Jumat, 22 April 2011

Last part 12 "ending.."

Yang mau baca dari awal bisa klik ini
Sambil duduk di pinggir tempat tidurnya, cakka mulai membuka kardus yang tadi agni berikan untuknya. Ia sedikit tertegun saat melihat sebuah boneka beruang berwarna biru, menyembul keluar dari dalam kardus itu, cakka masih ingat betul, itu adalah hadiah darinya untuk agni. Dan setelah cakka mengeluarkan boneka itu, barang-barang yang ia temui selanjutnya adalah barang-barang yang dulu ia berikan untuk agni atau barang-barang yang berhubungan dengan mereka berdua.
Cakka memandang lekat-lekat setiap barang yang telah ia keluarkan, ada boneka, frame foto beserta fotonya, gelas, miniatur gitar, kotak musik, handband, pick gitar, topi, bantal kecil, bahkan poster-poster band yang dulu suka mereka beli berdua.
Didasar kardus tinggal satu barang yang belum cakka keluarkan, tapi cakka sudah tahu jelas itu apa. Sebuah kardus abu-abu dengan isi sepasang sepatu basket yang cakka pandangi dengan nanar. Sepatu yang selalu agni gunakan saat pertandingan-pertandingan final, sepatu yang selalu agni banggakan di hadapan semua orang, sepatu yang cakka desain khusus untuk agni dengan ukiran gabungan nama mereka berdua, cagni.
Apakah ini pertanda bahwa agni telah mengakhiri hubungan mereka ? apakah ini akhir yang agni ambil untuk perjalanan panjang mereka ? apakah akhirnya agni telah lebih dahulu menyerah sebelum cakka berusaha ?
Tangannya langsung menggapai handphone yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya. Dia mencoba menghubungi agni, berharap dapat menemukan jawaban atas segala macam pertanyaan dan dugaan yang memenuhi pikirannya. Tapi berkali-kali ia mencoba, berkali-kali juga nomer agni tidak aktif. Padahal belum ada setengah jam yang lalu cakka mengantarkan agni.
Rasa frustasi langsung menghampiri cakka, ia merebahkan tubuhnya di kasur, di antara semua barang yang tadi ia keluarkan. Cakka meraih boneka beruang yang ada di dekatnya, meski tidak pantas dengan umurnya, cakka memeluk boneka itu, tapi semakin erat ia mendekapnya, semakin besar juga rasa kehilangan yang memenuhi rongga dadanya.
Beribu-ribu kilometer dari kamar cakka, agni duduk diam sambil memandangi hpnya yang baru saja ia lepas baterainya. Setitik air terselip di sudut matanya. Hatinya bergetar hebat, tapi ia tidak akan goyah sekarang, semuanya telah berakhir, dan kisah ini telah memilih lembar terakhirnya, berhenti pada tangis kesedihan.
“Kamu baik-baik ya..” agni tersenyum ke arah mamanya, ia hanya dapat memeluk mamanya sambil berusaha tersenyum.
***
Sinar matahari pagi, menembus jendela kamar alvin yang kordennya sengaja di buka lebar-lebar oleh shilla. Alvin termenung sendiri sambil menatap langit-langit kamarnya, memikirkan hidupnya yang dengan tega di putar oleh waktu menuju akhir yang menurut alvin, kejam.
“Kok cuma sendirian vin ?” alvin menoleh dan melihat rio berdiri di ujung tempat tidurnya.
“Shilla sama nyokap gue lagi sarapan yo..” rio meletakkan seplastik buah-buahan di meja samping tempat tidur alvin, lantas kemudian duduk di samping alvin.
“Lo mau jejelin gue buah sebanyak apa juga enggak bakal ngaruh sama kanker gue yo” ujar alvin datar.
“Lo ngomong apaan sih vin ?” timpal rio.
“Harusnya dari dulu gue nurut ya yo sama shilla, peduli sama pola hidup gue, enggak cuma ngandelin junk food dan segala macem soft drink, peduli sedikit sama khasiat air putih, sama sayur-sayuran, sama makanan-makanan bergizi yang suka shilla bawain buat gue”
“Ayolah mana sih alvin yang optimis, enggak asik banget lo kaya gini” sahut rio berusaha menigkatkan kepercayaan diri alvin, meski dia sendiri merasa ragu melihat kondisi alvin, yang terlihat jauh lebih memilukan, padahal baru ia tinggal sehari.
“Gue mau minta maaf buat semua yang udah gue lakuin selama ini yo” rio menatap alvin lirih, dia tidak ingin menangkap kata-kata ini layaknya kalimat perpisahan.
“Vin, jangan bikin gue jadi ngerasa kalo kita emang bakalan pisah dong”
“Gue juga nitip shilla ya yo, jangan biarin dia sendirian, jangan biarin dia sedih, terutama jangan biarin dia nangis”
“Vin...”
“Buat yang kemarin gue juga minta maaf. Selama ini gue kaya hidup di atas awan, dan tiba-tiba dengan sekali sentuhan kecil, gue di jatuhin ke dasar jurang paling bawah, gue enggak siap. Gue juga enggak ada niat sama sekali buat bikin shilla sedih, gue cuma enggak pengen dia ngelihat gue menderita, gue enggak mau dia ikutan ngerasain apa yang gue rasa..”
“Vin...”
“Lo mau janji kan yo bakal jagain shilla. Kalo bisa juga lo cariin dia cowok, di sekolah kan banyak tuh yang suka juga sama dia, nah lo comblangin aja mereka..”
