Jumat, 03 Oktober 2014

Seven [Cerpen]


One second.

Hanya satu detik, hanya satu ‘tik’ setelah laki-laki berkemeja biru itu membaca pesan yang masuk ke ponsel pintar layar sentuhnya itu, dan ia segera berdiri begitu saja, mengagetkan orang yang ada di sekelilingnya, tanpa mempedulikan apapun, ia meraih ranselnya yang tergeletak di lantai –di sebelah kaki kursi yang tadi di dudukinya, dan segera berlari keluar.

“Yak, Gabriel ! Mau kemana kamu ?!”

Dan, serius, ia tidak peduli meski mungkin mulai hari ini dosen tergalak se-Fakultasnya itu akan mem-blacklist namanya.

Two minutes.

Dua menit, seandainya saja ia tiba di tempat ini dua menit lebih cepat, seandainya saja tadi ia menerobos semua lampu merah yang di lewatinya sepanjang jalan kemari, seandainya saja tadi ia tidak perlu ragu untuk segera menghentikan mobilnya dan berlari lebih cepat, seandainya saja bandara ini tidak sebesar, seramai dan seberantakkan ini, seandainya saja...

“Mario !!”

“Mana Alvin ?!!”

Dua suara dengan dua aksen berbeda yang berbicara di waktu yang nyaris bersamaan disertai dengan hela nafas yang tak teratur, membuatnya segera menoleh, menatap dua laki-laki yang kini sedang sama-sama membungkukkan badan, menumpukkan kedua tangan di atas lutut mereka, mengatur nafas.

“Gue telat. Kita telat. Alvin udah pergi.” 


Three hours.

Tiga jam, seratus-delapan puluh menit sudah, ketiga laki-laki itu duduk di sudut kafe, dengan tiga gelas cangkir kopi di meja yang isinya nyaris habis. Tiga jam. Tiga cangkir kopi. Tiga potong kue yang tinggal tersisa remahnya saja. Tiga laki-laki bertampang kusut. Dan satu bangku kosong.

Cakka menghela nafas, meraih cangkir kopinya, menghabiskan isinya, kemudian menatap dua orang di hadapannya, “Kita..uhm, kapan sih kira berempat kumpul terakhir kali ?”

Hening. Tidak ada yang menjawab. Atau mungkin yang lebih tepat, tidak ada yang mempunyai jawabannya.

“Udah terlalu lama, yeah ?” ujar Cakka lagi, tak jelas apakah bertanya, menggumam atau mungkin,
menjawab.

Four Days.

Empat hari sejak ia berlari seperti orang gila di bandara. Empat hari sejak ia, Rio dan Cakka sibuk mencari informasi. Dan saat ini, entah telah berapa kali ia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke meja di hadapannya, menanti gadis mungil di hadapannya ini untuk berbicara.

“Shil..” Panggilnya lagi.

“...please.” sambungnya, memelas.

Gadis itu menghela nafasnya, menatap keluar jendela, “Yel, bukan gue—“

“Lo satu-satunya harapan kita Shil.” Potongnya segera, “We need to find Alvin, we need to find him, and fix everything.”

“Not everything Yel, but him.”

“Uhm ?”

“He’s just so broken, Yel. Last time I met him, he’s not the one I used to know.”

“Shil...”

“Janji sama gue, jangan pernah lagi tinggalin dia sendiri kalau kalian bisa nemuin dia.”

“Oke.”

Five Weeks.
Lima minggu, berlalu, dan Alvin mulai merasakan senyumnya yang lama kembali. Rasanya ia merindukan ini, merindukan bagaimana kedua ujung bibirnya tertarik dan membentuk sebuah simpul yang membahagiakan hatinya.

Bahagia ?

Satu hal, satu alasan, yang membuatnya pergi hingga sejauh ini. Melepas semuanya. Meninggalkan segalanya. Merelakan mimpinya.

Tes. Tes. Tes.

Rintik yang tiba-tiba datang itu tidak menghentikan langkahnya, alih-alih meneduhkan diri, Alvin memilih membentangkan tangannya, memejamkan matanya, lantas membiarkan rinai-rinai itu mulai membasahi lapisan-lapisan baju yang dikenakannya, mengalir diantara rambutnya menuruni wajahnya, dan anehnya, Alvin tak pernah merasa setenang ini.

