget janji kita kan Al,
kalau Grey Rhymes itu isinya empat, gue,
Cakka, Rio sama lo, iyakan ?”
Gabriel bersuara lagi, dan Alvin
mengangguk lagi.
“Jadi, kita bakal terus berempat
Al, berempat atau enggak sama sekali.”
“Tunggu,” Alvin yang akhirnya mulai
menyadari arti percakapan ini, menatap Gabriel yang memang duduk di hadapannya
intens, “Kalian mau keluar juga dari Grey Rhymes ?”
Gabriel tertawa kecil, “Grey Rhymes
itu punya kita berempat Al, enggak ada yang bisa keluar atau dikeluarin.”
“Terus ?”
“Kita vakum.” Jawab Cakka to the
point, yang segera saja membuat Alvin melotot.
“Kalian, jangan—jangan ngelakuin
kaya gini cuma karena gue—gue..”
“Enggak langsung sekarang juga kok
Al,” sahut Rio menenangkan, “Gimanapun kita punya kontrak buat promosi album
baru ini, tapi Gabriel udah ngebahas ini sama team manajemen, dan mereka setuju
kasih kita waktu istirahat setelah ini dan sebelum konser tour dimulai.”
Alvin mendengarkan dengan cermat
kalimat Rio, dan menghela nafasnya kemudian, “Maaf..”
“Al, jangan min—“
“Tapi ini karena gue, kan ? Salah gue
kan, Yel ? Mungkin bener kata semua orang, kata fans, kalau gue cuma anak
kecil, anak bawang di band ini, yang nyusahin semuanya, yang bikin karir kalian
terhambat, sekarang kalian mau vakum cuma karena gue bilang capek, gue useless,
iyakan ?!”
Meski setengah mati menahan, Alvin
dapat merasakan ada kabut air di matanya.
“Fans mana sih yang bilang gitu ?
Kalaupun memang ada, mereka bukan fans berarti. Haters gonna hate, Al. Dan lo
berarti buat kita, sangat berarti,” Gabriel menatap Alvin lembut, perbedaan
usia nyaris lima tahun diantara keduanya, membuat Gabriel kadang terlalu
memanjakan Alvin secara tak langsung, “Gue benar-benar minta maaf untuk
bentakan gue semalam, this is cheesy, but you know that I love you so much,
right ? You’re like my own younger brother, you’re the youngest among us, dan
kita ngerasa gagal untuk ngejagain lo sampai-sampai lo pengen keluar. Gue
sayang sama Grey Rhymes, tapi gue lebih sayang sama lo, kita semua lebih sayang
sama lo, Al. Gue, Cakka dan Rio super peduli sama lo, kita mau lo jadi Alvin
yang apa adanya dan bahagia. We’re here, Al, stop pretending, it’s okay if
everything is not okay now, but you’re not alone, never.”
Sia-sia pertahanannya, kata-kata
Gabriel bagaikan tombol air mata yang kini telah ditekan, Alvin tidak suka
menangis dan menjadi cengeng, tapi ia tak dapat berbuat banyak kecuali
membiarkan tetesan demi tetesan itu mengalir. Membut Rio yang duduk di
sebelahnya segera merangkulnya, dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Mulai sekarang, apapun yang
terjadi harus cerita, oke ? Jangan biarin pikiran-pikiran negative itu masuk
dan merubah lo, ngerti ? Ini semua enggak ada gunanya kalau lo enggak merasa
bahagia, Al. Kita semua ada disini untuk satu sama lain, Al, always.” Tambah
Cakka , yang segera diamini oleh Gabriel dan juga Rio.
End.
*
Lately, menulis jadi satu hal yang
berat dan susah aku lakuin, yang aku sendiri enggak tahu kenapa, padahal ini
pernah jadi sesuatu yang aku kerjain hampir tiap waktu dan merupakan
comfortzone-ku. Aku butuh tiga bulan, untuk nyelesain 1724 kata dalam cerpen
ini yang aku tahu jauh dari kata memuaskan, dan itu bikin aku frustasi, aku
kangen nulis, tapi tiba-tiba nulis diluar kemampuanku.
But well, this is it! Inspirasinya
datang dari 1D dan 5SOS fanfics, tapi tetap, aku pakai karakter faveku, yaitu
Alvin.
Enjoy!!
Lagi dong buat cerpen atau cerbung yang castnya CRAG SISA, kangen couple Alvin-Shilla :)
BalasHapus