“Alvin ! lo jangan konyol dong !” bentak rio yang langsung membuat alvin terdiam.
“Dengerin gue ya, lo yang bakal jagain shilla, lo yang bakal bahagiain shilla, lo yang bakal ngapusin air mata shilla, bukan gue ! dan kalopun elo..kalopun elo sampai....” rio jeda sebentar, susah untuknya mengatakan kata yang sudah tersangkut di tenggorokannya itu.
“Kalopun elo..elo sampai harus pergi, tolong jangan nyerah, tolong gunain waktu lo sebaik mungkin sama shilla..lo masih sayang kan sama shilla ?” alvin mengangguk kecil.
“Lo masih inget kata-kata gombal lo waktu nembak shilla, yang bikin gue, cakka sama iel, jadiin lo bahan ketawaan selama berhari-hari ?” tanya rio lagi.
“Buat bidadari paling cantik ashilla zahrantiara, maukah kamu menemaniku dalam suka ataupun duka, dalam sehat ataupun sakit, dalam bahagia ataupun sedih, tidak peduli meski maut memisahkan kita, maukah kamu selalu mencintaiku..” desah alvin pelan.
“Ya, kata-kata lo waktu itu ancur banget tahu enggak ? lo mau nembak, tapi kaya lagi ngajakin nikah. Lo cowok banget, tapi kata-kata lo telenovela abis, sampai sekarang aja gue masih ketawa ngakak kalo inget saat itu. Dan sekarang kalo di pikir-pikir lagi, mungkin saat itu Tuhan ngijinin lo buat bilang kaya gitu, karena Dia punya rencana ini, dan Dia pengen elo ngebuktiin kata-kata lo saat itu..”
Alvin tertegun sejenak, bila di ingat lagi, memang kata-kata itu terkesan norak sebagai kalimat penembakan, di antara ribuan kalimat yang bisa ia gunakan. Tapi mungkin rio benar, Tuhan memang selalu punya rencana untuk masing-masing umatnya, bahkan dibalik kata-kata yang di ucapkan secara spontan.
“Mungkin lo bener yo, gue enggak boleh nyerah dulu. Sakit ini memang bisa ngambil nyawa gue kapanpun dia mau, tapi dia enggak bisa ngambil rasa sayang gue untuk shilla, enggak akan bisa”
“Bukan mungkin lagi vin, gue sih emang selalu bener..” timpal rio sambil cengengesan, ia senang berhasil memotivasi alvin, meski sedikit.
“Yee..tapi thanks ya sob..”
“Sip, eh gue sampai lupa, kesini mau sekalian ngasih tahu elo ini..” rio menyodorkan sebuah undangan berbentuk persegi panjang, berwarna merah marun dengan hiasan ukiran-ukiran emas di sekelilingnya. Alvin menerima itu dengan bingung, dan matanya sontak membelalak ketika ia membaca undangan tersebut.
“Lo mau tunangan sama dea ?” tanya rio dengan mata masih menatap undangan tersebut.
“Ya, minggu depan..” ujar rio santai.
“Ify ?”
“Cerita gue udah selesai sama dia, dia tetap memilih sekolah, cita-cita dan prinsipnya, bukan gue yang dia pilih”
“Tapi lo enggak jadiin dea pelampiasan kan ?”
“Enggaklah, ada di deket dia, bikin gue nyaman sendiri. Kaya yang waktu itu gue bilang ke elo, rasa nyaman yang dea kasih, senyaman kaya gue udah kenal lama sama dia. Enggak mudah ngelupain ify yang selama dua tahun jadi tujuan cinta gue, tapi bukan berarti gue enggak akan bisa belajar mencintai dea kan ?”
“Gue cuma bisa ngedukung apapun yang lo pilih dan ikut berdoa untuk pilihan lo”
“Thanks, gue harus balik nih, gue mau fitting jas buat itu..”
“Oh oke, entar gue bilang ke shilla sama nyokap kalo lo kesini”
“Gue berharap sama kehadiran lo dan shilla, tapi jangan di paksain”
“Tenang aja, gue bakal dateng kok..” ujar alvin sambil tersenyum, rio juga tersenyum, kemudian ia keluar dari kamar alvin. Selang beberapa menit kemudian, shilla masuk ke dalam kamar alvin.
“Tadi rio kesini ya ? aku ketemu di koridor tadi” ujar shilla sambil duduk di samping alvin.
“Iya, lagian kamu lama banget sih tadi”
“Tadi aku nemenin mama kamu konsul dulu ke dokter, ini juga aku pamit duluan kesini mau nemenin kamu. Oh ya, rio bilang ada sesuatu, apa ?” alvin menunjuk undangan yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya, shilla meraih itu, dan ekspresinya hampir sama seperti alvin tadi.
“Ini...”
“Pertunangan rio sama dea, minggu depan” timpal alvin.
“Terus ify ?”
“Ya ify tetep ify, dia lebih milih cita-citanya di banding rio”
“Ify hebat ya, dia bahkan enggak goyah walaupun harus relain hatinya sendiri” alvin hanya mengangguk setuju dengan perkataan shilla.
“Sayang kita enggak bisa dateng ya..” ujar shilla sambil memandang kembali undangan di tangannya.
“Kata siapa kita enggak bisa dateng ?”
“Kan kamu...”
“Jadi menurut kamu aku enggak bisa dateng karena kondisi aku kaya gini, iya ?!” tanpa sadar, intonasi alvin meningkat, shilla langsung menunduk dan menggigit bagian bawah bibirnya.