“Bro..”
Tersentak, dengan buru-buru Alvin segera membuka matanya, sedikit menyesal karena air langsung membuat pandangannya buram.

“Kita udah lama enggak hujan-hujanan kaya gini, ya ?”

*

Mario sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, yang beberapa menit lalu dilemparkan Alvin kepadanya dan Gabriel juga Cakka tentu saja. Meski begitu, ia tak bisa menghentikan tatapannya dari pemilik flat kecil ini, yang sedari tadi masih saja memunggungi mereka, mengaduk cangkir-cangkir teh yang sedang dipersiapkannya, menimbulkan denting-denting tak beraturan, entah mau sampai kapan.

“Al,” Gabriel mencoba, ia berdiri dan melangkah mendekat, hanya butuh tiga langkah, seolah membuktikan gumam kecil Cakka saat mereka masuk tadi, bahwa tempat ini terlalu ‘mungil’. “Keringin dulu rambut lo, nanti lo sakit.” Sedikit kikuk, Gabriel mengangsurkan handuknya.

Ada beberapa detik menggantung sebelum akhirnya Alvin menerima handuk tersebut, tanpa suara. Dan Gabriel hanya tersenyum maklum, bingung harus tetap berdiri di samping Alvin atau mundur. Dan Mario harus mengakui bahwa ini semua tidak baik-baik saja seperti yang berulang kali dilafalkannya selama dipesawat beberapa jam lalu. Tapi Cakka merasa gerah, demi apapun, mereka bersahabat sejak-entah-kapan, dan bagian ini tidak seharusnya ada di dalam biography mereka.

Cakka mendekati Alvin, merangkulkan tangannya begitu saja, dan getar pedih menyengatnya ketika ia merasa tubuh itu berjengit, tapi senyumnya tetap bertahan, “Bro, sini, lo duduk oke ?” Cakka menarik Alvin, lantas mendudukannya di sofa yang tadi ia duduki, disamping Mario. “Keringin rambut lo, biar gue yang bikin teh,” sambungnya lagi, dan sebelum Alvin dapat membalas, bibir merah yang sedikit pucat akibat hujan itu kembali bersuara, “Ini flat lo, kalau ada yang merasa enggak nyaman, itu harusnya kita, bukan elo, yeah ?”
Dalam hati, untuk pertama kalinya, Gabriel dan Mario berterimakasih atas sikap blak-blakkan Cakka.

*

“Err..siapa—“

“Shilla, Al. Gue nemuin Shilla, dan dia yang ngasih tahu kita. Tapi sebenarnya kalau kita benar-benar sahabat yang kenal sama lo, dari awal harusnya kita langsung tahu, dari sekian tempat di dunia ini, tempat mana yang akan lo tuju, iyakan ?”

Alvin terdiam. Rasanya ia ingin mengangguk, tapi wajah-wajah bersalah dihadapannya ini sudah cukup menyesakkan untuk dilihat. Dan ia tahu pasti, rasa menyesal itu terpeta jelas di mata ketiganya.

“Kita,” Mario melirik dua orang yang ada duduk di depannya, sebelum kembali menatap Alvin canggung, “Minta maaf.” Ujarnya kemudian, juga Cakka dan Gabriel kompak.

Pelan, Alvin menggeleng, membuat jantung ketiga sahabatnya itu mencelos, “Bukan, bukan gue enggak mau terima permintaan maaf kalian,” Terangnya buru-buru, “Ini cuma—cuma enggak ada yang salah atau benar dalam hal ini, yeah ? Enggak ada yang perlu di maafin, dan gue rasa, kalau ada yang harus minta maaf, itu gue, iyakan ? Gue seenaknya aja pergi dan sok-sok menghilang kaya gini, bikin kalian harus ngorbanin waktu cuma untuk nyusulin gue, maaf.”

“Al..”

“Ya, Kka ?”

“Berhenti pasang muka baik-baik aja lo itu. Kita enggak butuh, oke ?”

