Senin, 02 Februari 2015

Need to Stop [Cerpen]

And one day we will spend our last day waiting on a tomorrow that will never come – Unknown.

*

“Gue—gue mau keluar dari Grey Rhymes.”

Tidak sampai setengah detik setelah kalimat itu meluncur, semua pasang mata yang ada di ruangan itu langsung membulat sempurna, raut keterkejutan tergambar jelas, suasana hening yang tadinya memenuhi sudut-sudut ruangan dalam sekejap berubah menjadi diam yang mencekam.

“Alasannya, Al ?”

“Everything’s just too much, Yo. Gue enggak bisa lagi, maaf.”

*

“Dan menurut lo, everything’s-not-too-much-to-us , Al ?!” Gabriel menatap Alvin tajam, membuat orang-orang di sekeliling mereka menjadi waspada, “Band ini bukan punya lo sendirian yang bisa lo tinggalin gitu aja!”

“Yel—bukan gitu, gue—“

“Egois lo !”


*

Gabriel menendang kursi yang didudukinya sebelum beranjak dari ruangan itu entah kemana. Membuat Alvin tak henti memandangi ujung lorong tempat terakhir punggung Gabriel terlihat, seolah berharap, laki-laki yang biasanya selalu murah senyum dan mendengarkan segala keluh kesahnya dengan kepala dingin itu akan berbalik kembali, berbaik hati untuk mendengarkan alasannya.

*

“Biar gue sama Bang Tian yang nyusulin Gabriel,” ujar Cakka akhirnya, seraya melirik manager mereka yang juga masih sama bingungnya dengan mereka semua yang tersisa disini, “Al, obrolin alasan lo sama Rio, oke ?”

Alvin mengangguk. Begitu juga dengan Rio.

*
“Jadi ?”

Rio bersuara, memecah keheningan di antara dirinya dan Alvin. Ia sengaja meminta kepada crew mereka untuk memberi waktu private. Dan disinilah mereka sekarang, di halaman atap apartemen yang mereka tempati, tempat keempatnya suka berkumpul sehabis manggung.

Alvin masih saja membisu. Menyandarkan badannya di tembok pembatas, membiarkan angin membuat rambut hitamnya berantakan, membuat wajah putihnya yang selalu tampak pucat itu pias oleh remang bulan.

“Al, ayolah, cerita sama gue.” Bujuk Rio lagi, sembari memandangi drummer yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri.

Adik ? Ah, tiba-tiba saja Rio menyadari satu hal yang sepertinya akhir-akhir ini ia lupakan, yang mereka lupakan. Alvin memang drummer berbakat, kemampuan dan kualitasnya sudah diakui oleh para professional, gebukannya mampu membuat para fans mereka menjerit histeris dan tersihir oleh pesonanya. Namun tetap saja, dibalik semua itu, Alvin hanyalah anak berusia delapan belas tahun yang mau tak mau dipaksa untuk menjadi dewasa terlalu cepat dengan segala gemerlap dunia hiburan yang mereka geluti dua tahun ini.

“Yo.”

“Ya ?” Penuh harap Rio menatap Alvin, yang masih saja memandang ke kejauhan, entah kemana, membuat bola matanya terlihat kosong, yang lagi-lagi baru Rio sadari terasa menyedihkan.

“Sebentar aja Yo,” Alvin berbisik lirih, “Gue mau berhenti sebentar aja.”

*

“Ini bukan Gabriel yang gue kenal.”

Sekaleng Coke disodorkan tepat di depan wajahnya, dan Gabriel menerimanya lantas segera meneguknya, membiarkan sensasi soda yang kuat mengalir di tenggorokannya yang baru ia sadari terasa begitu kering.

“Thanks.” Ujarnya kemudian, sembari menoleh kearah Cakka yang telah duduk di sisi kirinya dan juga sedang menikmati minumannya. Tak jauh dari tempat mereka, Gabriel dapat melihat bang Tian bersandar di mobil.

Cakka hanya mengangguk, membiarkan keheningan taman kota kembali mewarnai malam tanpa bintang dan penuh angin ini.

Gabriel meneguk kembali sisa minumannya, menghela nafas yang seolah baru saja menghimpitnya, “Gimana sama Alvin ?”

“Gue kira setelah lo nendang-nendang kursi dan ngebentak dia tadi, lo udah enggak peduli lagi sama dia.” Sahut Cakka enteng.

“Kka,” lagi-lagi Gabriel menghela nafasnya, “Gue—gue, maaf,”

“Jangan sama gue Yel.” Potong Cakka segera, “Kalau lo mau minta maaf, minta maaf sama Alvin, kita semua kaget sama sikap lo tadi, tapi jelas Alvin yang paling shock, oke ? like I said before, lo bukan kaya Gabriel yang gue kenal, bukan Gabriel yang paling dewasa dan selalu berfikir sebelum bertindak.”