“A..aku..enggak maksud kaya gitu..aku..” shilla ingin memberikan alasannya, tapi suaranya malah terbata-bata. Alvin langsung menyesali tindakannya tadi, ia meraih tangan shilla dan menggenggamnya.
“Maaf shil, aku tahu kok kamu cuma mikirn kondisi aku, tapi percaya deh, aku enggak apa-apa dan enggak akan kenapa-apa. Kita bakal datang berdua dan ngelihat rio sama dea, oke..” seketika itu juga, shilla mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah alvin.
“Vin, tadi mama kamu, dokter sama aku udah sepakat, kita bakal bawa kamu ke singapur, secepatnya” terang shilla sepelan mungkin, ia tahu kondisi psikis alvin sedang labil saat ini.
“Buat apa ? bukannya dokter sendiri yang bilang kesempatan hidup aku kecil banget, enggak ada lagi yang bisa di lakuin sama aku” timpal alvin terdengar pasrah. Shilla mendekatkan wajahnya ke alvin, membuatnya hanya tinggal beberapa cm saja.
“Sekecil apapun kemungkinan itu, kita harus coba semua peluang yang ada kan ? kalo kamu enggak mau ngelakuin ini untuk kamu, tolong lakuin ini untuk aku, aku belum siap kehilangan kamu, sama sekali belum siap” dua butir hangat menetes di pipi shilla.
“Hei jangan nangis..” dengan jempolnya alvin menghapus air mata shilla. “Aku bakal lakuin ini, apapun yang kamu mau, semuanya, sebelum aku enggak bisa wujudin impian-impian kamu lagi” sambung alvin. Shilla tersenyum tipis, hatinya merasa miris, tidak ada lagi sorot semangat yang terpancar dari  kedua mata bening alvin, semakin shilla memandang jauh ke dalam, semakin redup cahaya yang ada.
“Jangan ngedahuluin takdir vin, aku enggak peduli sama apapun, aku cuma mau, kamu sama aku disini, dan kita bahagia berdua, itu semua udah cukup buat aku”
“Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalo kamu lebih suka sad ending ?” hati shilla mencelos. Alvin benar, ia memang seorang yang lebih suka menyaksikan film atau membaca novel yang berujung sedih, tapi bukan berarti sekarang ia ingin menjadi bagian dari sad ending itu sendiri.
“Bukannya waktu itu aku juga bilang ke kamu, kalo aku selalu berharap happy ending buat kisah kita”
“Mungkin saat itu Tuhan cuma mencatat kata-kata kamu yang pertama” sahut alvin.
“Vin..aku...”
“Udah, aku yakin ini memang udah jalan hidup aku kok. Enggak ada hubungannya sama itu semua, yang jelas sekarang, aku masih pengen kamu disini, ngelihat kamu disini, di samping aku, sebelum aku enggak bisa lihat kamu sama sekali” ujar alvin sambil tersenyum, shilla meletakkan kepalanya di dada alvin, dan tangan alvin mengelus-elus rambut shilla yang panjang tergerai.
***
Dan waktu terus bergulir dengan caranya, melontarkan detik yang terajut menjadi menit tersimpul menjadi jam dan terkumpul membentuk hari, begitu terus berputar mengikuti alurnya. Shilla yang selalu setia menemani alvin di rumah sakit. Cakka yang tidak bisa menemui agni, di rumah ataupun di sekolah. Via yang tetap usaha untuk bertemu iel, meski iel terus menolak kehadirannya. Ify yang memilih menghabiskan waktunya untuk merenung, berdoa tentang jalan yang telah ia ambil. Serta rio yang sekuat hati memantapkan pilihan yang akan ia tempuh untuk kehidupannya mendatang.
***
Sambil menatap kaca di hadapannya, rio membetulkan jas yang ia kenakan. Malam ini, ia akan memulai babak baru hidupnya, membuka lembaran baru kisahnya, dan apapun yang terjadi, rio sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas semuanya. Rio melangkah keluar kamarnya, acara ini ini memang diadakan di halaman belakang rumah rio yang luas, lagipula hanya kerabat dekat saja yang di undang.
Langkahnya terhenti di depan kamar yang rio tahu di gunakan oleh dea. Tangannya terangkat ingin mengetuk pintu, tepat saat pintu itu terbuka dengan sendirinya. Dea berdiri di ambang pintu, menatap ke arahnya sambil tersenyum. Rio sedikit pangling, dea terlihat berbeda malam ini di matanya, tampak lebih manis dan menarik di banding biasanya.
“Cantik de..” puji rio spontan, dea hanya tersenyum tipis.
“Thanks yo. Lo yakin kan sama ini semua ?” lagi-lagi dea menanyakan hal yang sama, pertanyaan yang dea ulang ribuan kali dalam seminggu ini.
“Apa ada keragu-raguan yang lo lihat di mata gue ?” tanya rio balik.
“Masih ada waktu buat mundur yo”
“Dan gue enggak akan dapet apa-apa. Percaya de sama gue, gue enggak akan ngecewain lo dengan ngajak lo masuk ke dalam kehidupan gue” dea menatap mata rio, ada kesejukan disana, kesejukan yang siap mengalir memenuhi relung-relung hati dea, ia hanya ingin memastikan, sebelum ia terlibat terlalu jauh dan tidak bisa lagi menarik waktu.
“Gue cuma...”
“Bukannya udah gue bilang, elo pantes buat gue cintai. Mau turun sama gue ?” tawar rio sambil menyodorkan tangannya untuk dea genggam, dea tersenyum dan menyahut tangan itu, lantas mereka turun berdua, menyambut tamu-tamu yang telah hadir di bawah.