“Kka.” Gabriel meremas pundak Cakka yang duduk disebelahnya, tatapan tak nyaman yang Alvin berikan membuatnya resah dengan apa yang akan Cakka katakan selanjutnya, mereka tidak jauh-jauh datang kesini dan menghabiskan tiga setengah hari berkeliling tanpa kejelasan hanya untuk ditendang keluar setelah satu jam dari flat ini.

Cakka dapat merasakan jemari Gabriel yang menusuknya atau pelototan Mario yang menyeramkan, tapi sekarang atau tidak sama sekali. “Berhenti bikin kita ngerasa jadi sahabat yang super gagal dan payah, oke ? Karena kita tahu, kita memang gagal dan payah. Berapa kali sebelum ini lo bilang lo enggak bahagia sama hidup lo ? Berkali-kali, iyakan ? Dan berapa kali kita nanggepin itu sungguh-sungguh ? Nol besar, Al. Bahkan Shilla, orang yang baru kenal sama lo tiga tahunan ini lebih ngerti daripada kita yang bahkan udah main bareng dari sebelum kita bisa ngomong ataupun jalan, huh ?! Hak lo untuk pergi dari kita, keluarga lo, hidup lo, atau apapun yang mau lo tinggalin, tapi kita juga punyak hak untuk tinggal, Al. Dan kalau kita gagal bikin lo bahagia kemarin, kita mau bikin lo bahagia sekarang, besok, dan seterusnya. Ini janji Al !”

Lengkingan suara Cakka, merasuk dan menggelitik apa yang selama ini Alvin pendam, apa yang selama ini Alvin pikir ia sembunyikan tapi kemudian gagal total. Pelan, Alvin tertawa pelan, membuat semua mata menatapnya tentu saja. Tawa bukanlah suatu reaksi yang mereka bayangkan. Tapi Alvin terus tertawa dan tertawa, tertawa hingga entah bagaimana ada bulir-bulir air di pelupuk matanya, tertawa hingga air-air itu turun perlahan membasahi pipinya.

Mario lupa kapan ia merasa sesedih dan setidak berdaya ini, lengannya menarik tubuh Alvin, memeluknya dan dalam sekejap tawa Alvin tergantikan dengan suara tangis yang memilukan. Getaran tubuh Alvin, membuatnya memeluk tubuh yang terlihat ringkih itu lebih erat. Rasanya ini bukan tubuh sahabatnya yang selalu kuat dan terlihat dapat diandalkan. Mario tidak tahu mana yang lebih menamparnya, kenyataan bahwa Alvin terlalu pintar berakting selama ini, atau mereka yang terlalu bodoh untuk melihat apa yang tak terlihat.

“Al, kita disini, yeah ? Lo enggak sendirian, Al. Kita disini dan akan selalu disini, apapun keputusan lo, apapun jalan yang lo pilih, kita hadapin sama-sama, ya ? Apapun yang bikin lo bahagia lagi, Al.” Ujar Gabriel yang kini telah berjongkok di hadapan Alvin dan Mario.

Cakka beranjak dari duduknya, “Group hug ?” tawarnya, dengan sebelah tangan telah terlingkar pada leher Gabriel.

Group hug.

Six Months.

Enam bulan berlalu. Salju pertama baru saja turun kemarin malam, dan kini Alvin sedang menikmati coklat panasnya yang meski membuat lidahnya sedikit mati rasa, namun juga memberi kehangatan pada tubuhnya yang seharian ini berada di luar rumah.

Matanya melirik sekilas pada tumpukan buku yang harus dibacanya sebelum akhir pekan ini berakhir, atau senin besok kertas ujiannya akan kosong tanpa jawaban sama sekali. Dan Alvin tentu saja tidak mau itu terjadi, ia melepas semua kenyamanan yang pernah dimilikinya untuk ini, untuk daftar kebahagiaan yang dipilihnya sendiri, dan untuk kali ini, Alvin tidak mau gagal untuk membahagiakan dirinya sendiri.