“I know, Kka, gue cuma, enggak paham, enggak ngerti, kenapa Al bisa-bisanya bilang kaya gitu tadi, setelah semua ini, setelah sejauh ini.”

“Gue juga enggak tahu, Yel, tapi kita kenal Al bukan baru kemarin, kan ? Dia pasti punya alasan, dan kita harus kasih kesempatan buat Al ngejelasin semua itu.”

*

“Good night, Al.”

Lampu yang segera padam, dan suara pintu yang tertutup membuat Alvin tahu bahwa Rio telah beranjak dari kamarnya. Alvin membuka matanya kembali, membiarkan kegelapan memenuhi penglihatannya, membiarkan suara detak jam dinding mengisi kekosongan ruang, membiarkan suara-suara di dalam otaknya terbangun dan menyesakki setiap pikir yang ada di benaknya.

I'm friends with the monster
That's under my bed
Get along with the voices inside of my head

Sebait lirik milik Rihanna tersebut terasa begitu tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.

Dan sungguh, Alvin sendiri tak yakin kapan ini semua dimulai, tapi seandainya bisa, ia benar-benar ingin semua ini berhenti. Ini terlalu melelahkan.

Rasanya semua menjadi salah, menjadi tak tepat. Rasanya semua berjalan maju dan terus berputar, namun tidak dengan dirinya. Alvin merasa ia stuck disini, berhenti tanpa tujuan, tidak tahu harus kemana dan melakukan apa-apa, tiba-tiba saja semua mimpi yang pernah ia punya melebur dan perlahan memudar, bahkan sebagian telah menghilang. Kebahagiaan terasa begitu jauh, meski dengan posisinya saat ini, Alvin tahu, harusnya ia merasa beruntung. Tapi nyatanya tak semudah itu, dan untuk pertama kalinya, Alvin merasa takut dengan dirinya sendiri, dengan hidupnya, dengan semua yang semu namun terasa pasti dan menyakitkan, dengan rasa bahagia yang kian menepis dan senyuman yang semakin palsu.

Harus, sampai kapan ?

*

“Enggak bahagia ?”

Ulang Cakka, untuk memastikan pendengarannya mengenai penjelasan Rio soal curhatan Alvin.

Rio mengangguk sabar, ia tahu kenyataan ini terdengar sedikit konyol dan terkesan tak masuk akal, namun ia berani bersumpah bahwa selama bertahun-tahun mengenal Alvin, baru tadi ia melihat Alvin seredup itu, satu hal yang Rio pikir tak akan pernah ia jumpai sebelumnya, “Yep, He said that, over and over.”

Gabriel melirik pintu kamar Alvin, ada sesal yang sekejap menyergap hatinya, “Dan gue memperburuk keadaan, yeah ?” lirihnya, tanpa melepaskan pandangan, seolah pintu kayu itu tembus pandang dan dapat membuatnya melihat Alvin.

Cakka meremas bahu Gabriel, dan menepuknya beberapa kali, yang kemudian di balas dengan senyum tipis oleh Gabriel.

“Grey Rhymes lebih dari ini, iyakan ? Kita bukan cuma empat orang asing di dalam satu band, kita ini sahabat, kan ? Masih ingat janji kita di awal waktu kita bentuk band ini, kita berempat atau enggak ada Grey Rhymes sama sekali.” Ujar Rio sembari menatap Cakka dan Gabriel mantap.

“Iya, Yo. Grey Rhymes itu kita berempat, enggak lebih, enggak kurang.” Balas Gabriel segera.

“Nah, ini baru Gabriel yang gue kenal.” Sahut Cakka semangat.

*
Alvin melirik jam dindingnya, dan segera saja menendang selimutnya menjauh dan beranjak secepat kilat dari kasur, sudah jam 8 pagi dan seharusnya ia sudah berada di salah satu stasiun radio untuk mempromosikan album baru mereka. Alvin baru benar-benar terlelap sekitar jam empat pagi, namun biasanya ia tetap bangun sesuai jadwal. Terburu-buru, Alvin segera keluar kamar dengan rambut yang berantakan, dan ujung kaos serta celana yang berkerut disana-sini.

Namun langkahnya terhenti seketika diambang pintu melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Cakka dan Rio yang juga masih memakai baju rumah mereka dan sedang bermain Xbox, serta Gabriel yang sedang menghadap kompor, sepertinya memasak sesuatu, dan untuk yang ini Alvin benar-benar lega karena Gabriel ada disini, semalam kalau tidak dilarang oleh Rio, Alvin ingin sekali mencari Gabriel sendiri.

“Hai Al!” sapa Cakka sekenanya, dengan tatapan yang terfokus ke layar.

“Kita bukannya ada schedule ?” Tanya Alvin benar-benar bingung, kepada siapapun yang tak cukup sibuk untuk menjawabnya.

“Well,” Gabriel membawa dua piring berisi roti bakar dan telor mata sapi ke meja makan, “Gimana kalau kita sarapan dulu ?”