Berkali-kali shilla menyapukan bedak di wajahnya, terutama di bagian bawah matanya. Semua itu ia lakukan semata-mata untuk menutupi lingkaran hitam yang ada di bawah matanya, efek kebanyakan menangis dan begadang menemani alvin. Ia ingin terlihat cantik malam ini, bukan untuk rio ataupun dea, tapi untuk alvin.
“Shil, alvin udah dateng nih..” panggil mamanya, shilla menatap wajahnya sekali lagi, merapikan dress putih yang ia kenakan, kemudian keluar dari kamarnya untuk menemui alvin.
“Ya udah ma pa, shilla sama alvin berangkat duluan ya, nanti kita ketemu disana” pamit shilla.
“Berangkat dulu om, tante..” timpal alvin.
“Iya hati-hati ya..” ujar mamanya shilla. Shilla meraih tangan alvin dan menggandengnya. Orang tua shilla menatap punggung mereka yang semakin menjauh, prihatin sekaligus bangga, prihatin karena kondisi alvin dan bangga akan cara mereka menghadapi ini berdua.
“Aku ganteng kan ?” tanya alvin sambil memamerkan senyuman mautnya.
“Ganteng banget” sahut shilla. Meski jas yang alvin pakai terlihat kebesaran karena berat badannya yang terus menyusut, meski ada cekungan besar yang terukir dalam di bawah matanya, tulang pipinya yang tampak menonjol, bibir merahnya yang tampak memutih, dan wajahnya yang begitu pucat. Di mata shilla, alvin tetaplah pangerannya yang paling juara.
“Kamu juga cantik banget” puji alvin tulus. Shilla tersenyum.
“Kamu yakin vin mau nyetir sendiri, enggak aku aja nih yang bawa ?”
“Ayolah shil, lagian tadi aku juga nyetir dari apartemen ke rumah kamu selamat kan ? mumpung aku masih bisa nyetir sebelum...”
“Stop vin, jangan lanjutin kata-kata kamu. Besok kita bakal berangkat ke singapur, kamu bakal di tanganin sama dokter hebat disana, dan kamu akan sembuh” potong shilla cepat, ia tidak suka dengan kata-kata alvin yang akhir-akhir ini menjurus ke kematian. Alvin hanya tersenyum tipis, sambil tetap melajukan mobilnya.
Meski berdiri di tengah kerumunan banyak orang, toh cakka tetap merasa sendiri saat ini. Tadinya ia sangat berharap dapat menemukan agni di acara pertunangan ini, tapi setelah mencari sejak tadi, cakka tidak mendapatkan hasil apapun. Berkali-kali cakka ke rumahnya, rumah itu nampak kosong, setiap cakka bertanya ke via di sekolah, via hanya menggeleng, dan cakka tidak cukup tega untuk bertanya pada shilla yang akhir-akhir ini tampak tidak bernyawa di sekolah tanpa alvin disisinya.
“Ify !” panggil cakka sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah ify yang langsung menghampiri dirinya.
“Hai kka..”
“Gue salut lo mau dateng kesini” ujar cakka jujur, ify hanya tersenyum tipis. Seandainya cakka tahu, perlu berjam-jam baginya hanya untuk menyiapkan mental datang ke acara ini.
“Fy, gue maua nanya, dan tolong kalo lo tahu lo jujur sama gue, dimana agni sekarang ?” ify memandang cakka, belum pernah temannya yang satu ini tampak memelas seperti sekarang.
“Agni yang minta buat ngerahasiain ini semua, tapi dia bilang, dia ninggalin surat buat lo”
“Surat ? mana ?”
“Enggak sama gue, kalo dari yang gue tangkep sama ceritanya agni, dia udah ngasih surat itu ke elo sendiri secara enggak langsung” cakka terhenyak, kata-kata ify tadi membuatnya teringat satu hal.
“Gue duluan ya fy, sampaiin ke rio, congrats buat dia” pamit cakka cepat sambil berlalu pergi meninggalkan ify sendiri.
“Ify, sabar ya..” tiba-tiba via datang ke arahnya dan langsung memeluknya, membuat ify sedikit terkekeh.
“Enggak seburuk yang lo kira vi” via tersenyum tipis, karena sesempurna apapun ify berakting, pancaran matanya tidak dapat menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Hai semuanya..” ify dan via menoleh, dan mereka agak takjub, melihat shilla dan alvin, terlebih-lebih untuk alvin.
“Biasa aja kali lihatin guenya” ujar alvin yang ngerasa, ify dan via kompak tersenyum.
“Gimana keadaan lo vin ?” tanya ify.
“Ya kaya gini aja” jawab alvin enteng.
“Ehm, fy, lo enggak apa-apa kan ? enggak marah sama gue kan ?” tanya shilla takut-takut, ify menggeleng kemudian memeluk shilla.
“Marah buat apa coba, lo enggak salah kok” shilla tersenyum mendengarnya.
“Kalian semua ada yang lihat iel enggak ?” tanya via pelan-pelan, tidak bermaksud merusak suasana ini.
“Tadi gue ketemu dia lagi ambil minum disana vi..” ujar alvin sambil menunjuk ke arah lain.
“Oh oke, gue kesana dulu ya..”
“Selamat malam kepada para tamu undangan yang terhormat, malam ini adalah malam yang sangat membahagiakan bagi kita semua, kepada para buah hati kami, rio dan dea diharapkan naik ke atas panggung,  untuk acara penyematan cincin..” papa rio yang bertindak sebagai tuan rumah, memulai acara. Rio dan dea bergandengan naik ke atas panggung, sesaat sebelum naik, rio mengalihkan pandangannya, dan matanya langsung menatap sosok ify.
Ify sedang memandang ke arah panggung menyimak kata-kata yang disampaikan oleh papanya rio tepat ketika mata rio menyapa matanya, membuat mata mereka berdua saling bertatap-tatapan. Ify berusaha menegarkan hatinya, melakukan seperti apa yang selama ini sudah ia coba pelajari sebelum datang kesini.
Dengan di saksikan oleh berpasang-pasang mata tamu undangan, rio memasangkan cincin emas putih bermatakan berlian kecil di jari dea, begitupun sebaliknya. Kemudian tanpa dea duga dan tanpa terencana sebelumnya, rio mendekat ke arah dea dan mengecup kening dea, membuat pipi dea bersemu merah.
“Gue ke toilet bentar ya..” pamit ify langsung berlari meninggalkan shilla dan alvin begitu saja. Shilla menatap kepergian ify dengan sedih.
“Sepintar apapun dia, dia tetap seorang cewek” celetuk alvin yang diberi anggukan oleh shilla.
“Semoga ify enggak akan pernah menyesal sama keputusannya untuk melepaskan rio..”
“Semoga. kamu mau dansa sama aku cantik?” tawar alvin ketika musik lembut mulai mengalun. Shilla hanya tersenyum, alvin meraih tangan shilla dan meletakkan di pinggangnya, sementara ia sendiri mengalungkan kedua tangannya di pundak shilla, tidak butuh waktu lama, mereka berdua langsung berbaur seirama dengan musik, menciptakan kebahagian mereka sendiri, dan seperti biasa membuat siapapun yang melihat mereka akan merasa iri.
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya via dapat menemukan sosok jangkung iel. Tanpa membuang waktu, via langsung mendekati iel.
“Yel, aku mau ngomong sama kamu..” seolah tidak melihat keberadaan via, iel malah berjalan meninggalkan via.
“Iel, tunggu..” tidak abis akal, via menarik tangan iel.
“Lepas !” tampik iel kasar.
“Tolong yel, sekali aja..” ujar via lagi. Iel tetap tidak menggubrisnya, ia terus berjalan menjauh dari via, menuju parkiran mobil. Bukan berarti via menyerah, ia juga terus, mengikuti iel. Langkah iel semakin cepat, dan ia masuk ke dalam mobilnya.
“Yel..buka..iel..” bujuk via sambil menggedor-gedor kaca mobil iel.
“Brummm..” iel menjalankan mobilnya, via langsung berlari ke arah mobilnya, dan juga mengemudikan mobilnya, mengikuti iel, ia tidak akan menyerah sekarang.
Berbeda dari suasana di rumah rio yang begitu ramai, suasana kamar cakka terasa begitu sunyi. Cakka memandangi secarik kertas yang ada di genggaman tangannya, surat yang agni letakkan di dalam kardus sepatu yang memang tidak cakka buka.
Cakka..
Kira-kira dimana ya gue saat lo baca surat ini ? hehe
yang jelas gue yakin, pasti hari ini gue bakal ngerasa bahagia banget, karena gue ngabisin waktu seharian ini jalan sama lo..
Maaf, kalo gue ngajakin lo jalan berdua, selain karena gue emang kangen sama elo, ini juga hari terakhir gue di jakarta. Setelah jalan sama lo nanti, gue harus berangkat ke asrama dan besok paginya, gue bakal terbang ke singapur. Oh ya, gue belom cerita ya ? gue dapet beasiswa basket di singapur..
Bukannya gue enggak mau pamit sama lo langsung, gue cuma enggak mau ada air mata yang harus tumpah, gue juga pamit ke anak-anak lewat telpon kok..
Tentang masalah kita, maaf lagi, bukan gue mutusin ini secara sepihak, sejujurnya gue nungguin elo buat ngambil tindakan untuk masalah kita, dan gue sedikit kecewa karena elo milih buat terus-terusan ngehindarin ini ketimbang nyelesein ini. akhirnya gue putusin buat gantungin semua keputusan sama hasil beasiswa gue, kalo gue lolos, gue harus ikhlasin cerita kita selesai disini, tapi kalo gue gagal, berarti gue akan tetap ada di samping lo..
Dan ternyata takdir emang belum berpihak sama kisah kita kka. Gue masih sayang sama lo, tapi ini jalan yang udah gue ambil, gue harap elo enggak keberatan sama ini semua. Jangan pikir gampang buat gue ngadepin ini, satu setengah tahun selalu ada elo di samping gue, enggak semudah itu gue tepiin gitu aja..
Gue enggak tahu perasaan lo sama gue gimana sekarang, tapi tingkah laku lo yang terus menjauh dari gue, bikin gue narik kesimpulan, kalo memang udah enggak ada gue di dalem hati lo lagi..
Enggak ada maksud apa-apa gue balikin semua barang dari lo ke gue. Tepat kepergiaan gue ke singapur, keluarga gue juga pindah ke jogja, dan gue enggak mungkin bawa barang-barang itu kesini, jadi gue mutusin buat ngirim balik barang-barang itu ke elo, sekaligus biar bikin gue gampang lupain semua tentang kita..
Gue yakin lo bakal baik-baik aja, kalo lo udah punya pengganti gue nanti, jaga dia dengan benar ya, cukup gue yang lo sakitin berkali-kali..
Agni. 
Bila ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan cakka sekarang, hanya satu, yaitu penyesalan.
Tanpa mempedulikan pasangan lain yang telah berhenti berdansa sejak tadi, alvin dan shilla terus mengikuti irama mereka sendiri. Seolah-olah, inilah kesempatan akhir untuk mereka, inilah kenangan akhir yang dapat mereka berdua torehkan.
Alvin memandang shilla lekar-lekat, seandainya ada kata yang mampu melukiskan apa yang alvin rasa, perasaan tentang rasa sayang yang dalam bercampur dengan ribuan kata terimakasih dan maaf. Shilla merekatkan dirinya dan alvin, membuang jarak yang ada, menyenderkan kepalanya di pundak alvin, dan berharap dalam hati akan terus seperti ini selamanya.
Tiba-tiba semua terasa berputar di hadapan alvin, perutnya kembali terasa di remas-remas bahkan jauh lebih hebat daripada sebelumnya. Shilla merasa tubuh alvin semakin memberat, dan kemudian merosot perlahan dari pelukannya.
Layaknya berada di arena balap, mobil iel dan via sama-sama melaju kencang, beberapa kali via hampir berhasil menyamai posisi mobilnya dengan mobil iel, tapi iel selalu saja bisa mempercepat laju mobilnya kembali.
Tepat di perempatan, iel langsung menggas mobilnya dengan kecepatan penuh, meski rambu lalulintas telah menampakkan warna kuningnya yang menyala. Begitupun dengan via yang nampaknya tidak sadar dengan apa yang ada di sekitarnya karena matanya hanya tertuju pada iel di depannya.
“BRAAKK !!” suara dentuman antara baja dengan baja, membuat iel reflek menginjak rem mobilnya, dan tubuhnya langsung bergetar hebat, melihat apa yang di tangkap oleh kaca spionnya.
***
Ify’s POV
Aku masih saja berdiri di dalam sini, tidak mempedulikan waktu yang terus berjalan, ternyata ini semua tidak semudah yang aku kira, aku tidak sekuat itu untuk melihatnya bahagia.
Dalam pantulan cermin di hadapanku ini, aku melihat sosok yang berbeda. Wajahnya tampak sama dengan wajahku, tapi ia terlihat terlalu lemah, atau aku memang selemah itu ? Bukan aku tidak ingin memilikinya, percayalah aku sangat mencintainya. Aku memiliki cita-cita dan dia memiliki kehidupan. Mengapa aku harus bertemu dengannya yang ber-ego sama keras seperti aku. Bolehkah aku sedikit berharap, semoga di kehidupan mendatang, kita bisa benar-benar bersama.
Setelah membasahi wajahku dengan air entah untuk keberapa kalinya, akhirnya aku putuskan untuk keluar dari sini. Aku bingung, mengapa pesta ini tampak jauh berbeda dari sebelum aku tinggalkan ke toilet. Mengapa ada suasana yang begitu hening sekarang ?
Ku lihat, orang berbondong-bondong berjalan ke arah depan rumah, aku pun mengikutinya, dan alangkah terkejutnya aku, melihat alvin yang pingsan dan shilla yang tampak terguncang, tanpa memikirkan apapun, aku langsung ikut masuk ke dalam mobil, mememluk shilla yang tangisnya hanya tinggal isakan saja.
Cakka’s POV
Masih ku ingat kecupan terakhirnya di pipiku. Dan kini semua itu lenyap karena kebodohanku. Ku raba pundakku, tempatnya biasa bersandar. Aku rindu aroma tubuhnya. Tuhan mengapa aku bodoh sekali. Bisakah aku meminta kesempatan kedua untukku, ehm bukan, bisakah aku meminta satu kesempatan lagi, kali ini saja, aku hanya ingin mengucapkan maafku untuknya.
Sekarang rasanya tubuhku penuh dengan penyesalan. Mengapa aku tidak menahannya ? mengapa aku malah membiarkannya lepas begitu saja ? mengapa aku bisa sebodoh ini ? inikah karma untukku ? inikah ganjaran yang tepat untukku karena telah menyia-nyiakannya ?
Dan saat ini aku baru mengerti, bahwa aku masih mencintainya, bahwa aku masih menginginkannya untuk ada disisiku, bahwa aku tidak pernah benar-benar sanggup kehilangannya.
“Drrttt...drttt..”
From : rio
Rs mulya sari, alvin kritis.
Aku telah kehilangan bidadariku, dan aku tidak ingin kehilangan sahabatku juga, sambil menyambar kunci mobil, aku langsung bergegas menuju rumah sakit.
Shilla’s POV
Tubuhnya tampak benar-benar pucat sekarang, selang-selang yang sesungguhnya tidak dapat menambah umurnya, di jejalkan hampir di seluruh badannya. Aku hanya bisa menggenggam tangannya yang dingin dan melantunkan doa dalam hati.
Aku belum siap kehilangan dia Tuhan, belum saat ini, aku masih ingin bersama alvin, seterusnya hingga nanti. Tolong jangan berhentikan waktunya sekarang Tuhan, jangan sekarang, aku masih ingin tersenyum untuknya dan membahagiakannya.
Karena merasa jari jemari alvin yang aku genggam bergerak-gerak, aku langsung mendekatkan wajahku ke arahnya, dan matanya mulai terbuka perlahan-lahan, bibirnya nampak bergerak-gerak, tapi masker oksigen yang menutupinya membuat aku tidak mengerti apa yang ingin ia ucapkan.
Aku menatap wajah putihnya, melihat butiran keringat yang menetes deras dari pelipisnya. Meski bibirnya tersenyum, tapi rahangnya mengeras menahan sakit. Aku hanya dapat menggenggam tangannya. Tidak ada lagi air mata mengalir, meski dadaku sesak bukan main melihatnya seperti ini. Demi apapun aku rela menukar tempatku dengannya bila Tuhan mau mengijinkan itu.
Bibirnya terus bergerak-gerak, tampaknya ia ingin berbicara denganku. Meski takut membahayakan kondisinya, aku beranikan untuk melepas masker oksigen itu.
“Sh..shil..la..” aku mendekat ke arahnya, suaranya terdengar begitu lemah.
“A..aku..sayang..sa..ma..kamu..” dadaku bertambah sesak mendengarnya, aku mengeratkan genggaman tanganku.
“Aku juga sayang sama kamu alvin, mama kamu lagi ngurus semuanya, malem ini juga kita terbang ke singapur ya..” dia nampak tersenyum ke arahku.
“Aku se..neng..ma..sih..bisa..li..hat..kamu..”
“Sstt..jangan banyak ngomong alvin, aku pakein lagi ya ininya..” aku berniat memakaikannya masker oksigen lagi, karena napasnya yang mulai tersengal-sengal, tapi ia malah menggeleng.
“Pe..luk..a..ku..” pintanya masih tetap sambil tersenyum, meski dari keringat yang terus mengucur di pelipisnya, menandakan rasa sakit itu sedang menyiksanya saat ini. Aku mengikuti permintaannya, aku letakkan kepalaku di atas dadanya, aku dekapkan tanganku di tubuhnya.
“Sa..kit shil..” aku semakin mengeratkan tanganku, suara degup jantungnya berdetak terlalu cepat, menderu-deru tidak karuan.
“Dingin..” timpalnya lagi. Aku hanya bisa terus memeluknya, sambil memejamkan mataku, berharap sebagian rasa sakitnya dapat berpindah ke tubuhku.
“Kamu kuat vin, kuat, aku ada disini untuk kamu” ujarku mencoba menyemangatinya.
“Di..ngin..” ulangnya sekali lagi, tampaknya kesadaran mulai menipis saat ini, degup jantung yang tadi berdetak cepat, kini tiba-tiba melambat, aku melirik ke arah monitor, garisnya mulai melemah. Aku mengangkat badanku, melepaskan pelukanku untuknya. Aku menatap matanya yang mulai nampak meredup.
“Alvin..alvin..” panggilku berkali-kali, berharap suaraku dapat menahannya. Dia mulai tidak meresponku, aku genggam tangannya yang kali ini terasa jauh lebih dingin.
“Alvin ! alvin !” panggilku lebih keras, tapi matanya malah terus meredup, dan akhirnya terpejam.
“ALVIN !!” raungku sambil memeluk badannya lagi, dan sudah tidak ada detak jantung sama sekali disana.
Iel’s POV
Sivia masih ada di dalam ugd dan aku sama sekali tidak tahu keadaanya saat ini. Aku tidak mengerti kondisinya saat ini. Aku pandangi tubuhku yang penuh darah via, darah saat aku mengangkatnya sendiri dari dalam mobilnya yang tertabrak truk biadab itu. Mata via telah terpejam saat aku mengangkatnya, tapi aku ingin terus optimis saat ini, aku tidak mau berandai-andai kemungkinan terburuk.
Aku menatap sebuah benda persegi panjang bersampul coklat yang tadi di temukan warga yang membantuku di jok belakang mobil via. Dengan bergetar, aku buka kertas coklat itu, dan hatiku langsung merasa terenyuh saat melihat apa yang ada di dalam figura itu.
Kumpulan dari foto-foto yang disusun dan di buat sedemikian rupa membentuk kata ‘maaf’. Dia melakukan ini untuk meminta maaf padaku dan aku malah menolaknya berkali-kali. Di sana, ada banyak fotonya, ada juga foto, shilla, ify, agni, alvin, rio dan cakka. Astaga Tuhan, jadi ini yang ia lakukan saat itu bersama cakka, jadi aku telah terlalu jauh salah paham padanya.
“Keluarga sivia azizah..” aku langsung berdiri menghampiri suster, orang tua via masih dalam perjalanan.
“Saya pacarnya sus, gimana keadaan dia ?” suster itu menatapku iba, kemudian ia memberi kode agar aku masuk saja ke dalam. Perasaan tidak enak langsung menyergapku dari segala arah, aku masuk, dan menemukan sesosok tubuh yang telah di tutupi kain putih dari ujung kepala hingga kakinya.
“Mana pacar saya sus ?” tanyaku pada suster yang ada di belakangku, berharap bukan sosok itu yang ia tunjuk. Tapi harapanku pupus seketika, ketika ia malah menuntunku menghampiri tubuh yang telah tak bernyawa itu. Sekujur tubuhku seperti mati rasa, aku membuka penutupnya, dan bersimpuh di samping via.
“Maafin aku vi, maaf..aku masih sayang sama kamu..” bisikku, hanya itu yang mampu keluar dari bibirku.
“Mas ini..” suster tadi memberiku sebuah kantong plastik bening yang isinya sebuah kalung, aku tahu itu kalung berbandul cincin yang dulu aku berikan untuknya. Aku berdiri, aku masih ingin melihatnya tapi tidak untuk saat ini, dengan terseok-seok aku keluar dari ruangan itu, dan duduk di bangku yang tadi juga aku tempati.
Seumur hidupku, di mulai dari detik ini. Aku yakin, aku akan terbenam dalam rasa bersalah. Saat ini, otakku hanya di penuhi oleh beribu kalimat yang di mulai dengan kata seandainya. Aku paham, menyesalinya tidak akan membuat semua berjalan seperti yang aku mau. Tapi aku berani sumpah, ini bukan keinginanku. Aku akan selalu mengingat senyumnya dan berharap masih dapat menemuinya nanti.
“Iel..” sebuah suara familiar memanggilku, aku mengangkat kepalaku, dan menemukan cakka di hadapannku.
“Lo kenapa ? kok berdarah ? gimana alvin ?” aku hanya bisa menggeleng.
“Lo kenapa ?” ulang cakka lagi kali ini sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.
“Via kka..via..dia udah meninggal..” jawabku lirih, dan sebutir air mata menetes di pipiku. Cakka menatapku tajam, tapi ia tidak bertanya lagi, ia memelukku sambil menepuk-nepuk pundakku.
***
Nyanyian pilu yang menyayat hati, mengantar kepergian alvin dan via. Dua orang anak manusia, yang harus mengakhiri perjalanan mereka yang baru sejenak, di usia yang masih sangat muda, tujuh belas tahun.
Isakan tangis terdengar dimana-mana, semerbak wangi bunga, seolah melukiskan rasa rindu meski baru sejenak mereka berdua pergi.
Shilla terus memegang nisan alvin, tidak ada isakan ataupun air mata yang tumpah. Tatapan matanya tampak kosong, terlalu menyedihkan untuk dilihat. Jiwanya tampak tidak stabil, ia kehilangan separuh napasnya, orang yang selalu ada untuk menemaninya dan menghujaninya kasih sayang, alvin.
Tidak jauh berbeda dengan shilla, iel terus membelai nisan via. Rasa bersalah masih terus mengendap di hatinya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Tangannya yang lain, menggenggam erat kalung milik via, sorot matanya nanar, lirih dan terlihat pedih. Gadisnya telah pergi, membawa raga, cinta dan hatinya, hanya meninggalkan sebuah rasa, pemyesalan.
Rio, ify dan cakka juga ikut sedih melihat keadaan mereka. Tidak pernah ada dalam mimpi paling buruk mereka sekalipun, akan kehilangan dua sahabat mereka dalam waktu yang bersamaan. Meninggalkan mereka menuju keabadiaan yang kekal dan abadi.
Rio merengkuh shilla dalam pelukannya “Nangis shil, kalo emang lo mau nangis”.
“Enggak harus ada air mata yang tumpah untuk ngelepas orang yang kita sayang yo, gue cuma mau ngenang alvin pakai senyum gue” jawab shilla lirih, rio langsung memeluknya seerat mungkin, ia tidak sampai hati melihat sahabatnya begini.
“Rasanya masih nyesek buat gue kalo inget pertemuan terakhir gue sama via, gue masih marah dan ngebentak dia” desah iel pelan, cakka menghampiri iel, ikut berjongkok di sampingnya.
“Setiap perpisahan memang selalu menyimpan luka yel, apalagi kalo kita ngerasa punya salah, tapi bukan berarti hidup kita harus selesai sampai disini, kita masih di kasih umur, karena Tuhan mau ngasih kita kesempatan sekali lagi untuk nebus semua kesalahan kita” hibur cakka, meski ia sendiri masih belum bisa menahan rasa sesalnya akan keputusan agni.
“Yang namanya penyesalan memang akan selalu datang terlambat, itu manusiawi banget. Tapi siapa yang tahu sih sama garis tangan dan nasib yang kita punya. Selama kita masih sama-sama dan saling melengkapi satu sama lain, gue yakin kok, sekenceng apapun badai yang menghadang di depan, kita bisa ngelewatin itu bersama-sama” timpal ify. Cakka tersenyum ke arah ify, ia berdiri dan mengulurkan tangannya ke iel, iel menyambut tangan itu, lalu cakka melingkarkan tangannya yang satu lagi di pundak ify. Shilla melepaskan pelukannya dari rio, ia meraih tangan ify dan tetap menggenggam tangan rio disisi satunya.
Mereka tersenyum ke arah nisan alvin dan via, dan yakin juga, agni sedang ada di dekat mereka saat ini, meski raganya berkilo-kilo jauhnya.
Cinta mereka boleh berakhir masing-masing, hidup mereka boleh berhenti sampai disini, kisah mereka boleh sampai di halaman terakhir. Tapi takdir mereka, masih akan terus bergulir ke depan, membentuk kisah baru lagi, memulai cerita baru kembali.

2 komentar:

  1. Udah nggak bisa komentar apa2 keren parah ini cerita. Nggak bosen2 bacanya. Mulai dati awal di post waktung di fansitenya icl sampai akhirnya nemu lagi di blog ini setelah sekian lama. Cerita kesyangan lah pokoknya sama kak anindhya juga kesayangan banget :). Oh ya mau request siviel yah tp yang sad ending
    ��

    BalasHapus
  2. Udah nggak bisa komentar apa2 keren parah ini cerita. Nggak bosen2 bacanya. Mulai dari awal di post waktu di fansitenya icl sampai akhirnya nemu lagi di blog ini setelah sekian lama. Cerita kesayangan lah pokoknya sama kak anindhya juga kesayangan banget :). Oh ya mau request siviel yah tp yang sad ending :-D

    BalasHapus