Setelah terlebih dahulu meletakkan gelas yang tadi dipegangnya, Alvin meraih buku bersampul biru yang terletak di paling atas tumpukan, membuka halaman terakhir yang dibacanya tadi pagi sebelum ia keluar rumah, sebuah foto terselip menjadi penanda disana, mau tak mau selalu melukiskan senyum di wajahnya.

Fotonya, diapit Ayah dan Bundanya. Diambil tiga bulan lalu, saat keduanya mengunjungi Alvin kemari untuk pertama kali.

Alvin jadi ingat betapa gugupnya ia saat menunggu di bandara waktu itu. Ia merindukan mereka tentu saja, sungguh-sungguh. Tapi pertemuan terakhir mereka bukanlah suatu yang indah. Melainkan penuh teriakan, tangisan, bahkan tamparan. Alvin maklum tentu saja. Terakhir kali ia menemui orang tuanya, adalah ketika ia memberikan surat pengunduran diri dari kampusnya, adalah ketika ia menarik koper hitamnya keluar rumah tanpa pernah tahu dapat kembali atau tidak.

Namun Bundanya segera memeluknya dengan linangan air mata haru, dan Ayahnya menatapnya penuh kasih.

Lebih dari cukup.

Seven Years.

“....saya mencari kebahagiaan tentu saja karena saya tidak merasa bahagia. Pada waktu itu, ketika saya bilang saya tidak bahagia, orang-orang disekitar saya selalu menjawab dengan, saya tidak punya alasan untuk bersedih, atau saya punya masa depan yang cerah, dan kadang ada yang menjawab dengan besok semua pasti akan jadi lebih baik. Tapi percaya atau tidak, sekian besok saya lewati, dan saya tidak merasa lebih baik, yang ada saya semakin kehilangan diri saya, rasa percaya diri saya, kepercayaan saya terhadap orang lain, dan yang paling pasti saya kehilangan hidup saya.”

“Lalu ?”

“Lalu, suatu hari saya sampai pada keputusan bahwa hidup tidak lagi menarik buat saya, melainkan terlalu melelahkan untuk dijalani, saya ingin berhenti, saya ingin mengakhiri semuanya. Saat itulah, teman kuliah saya, menyadari diri saya yang hilang, dan lucunya atau ironisnya, dari banyak orang, cuma dia yang sadar. Namanya Shilla, tanpa dia, saya tidak akan ada disini untuk berbagi pengalaman ini.”

“Apa yang Shilla lakukan ?”

“Tidak banyak. Ia mendengarkan saya. Itu saja, dan kemudian yang membedakannya dari yang lain, ia tidak menganggap remeh apa yang saya ceritakan, satu kalimat dari dia yang masih saya ingat, lo boleh nyerah dari kehidupan lo yang sekarang tapi mati itu urusan Tuhan Al dan satu yang perlu lo tahu gue peduli sama lo, dan kalimat itu membuat saya sadar kalau saya harus mencari kebahagiaan saya sendiri.”

“Jadi ?”

“Jadi saya melepaskan semuanya. Saya di tingkat akhir waktu itu, tapi saya memutuskan untuk berhenti. Gelar arsitek bukan hal yang benar-benar saya mau, dan saya tahu saya membuang tiga setengah tahun saya begitu saja. Orang tua saya marah besar, bisa dimaklumi tentu saja. Tapi keputusan saya sudah bulat. Kalau saya terus bertahan di hidup yang sudah tidak lagi saya kenali, saya akan memilih untuk menentukan takdir saya walaupun Shilla bilang mati itu urusan Tuhan.”

“Dan, kenapa London ?”

“Karena London selalu jadi kota favourite saya walaupun sebelumnya saya belum pernah menginjakkan kaki di kota itu.”

“London membuat anda bahagia ?”

“Anehnya, iya. Waktu pertama kali sampai, saya tidak tahu siapa-siapa dan apa-apa. Saya tidur di taman kota, dan dimalam kedua saya diusir sama polisi. Lalu akhirnya saya diterima kerja jadi pencuci piring di sebuah restauran, dan uang tabungan yang tersisa saya pakai untuk menyewa flat yang sangat kecil. Selain itu saya juga jadi pengantar susu, dan di akhir pekan saya jadi penjaga perpustakaan. Berat, ya ?”