*

Alvin kembali menatap tiga sahabatnya ini bergantian, “Seriusan deh, kalian bener-bener enggak mau jelasin ke gue ada apa ? Atau ini karena obrolan kita semalam ? Kalau iya gue minta maaf, gue—gue cuma asal, gue—“

“Gue yang harusnya minta maaf, Al.” Potong Gabriel segera, “Maukan maafin gue ?”

Tidak terlalu paham, namun Alvin tetap mengangguk.

“Dan, inget janji kita kan Al, kalau Grey Rhymes itu isinya empat,  gue, Cakka, Rio sama lo, iyakan ?”

Gabriel bersuara lagi, dan Alvin mengangguk lagi.

“Jadi, kita bakal terus berempat Al, berempat atau enggak sama sekali.”

“Tunggu,” Alvin yang akhirnya mulai menyadari arti percakapan ini, menatap Gabriel yang memang duduk di hadapannya intens, “Kalian mau keluar juga dari Grey Rhymes ?”
Gabriel tertawa kecil, “Grey Rhymes itu punya kita berempat Al, enggak ada yang bisa keluar atau dikeluarin.”

“Terus ?”

“Kita vakum.” Jawab Cakka to the point, yang segera saja membuat Alvin melotot.

“Kalian, jangan—jangan ngelakuin kaya gini cuma karena gue—gue..”

“Enggak langsung sekarang juga kok Al,” sahut Rio menenangkan, “Gimanapun kita punya kontrak buat promosi album baru ini, tapi Gabriel udah ngebahas ini sama team manajemen, dan mereka setuju kasih kita waktu istirahat setelah ini dan sebelum konser tour dimulai.”

Alvin mendengarkan dengan cermat kalimat Rio, dan menghela nafasnya kemudian, “Maaf..”

“Al, jangan min—“

“Tapi ini karena gue, kan ? Salah gue kan, Yel ? Mungkin bener kata semua orang, kata fans, kalau gue cuma anak kecil, anak bawang di band ini, yang nyusahin semuanya, yang bikin karir kalian terhambat, sekarang kalian mau vakum cuma karena gue bilang capek, gue useless, iyakan ?!”

Meski setengah mati menahan, Alvin dapat merasakan ada kabut air di matanya.

“Fans mana sih yang bilang gitu ? Kalaupun memang ada, mereka bukan fans berarti. Haters gonna hate, Al. Dan lo berarti buat kita, sangat berarti,” Gabriel menatap Alvin lembut, perbedaan usia nyaris lima tahun diantara keduanya, membuat Gabriel kadang terlalu memanjakan Alvin secara tak langsung, “Gue benar-benar minta maaf untuk bentakan gue semalam, this is cheesy, but you know that I love you so much, right ? You’re like my own younger brother, you’re the youngest among us, dan kita ngerasa gagal untuk ngejagain lo sampai-sampai lo pengen keluar. Gue sayang sama Grey Rhymes, tapi gue lebih sayang sama lo, kita semua lebih sayang sama lo, Al. Gue, Cakka dan Rio super peduli sama lo, kita mau lo jadi Alvin yang apa adanya dan bahagia. We’re here, Al, stop pretending, it’s okay if everything is not okay now, but you’re not alone, never.”

Sia-sia pertahanannya, kata-kata Gabriel bagaikan tombol air mata yang kini telah ditekan, Alvin tidak suka menangis dan menjadi cengeng, tapi ia tak dapat berbuat banyak kecuali membiarkan tetesan demi tetesan itu mengalir. Membut Rio yang duduk di sebelahnya segera merangkulnya, dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Mulai sekarang, apapun yang terjadi harus cerita, oke ? Jangan biarin pikiran-pikiran negative itu masuk dan merubah lo, ngerti ? Ini semua enggak ada gunanya kalau lo enggak merasa bahagia, Al. Kita semua ada disini untuk satu sama lain, Al, always.” Tambah Cakka , yang segera diamini oleh Gabriel dan juga Rio.

End.

*

Lately, menulis jadi satu hal yang berat dan susah aku lakuin, yang aku sendiri enggak tahu kenapa, padahal ini pernah jadi sesuatu yang aku kerjain hampir tiap waktu dan merupakan comfortzone-ku. Aku butuh tiga bulan, untuk nyelesain 1724 kata dalam cerpen ini yang aku tahu jauh dari kata memuaskan, dan itu bikin aku frustasi, aku kangen nulis, tapi tiba-tiba nulis diluar kemampuanku.

But well, this is it! Inspirasinya datang dari 1D dan 5SOS fanfics, tapi tetap, aku pakai karakter faveku, yaitu Alvin.


Enjoy!!

1 komentar:

  1. Lagi dong buat cerpen atau cerbung yang castnya CRAG SISA, kangen couple Alvin-Shilla :)

    BalasHapus