Perempuan mungil yang menjadi pembawa acara itu mengangguk, sedikit takjub dan tak mengerti,


“Anda melepaskan semua kenyamanan di Jakarta untuk hidup susah di negara orang dan anda tetap bilang itu membuat anda bahagia ?”

Alvin mengangguk pelan, “Saya bisa bermimpi lagi, dan saya mempunyai banyak waktu untuk mengenal diri saya apa adanya tanpa tuntutan dari siapapun, pilihannya hanya ada dua, mati sia-sia di negara orang atau hidup, iyakan ? Saya bertanggung jawab untuk diri saya sendiri, tidak lagi harus memenuhi keinginan dan ekspektasi siapapun. Saya melakukan apa yang saya suka tanpa memikirkan orang lain, tidak ada orang yang mengenal saya untuk sekedar memberi penilaian disana, untuk pertama kalinya, saya hidup untuk saya sendiri, bukan untuk nilai atau kebanggaan, saya hidup untuk hidup. Itu bikin saya bahagia.”
“Prosesnya secepat itu ?”

“Tentu saja tidak. Depresi itu penyakit, tidak bisa hilang begitu saja. Ada hari-hari yang menyedihkan. Terutama hari-hari dimana saya tahu, ada terlalu banyak yang saya kecewakan di sini, di Jakarta.”

“Orang tua anda ?”

“Ya, dan tiga sahabat saya. Saya marah, karena sejujurnya, mereka adalah orang-orang pertama yang
saya pilih untuk terbuka tentang masalah saya, tapi mungkin karena mereka laki-laki, jadi kurang peka, kali ya ? Atau mungkin sayanya juga kurang terbuka. Tapi itu membuat saya menyadari arti mereka dalam hidup saya dan saya dalam hidup mereka. Setelah mereka dan orang tua saya akhirnya mengerti apa yang terjadi pada saya, saya enggak punya ketakutan apa-apa lagi dalam hidup.”

“Apakah ini menjadi salah satu daftar kebahagiaan anda ? Menjadi penulis best-seller dan menginspirasi banyak orang ?”

“Tidak,” Alvin menggeleng dan tersenyum, “Tujuh tahun lalu, saya nyaris menyerah bahkan mati, berbicara di tv nasional seperti ini, mempunyai buku best-seller atau sekedar hidup yang bisa saya nikmati tidak pernah ada di pikiran saya.”

“Apa yang mau anda sampaikan untuk para penggemar anda kalau begitu ?”

“Saya selalu menyebut mereka teman saya, orang-orang yang memberikan saya semangat dan juga cerita-cerita baru yang sangat bermakna. Pesan saya selalu sama, jangan pernah anggap remeh ketika orang disekitar kita bilang bahwa mereka tidak bahagia. Kita tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikiran orang. Orang yang mengaku sakit parah akan mendapatkan doa, tapi orang yang mengaku depresi akan dicap sakit jiwa dan dianggap tabu. Itu sangat menyedihkan.”

“Terakhir, pesan untuk orang-orang berarti buat anda ?”

“Untuk Ayah dan Bunda terimakasih masih mau menerima saya kembali, maaf saya tidak bisa menjadi arsitek seperti yang Ayah mau. Untuk Gabriel, Mario dan Cakka, terimakasih untuk selalu ada dan bertahan bersama saya, terimakasih untuk tidak pernah mengingkari janjinya tujuh tahun lalu.”

“Sudah ?”

“Dan tentu saja, untuk Shilla, calon ibu anak-anak saya,” Alvin menghadap ke kamera yang menyorotnya sejak tadi, “Terimakasih banyak, Aku sayang kamu, Shil, tunggu aku dirumah.”


End.


Hai ? hehehehehehe. Aku lagi suka cerita yang brotherhood/brothership gitu tapi malah aneh ya ? Aku udah setahun enggak nulis cerita apapun jadi pasti aneh hehehehehehe. Ini sebenernya dibuat udah lama, dalam rangka world suicide prevention day september kemarin tapi baru sempet ngedit dan ngepost sekarang.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar