Tidak ada air mata yang terurai dari kedua mata bening shilla, meski badannya bergetar dan raut khawatir yang terasa amat nyata di wajahnya, kedua tangannya menggenggam erat tangan alvin yang belum sadarkan diri. Rio duduk di sampingnya, mengelus-elus pundak shilla.
Selain shilla dan rio, ada juga ify, via, agni, cakka serta iel di kamar itu. Ikut menunggu sambil terus memanjatkan doa di hati mereka masing-masing.
“Shil..la..” panggil alvin sedikit terbata-bata. Senyum lega langsung menghiasi wajah shilla, begitupun juga yang lain, yang langsung mengerubungi tempat tidur alvin.
“Gue panggilin dokter ya” ujar iel menawarkan sambil langsung berlalu pergi tanpa menunggu untuk di jawab. Shilla memandang alvin, dan begitupun sebaliknya. Entah hanya perasaanya saja atau karena terbawa suasana, shilla merasa tatapan itu terasa berbeda. Sementara yang lainnya diam, memperhatikan pasangan di hadapan mereka, yang selalu nampak saling melengkapi satu sama lain tersebut.
“Bisa permisi sebentar..” semuanya langsung memberi ruang untuk dokter yang ingin memeriksa kondisi alvin, tidak terkecuali shilla, meski entah kenapa lagi, tapi kali ini shilla merasa berat harus melepaskan genggaman tangannya dari alvin.
“Gimana alvin, ada keluhan ?” tanya dokter sambil melihat-lihat catatan yang ada di tangannya.
“Udah beberapa hari ini, saya suka ngerasa aneh sama tubuh saya dok, ada perasaan enggak enak terutama di daerah perut” jawab alvin berusaha santai.
“Tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur, apakah kamu pernah merasa perut kamu seperti di remas-remas, mual, dan muntah ?” pertanyaan dokter yang cenderung aneh itu, membuat semua yang ada di ruangan itu bergantian mengalihkan tatapannya antara dokter dan alvin. Hanya shilla saja, yang terus fokus menatap alvin.
“Memangnya saya kenapa dok ?” alvin mulai curiga dengan kondisinya akhir-akhir ini.
“Jawab pertanyaan saya alvin, apa kamu mengalami semua yang saya tanyakan tadi ? apa berat badan kamu menyusut akhir-akhir ini ?” tanya dokter lagi. Alvin diam sejenak, dia tahu semua yang dokter tanyakan itu terjadi padanya.
“Iya sih dok, akhir-akhir ini saya memang suka enggak enak badan, terus mual gitu, tapi menurut saya itu masuk angin biasa” sangkal alvin yang masih berusaha berpikir positif.
“Memangnya ada apa dok ?” shilla yang sejak tadi ikut diam mendengarkan memutuskan untuk ikut bertanya.
“Hasil lab alvin sudah keluar, dan...” entah sengaja atau apa, dokter itu menggantung kalimatnya, ia membetulkan letak kacamatanya sambil menatap alvin.
“Dan apa dok ?” sambung alvin tidak sabar.
“Ditemukan adanya sel kanker di lambung kamu” semua terdiam mendengar penjelasan dari dokter yang meski di ucapkan pelan, tapi serasa seperti ada petir yang menyambar langsung ke ruangan itu.
“Itu bercanda kan dok ?” tanya alvin getir sambil berharap dokter akan memberinya jawaban ‘iya’. Sementara yang lainnya menatapnya lirih, rio bahkan secara reflek langsung menggenggam tangan shilla yang terasa dingin.
“Seandainya saya bisa menjawab iya alvin, tapi memang itulah kenyataannya”
“Tapi saya baik-baik aja dok, selama ini saya enggak pernah ngerasain keluhan apapun kecuali akhir-akhir ini” ujar alvin yang masih berharap tadi ia hanya salah dengar.
“Kanker memang tidak selalu muncul gejalanya dari lama, tapi pola hidup kamu yang mungkin kurang teratur atau adanya gen kanker yang ada di dalam riwayat keluarga kamu..”
“Sta..stadium berapa ?” tanya shilla dengan suaranya yang bergetar. Dokter itu mengalihkan pandangannya ke shilla.
“Biar kita tanya ke alvin dulu, sejauh apa kondisi tubuhnya saat ini. Apa kamu sudah sampai muntah darah alvin ?” dokter itu kembali menatap alvin. Hati alvin mencelos, ia bahkan masih berusaha menyingkronkan otaknya dengan kenyataan yang harus diterimanya saat ini.
Rio tertegun sejenak. Ia menatap alvin yang sedang diam, dan bukannya menjawab pertanyaan dokter. Lalu matanya teralihkan ke arah handsaplast yang melingkar di ujung jari telunjuk alvin, pikirannya langsung teringat akan tisu-tisu penuh darah yang ia lihat di kamar mandi alvin. Rio melepaskan genggaman tangannya dari shilla, dan berjalan menghampiri alvin. Tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya dari alvin, rio meraih tangan alvin dan melepaskan plester berwarna coklat itu.
“Enggak ada bekas lukanya vin” ujar rio datar, yang tentu saja membuat semuanya bingung.
“Tangan lo enggak keiris kan ? darah itu bukan darah dari jari lo kan ?” lanjut rio lagi. Alvin langsung menarik tangannya dari tangan rio.
“Bukan urusan lo !” jawab alvin ketus.
“Lo tinggal jawab iya atau enggak vin” sela cakka yang sejak tadi hanya diam.
“Sudah-sudah, saya tahu ini berat untuk remaja seusia kamu alvin, saya akan membicarakan ini dengan orang tua kamu nanti, saya permisi dulu” sahut dokter itu.
“Stadium berapa dok ?” tanya shilla lagi, menahan langkah kaki dokter tepat sebelum pintu.
“Akhir..” jawab dokter itu pelan, tapi cukup terdengar dan sekali lagi, bagai petir yang menyambar. Semua mata langsung kembali menatap alvin.
“Vin..” panggil shilla pelan sambil mendekat ke arah alvin.
“Stop shil !” shilla tidak menggubris larangan alvin, ia terus berjalan ke arah tempat tidur alvin.
“Aku bilang stop shil ! tinggalin aku !”
“Lo apa-apaan sih vin ?!” timpal rio sambil menatap alvin tajam.
“Tinggalin gue sendiri ! pergi sana lo semua !” raung alvin yang suaranya cukup menggetarkan ruangan yang sunyi itu.
“Alvin..” shilla mengusap punggung tangan alvin.
“Pergi shil !” tampik alvin. Shilla hanya menggeleng, dia malah menarik kursi dan duduk di samping alvin.
“Aku bilang kamu pergi !” alvin terus-terusan menolak shilla di sampingnya, tapi shilla seolah tidak peduli, ia terus duduk sambil terus menatap alvin.
“Aku sayang sama kamu ..” bisik shilla mencoba tersenyum, meski hatinya terasa lebih dari sekedar sedih mendengar semua ini.
“Jauhin aku ! pergi !!”
“Enggak mau..”
“Cari cowok lain sana ! jangan sama aku !” shilla diam menatap alvin, dua butiran hangat mengalir di pipinya, tumpahan perasaan yang sejak tadi ia tahan. Rio langsung menghampiri shilla.
“Mau lo apa sih vin ? jangan egois dong !” ujar rio yang mulai kebawa aura negatif yang terpancar dari alvin.
“Egois ?! enggak suka lo ? tenang aja mungkin bentar lagi gue mati kali” timpal alvin santai.
“Plak !” sebuah tangan langsung melayang ke pipi putih alvin.
“Gampang banget kamu bilang mati ?! kamu enggak akan kenapa-napa !” teriak shilla sambil berusaha menahan laju air matanya yang semakin menderas. Rio langsung menarik shilla ke dalam pelukannya, tidak tega melihat sepupunya seperti itu.
“Jangan nangis shil, entar asma lo kambuh..” bujuk rio sambil mengusap-usap rambut shilla.
“Mending elo ajak pulang shilla dulu deh yo..” usul agni.
“Kita pulang ya shil..” tawar rio, yang di jawab dengan gelengan kepala oleh shilla.
“Lo pulang dulu aja shil, gue temenin ya..” timpal ify sambil mendekat ke arah shilla. Ify memberi kode ke rio, dan rio langsung melepaskan pelukannya, di gantikan oleh ify. Via juga menghampiri shilla. Sementara alvin memilih memandangi langit-langit kamarnya.
Akhirnya setelah dibujuk berkali-kali oleh semua orang, shilla akhirnya mau juga di paksa pulang. Sebelum pergi, shilla mendekati alvin lagi, ingin mengecup kening alvin, tapi alvin malah menghindar darinya.
“Udah ayo shil..” ajak rio, shilla menatap alvin nanar, lalu kemudian berjalan ke arah rio dan ify yang telah menunggunya.
“Aku enggak mau ketemu kamu lagi” ujar alvin tanpa ekspresi, yang jelas-jelas di tunjukkan untuk shilla. Ify yang menyadari itu, langsung meraih tangan shilla, dan menggandengnya ke luar dari kamar alvin.
Ify menemani shilla yang duduk di jok belakang, sementara rio menyetir di depan. Dari pantulan kaca, rio bisa melihat dengan jelas, ify yang sedang menjadi sandaran tubuh shilla. Inikah saat yang tepat untuknya membahas semua masalah di antara mereka berdua.
Diam-diam, ify tahu rio sedang memperhatikannya. Dan ia juga tahu, bahwa waktu akan terus bergulir cepat, ia tidak lagi bisa berlari atau sekedar bersembunyi, semuanya harus ia hadapi sekarang.
“Setelah nganterin shilla nanti, gue mau ngomong sama elo yo” rio hanya mengangguk mendengar kata-kata ify, ia sendiri hampir saja mau mengatakan hal yang sama barusan.
***
Di parkiran rumah sakit yang sepi, cakka dan agni saling berdiam diri berdua. Agni mencoba menemukan kata-kata yang tepat, karena tadi ia yang mengajak cakka untuk mengobrol berdua disini.
“Ada yang mau gue minta ke elo kka..” ucap agni akhirnya.
“Apa ?” tanya cakka sambil menatap agni. Dan ia baru sadar, telah lama ia tidak menatap wajah cantik itu, senyum manis yang selalu membuatnya merasa nyaman.
“Sebelumnya, boleh gue bersandar bentar aja ke elo” pinta agni, meski bingung, cakka tetap mengangguk. Agni langsung meletakkan kepalanya di atas pundak cakka, ia mencoba menikmati setiap detik yang terlewati, berharap dapat terus menyimpan rasa aman dan tentram yang ia dapatkan dari hal ini.
“Elo kenapa ?” cakka memberanikan diri bertanya, perasaanya mengatakan, ada sesuatu yang beda saat ini. Agni mengangkat kepalanya, dan menatap cakka.
“Gue pengen pergi berdua, seharian sama elo, kemana aja, terserah lo..”
“Pergi..berdua ?” ulang cakka. Agni mengangguk mantap.
“Iya, mau kan ? sekali ini aja..” agni lebih terlihat memelas ketimbang hanya sekedar meminta.
“Oke, kapan ?”
“Besok bisa kan ?”
“Gue jemput jam 9 ya..” agni hanya menggangguk, dengan wajah yang berseri-seri.
“Oke, gue tunggu besok. Gue balik duluan..” pamit agni.
“Sip, hati-hati ya..” agni tersenyum sambil berjalan ke arah mobilnya. Sementara cakka memilih untuk terus duduk di tempatnya saat ini.
Masih di area yang sama, ada via yang sedang termenung sendiri sambil duduk di depan kemudinya. Sejujurnya ia tidak begitu mengerti, mengapa iel terlihat begitu antipati padanya saat ini. Sebesar itukah salah yang telah ia perbuat, hingga membuat iel bahkan tidak mau menatap matanya. Atau ada kesalahan lain yang via buat tanpa sengaja hingga melukai iel.
Via menghembuskan napasnya, ia melirik ke arah jok belakang mobilnya, menatap benda berbentuk persegi panjang tersampul kertas coklat yang teronggok begitu saja. Ia telah coba menahan iel tadi untuk menyerahkan ini, tapi iel tidak menggubrisnya, dan langsung pulang begitu saja, meninggalkan dirinya. Merasa sudah cukup lama, via akhirnya memutuskan untuk menjalankan mobilnya. Baru beberapa meter, via melihat cakka yang nampak sedang duduk sendirian, alih-alih pulang, via malah memarkirkan mobilnya kembali dan menghampiri cakka.
“Gue boleh duduk disitu kan ?” tanya via sambil menunjuk tempat kosong di samping cakka.
“Duduk ajalah vi, kok lo belom pulang ?”
“Lo sendiri kenapa belum pulang ?” cakka tertawa mendengar via memutar pertanyaanya.
“Gimana lo sama iel ?” tanya cakka berusaha memulai sebuah topik. Via hanya mengangkat bahunya sambil menggeleng.
“Lho, kenapa ? masih belum baikan ?”
“Kayanya semakin hari, dia semakin menjauh dari gue, semakin enggak mau deket-deket sama gue”
“Jangan nyerah dulu dong vi, lo masih sayang kan sama dia ?”
“Sayang bangetlah kka, dia enggak akan terganti buat gue”
“Terus foto-foto yang waktu itu buat apaan vi ?”
“Ada deh, surprise buat dia. Enggak seberapa sih, gue cuma pengen bikin sesuatu yang bisa disimpan sekaligus di kenang. Gue pengen dia tahu, kalo gue enggak pernah sekalipun berniat buat mainin perasaanya dia, gue sayang sama dia, dan akan selalu tetap kaya gitu, sampai kapanpun..” cakka hanya memberikan cengirannya untuk cerita via.
“Gue juga belom baikkan sama iel” ujar cakka.
“Kenapa ?”
“Karena gue terlalu pengecut untuk minta maaf” via tersenyum tipis.
“Tapi suatu hari nanti, iel pasti akan maafin kita berdua kan ?” tanya via sedikit getir.
“Iel pasti akan maafin lo, gue yakin..”
“Semoga..”
“Jangan pesimis dong vi”
“Enggak akan kka, gue akan mempertahankan iel apapun yang terjadi, gue sayang sama dia, dan akan selalu kaya gitu. Gue enggak mau nyerah, gue emang salah, makanya gue harus minta maaf. Iel cuma ada satu, dan artinya dia enggak akan terganti oleh apapun..” cakka tertegun mendengar kata-kata via. ia merasa tersentil dengan keadaannya sendiri saat ini.
“Kalo menurut lo, apa gue masih bisa mempertahankan agni ?” via menatap cakka sekilas, ia tidak mengerti mau memberikan jawaban apa, ia tidak ingin mematahkan harapan caka, tapi sesungguhnya ia juga tidak setuju bila harus melihat agni terus-terusan tersiksa dengan semua tingkah laku cakka.
“Apa lo enggak akan nyakitin agni lagi ?”
“Apa gue terlihat sejahat itu untuk terus-terusan nyakitin agni ?” tanya cakka balik.
“Gue cuma enggak mau agni jadi lemah lagi, dia terlalu sayang sama elo”
“Dan apa sayang gue terlihat sedangkal itu buat dia ?”
“Kalo emang lo masih sayang sama dia, perjuangin dia kka, tapi tolong jangan sakitin dia lagi, jangan bikin dia kecewa lagi, selama ini udah cukup elo giniin dia, karma itu berlaku lho” ujar via yang membuat cakka tersentak, tidak pernah sekalipun selama ini dia memikirkan soal karma yang akan di terimanya.
“Gue bakal minta maaf sama agni vi, dan gue akan berusaha buat enggak ngulangin lagi semua kesalahan yang udah gue lakuin ke dia”
“Jangan janji sama gue kka, lo cukup buktiin itu ke agni dan kita semua”
“Thanks vi..” via hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sendiri juga merasa mendapatkan sesuatu dari obrolan singkat ini. Merasa malu akan keegoisan dan ketidakpuaasannya selama ini terhadap iel yang dulu menurutnya terlalu over protect, tapi apalah semua itu di banding sikap agni yang tetap bersabar menerima cakka yang tidak memperhatikan dirinya sama sekali.
***
Iel menjalankan mobilnya pelan-pelan, meski mobil-mobil lain di sekitarnya melaju kencang dan berkali-kali mengklakson mobilnya. Iel berusaha untuk tidak peduli, ia menikmati setiap desahan angin yang menyelinap di sekitarnya dari kaca yang ia biarkan terbuka lebih dari setengah.
Ia melirik ke arah jok di samping kirinya, kosong. Tempat yang selama hampir satu setengah tahun hanya menjadi milik via, kini ia biarkan kosong. Begitupun dengan hatinya, hampa tanpa senyum dari via.
Baru setengah jam yang lalu, iel mengacuhkan via. Keterlaluankah sikapnya ini, terlalu keras kah cara iel menghindari via. Meski via terlihat berusaha menahannya berkali-kali, memintanya dan memohon padanya untuk tinggal sejenak.
“Yel, tolong aku mau ngomong sama kamu, bentar aja yel..”
Bukannya iel tidak ingin. Dia hanya takut, takut saat matanya bertemu via, rasa cinta itu akan terus berkobar hebat dalam hatinya, dan ketika itu terjadi, iel takut via akan melepaskannya atau ia harus melepaskan via. Dan dirinya tahu pasti, ia tidak akan sanggup menjalani itu, ia tidak akan bisa semudah itu melihat via bahagia dengan orang lain, terlebih itu adalah sahabatnya sendiri.
***
Suara gemericik dari air mancur di tengah taman, menjadi satu-satunya suara yang menemani rio dan ify.
“Gue enggak pernah maksud buat ngebohongin lo fy, begitupun shilla, gue yang....”
“Gue udah enggak masalahin itu kok yo, bukan masalah itu yang mau gue bahas, gue mau ngebahas tentang kita, tentang keputusan yang mau kita ambil” meski duduk berdua, tapi mereka tidak saling berpandang-pandangan.
“Enggak masalah buat gue kalo harus ngebatalin ini semua, begitupun dea, ki....”
“Dengerin gue yo, gue sayang sama lo, dan rasa sayang itu rasa sayang yang bikin gue pengen milikin elo, bukan lagi sekedar rasa sayang yang kaya gue bilang dulu. Gue takut kehilangan lo saat gue tahu hubungan lo dengan dea, untuk pertama kalinya gue ngerasain apa yang orang sebut dengan patah hati. Gue akuin saat itu gue marah sama lo, gue kecewa, gue enggak ngerti sama semuanya, sampai akhirnya gue sadar, bukan elo yang menjauh dari gue, tapi gue yang ngebiarin elo jauh dari gue”
“Maaf fy gue....”
“Memang bener kata orang, you don’t know what you get until you lost it, dan mungkin itu yang terjadi sama gue. Selama ini, gue cukup ngerasa tenang dengan tahu kalo lo sayang sama gue, selebihnya gue enggak peduli bahkan gue milih buat gantungin elo. Gue terlalu sibuk ngejar semua cita-cita gue, gue enggak pernah sadar dengan keberadaan lo yang nunggu gue disini...” ujar ify kembali memotong kata-kata rio.
“Gue enggak peduli fy, kita masih bisa mulai semuanya sekarang, kita masih bisa” timpal rio cepat, sebelum ify menyelanya lagi.
“Menurut gue, kita masih bisa mengakhiri semuanya sekarang yo, sebelum terlambat. Lo boleh anggep keputusan gue ini sepihak, tapi gue udah mutusin, untuk kembali ke amrik, untuk ngeraih cita-cita gue, dan elo, gue tahu dea orang yang baik dan pantes buat lo” ify berusaha membuat nada suaranya terkesan seperti biasa, ia tetap tidak ingin ada air mata yang tumpah saat ini, setidaknya hingga nanti ia hanya sendiri di kamarnya.
“Lo milih cita-cita lo di banding gue fy ? bukannya kita bisa tetap berhubungan sambil elo lanjutin sekolah lo ?” tanya rio yang masih tidak abis pikir denga kalimat yang ify ucapkan barusan.
“Kalo lo mau bilang gue egois, ya gue memang seorang yang egois. Tapi apa yang lagi gue jalanin sekarang, semuanya juga buat kesuksesan diri gue sendiri, kebanggaan kedua orang tua gue, keluarga gue. Dan prinsip gue juga enggak akan berubah, gue tetap enggak mau menjalin hubungan dengan siapapun biar gue tetap fokus, gue percaya, suatu saat nanti, akan datang orang yang akan melengkapi gue dengan cara dan waktu yang tepat, dan sampai saat itu datang, gue akan tetap memilih buat jadi seorang ify yang egois yang lagi ngejar cita-citanya”
“Jadi gue bukan orang yang tepat buat lo ?”
“Enggak ada yang tahu, biarin Tuhan tetap merahasiakan semua itu dari kita. Tapi jangan pernah nunggu gue, dan membiarkan semua kebahagiaan lo lewat gitu aja, kita sama-sama berhak bahagia yo, dan untuk saat ini, mungkin kita memang harus bahagia sendiri-sendiri” untuk pertama kalinya, rio menatap ify, gadis itu tetap nampak tegar, seolah semua ini hanyalah sebuah perjalanan yang harus di lalui semudah itu, atau memang seperti itu adanya.
“Syal itu ?” tanya rio.
“Oleh-oleh dari seorang sahabat ke sahabatnya” jawab ify sambil tersenyum tipis, tapi terasa telak di hati rio.
“Ayo kita pulang..” ajak ify sambil berdiri, rio hanya mengangguk kecil sambil ikut berdiri.
“Sekali ini aja, gue pengen ngegandeng tangan lo, cuma untuk menikmati detik-detik indah ini” desah rio pelan sambil menggenggam tangan ify dengan erat, meski mereka sama-sama melihat ke arah lain, sama-sama berusaha meyakinkan hati mereka masing-masing bahwa hari ini akan berakhir dan esok semuanya akan kembali normal.
***
Dari celah-celah pintu, shilla berdiri menatap ke arah alvin, yang dengan sengaja tidak membiarkannya masuk. Sudah sejak tadi pagi, shilla terus berdiri disini, ia hanya ingin melihat alvin, dan kalau bisa menemaninya. Shilla reflek menoleh, ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
“Tante, gimana kata dokter ?” tanya shilla langsung, ketika melihat orang yang menepuknya adalah mamanya alvin, yang baru datang dari singapur tadi pagi.
“Temenin tante sarapan bentar ya, ada yang mau tante obrolin sama kamu” shilla menoleh ke arah alvin, yang terlihat tidak peduli pada dirinya, kemudian ia mengangguk ke arah mamanya alvin.
Shilla hanya memesan segelas jus alpukat yang lantas ia biarkan begitu saja, sejak semalem ia tidak berkeinginan untuk menyentuh apapun, hanya ada alvin di dalam pikirannya.
“Maafin alvin ya shil, tante juga enggak tahu kenapa dia jadi kaya gitu” shilla hanya tersenyum tipis.
“Tante enggak mau kehilangan alvin shil..” setetes air turun membasahi pipi mamanya alvin.
“Memang dokter bilang apa tan ?” dalam hati, shilla berharap kata-kata menyenangkan yang akan ia dengar.
“Kanker alvin sudah menyebar, dan sayangnya tidak ada deteksi dini, jadi bisa di bilang penanganan apapun yang mau di lakukan sudah terlambat. Dokter bilang, kemungkinan hidup alvin enggak lebih dari tiga puluh persen lagi..” hati shilla mencelos mendengarnya, jawaban itu jelas-jelas terlalu jauh dari apa yang ia bayangkan.
“Ini salah kan tan ? sampai kemarin malem alvin masih baik-baik aja, masih bisa jemput shilla, masih bisa main piano, masih bilang i love you sama shilla..” mamanya alvin langsung memindah posisinya duduk di samping shilla, kemudian ia memeluk shilla, seperti memeluk anaknya sendiri.
“Seandainya memang alvin baik-baik aja shilla..”
“Shilla mau ke tempat alvin tante, shilla harus ke temu alvin..” shilla mengangkat kepalanya dan langsung berdiri, ia menatap mamanya alvin sekilas, kemudian ia berbalik berjalan cepat ke arah kamar alvin.
“Keluar !!” teriakan alvin langsung menyambutnya, ketika shilla memaksa masuk dan mendekat ke arah tempat tidur alvin. Tapi shilla tidak bergeming, ia menarik kursi dan duduk di samping alvin, ia meraih semangkok bubur yang sejak di antarkan tadi pagi belum tersentuh sama sekali. Shilla menyodorkan sesendok bubur ke arah alvin.
“Klontang !” bukannya menyaut sendok tersebut, alvin malah menampiknya, membuat sendok itu terjatuh dan bubur yang ada di atasnya berhamburan di celana jins shilla dan lantai. Shilla masih tetap diam, ia mengambil tisu dan membersihkannya. Kemudian ia ke kamar mandi, mencuci sendok yang tadi, dan lantas kembali lagi, untuk menyuapi alvin.
“Prang !” kali ini bukannya hanya sendoknya, tapi alvin juga dengan sengaja mendorong mangkok yang sedang shilla pegang. Shilla menatap alvin nanar meski alvin membalasnya dengan tatapan tajam.
“Kamu mau buah apa ?” tanya shilla yang akhirnya bersuara.
“Aku mau kamu keluar !!” shilla menggeleng kuat, ia malah meletakkan apel, jeruk dan pear di ranjang alvin.
“Pilih yang mana, aku kupasin..” tawa shilla. Alvin mengangkat apel, tapi tidak menyerahkannya ke arah shilla, melainkan melemparnya langsung, dan melakukan hal yang sama terhadap jeruk dan pear. Shilla tetap tidak bereaksi, ia hanya ingin disini, bersama alvin, meski penolakan alvin untuknya semakin anarkis.
“Arghh..hoek..” darah segar keluar dari mulut alvin, shilla langsung menarik baskom yang ada di bawah ranjang, dan mengangsurkannya ke depan alvin.
“Per..gi..” ucap alvin dengan nafas yang tersengal-sengal dan bibir merah penuh darah, tapi dengan suara yang lemah. Shilla tidak merespon itu, ia menyekakan tisu ke arah bibir alvin.
“Arghh..” alvin mengerang lagi, kali ini ia sambil meremas-remas perutnya, dan meski shilla tidak tahu bagaimana rasanya, tapi shilla dapat merasa rasa sakit yang sama. Shilla memeluk alvin, alvin berusaha meronta, tapi kondisi alvin yang lemah membuat shilla dapat terus erat melingkarkan tangannya di tubuh alvin.
“Sakit..shil..sakit..” ujar alvin bergetar. Shilla melepaskan pelukannya untuk meraih tombol bel dan memencetnya berkali-kali.
“Sabar vin..” sekuat apapun shilla mencoba menahan air matanya, air mata itu tetap mengalir bahkan semakin deras.
“Hoek..” lagi-lagi alvin memuntahkan darah, shilla menengadahkan tangannya, membuat telapak tangannya penuh darah saat ini. Tapi ia tidak peduli. Kepanikkannya bertambah, ketika tubuh alvin tampak mengejang, dan ia masih terus meremas-remas perutnya.
“Alvin ! alvin !” panggil shilla berkali-kali, ia benar-benar takut saat ini. Tepat saat itu, serombongan tim dokter dan suster masuk ke kamar alvin, shilla langsung mundur memberi jalan. Mamanya alvin yang juga ada disitu, langsung memeluk shilla yang tampak terguncang.
***
Seperti yang telah di janjikan sebelumnya, hari ini cakka dan agni menghabiskan waktu berdua, dan dufan menjadi tujuan mereka. Tanpa rasa takut, mereka berdua mencoba berbagai wahana yang ada, menikmati setiap hal yang mereka lakukan.
Rasanya sudah lama mereka tidak seperti ini. Berkejar-kejaran layaknya seorang anak kecil, berebut es krim meski mereka telah memilikinya masing-masing, dan saling tertawa berdua.
Cakka tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat menikmati saat-saat seperti ini, berdua bersama agni. Karena saat ia bersama agni, ia tidak perlu tampak keren atau menjaga imagenya. Agni selalu menerima ia apa adanya. Semakin cakka menikmati senyuman agni hari ini, semakin terasa rasa penyesalan itu atas sikapnya selama ini, dan semakin besar pula keinginannya untuk mempertahankan agni disisinya.
Agni berani bertaruh demi apapun, ada begitu banyak perempuan diluar sana yang rela bertukar tempat dengannya sekarang, ada dalam jarak sedekat ini bersama cakka dan dapat memandangi wajah cakka yang memang tidak akan pernah membosankan. Dan agni sendiri sangat senang menjalani hari ini, meski ia tahu pasti, kemana hari ini akan berakhir nanti. Berusaha tidak memikirkan apa yang akan terjadi, agni berniat untuk melewati saat ini dengan semua senyuman dan tawa bahagia yang ia punya saat ini.
***
Dengan rambut yang masih acak-acakan dan tampang kusut, rio berjalan ke kamar mandi. Dia baru bisa memejamkan matanya pukul tiga subuh tadi. Pertemuaanya dengan ify semalam masih tergambar jelas di pikirannya, masih menyisakan rasa pedih dalam hatinya.
“Byur..” rio menyiram air dingin di atas kepalanya. Ia berniat untuk menjenguk alvin pagi ini, lagipula rio yakin berpuluh-puluh ribu persen, shilla telah sejak tadi menunggui alvin. Rio hanya tidak ingin shilla yang punya asma dan kondisi tubuhnya gampang sakit, menjadi terforsir menghadapi alvin yang nampak mengganas seperti kankernya. Sama-sama sebagai anak tunggal, membuat rio menganggap shilla layaknya seorang adek kandung untuknya.
Rio sedikit terkejut ketika ia melihat dea dan orang tuanya serta orang tua rio, duduk ngobrol di ruang tamu.
“Akhirnya kamu bangun juga, ayo sini duduk dulu” ujar mamanya. Karena sudah terlanjur terlihat, rio mau tidak mau duduk juga, tepat di depan dea.
“Ada apa ?” tanya rio cuek.
“Mama papa sama om dan tante, pengen mastiin hubungan kalian. Kita kan udah bilang sejak awal. Kita juga enggak mau maksain hubungan ini, kita enggak mau jadi orang tua kejam. Sekarang kita pengen denger keputusan kalian. Kalo kalian setuju, minggu depan, sebelum mama papanya dea berangkat, kita adain acara pertunangan itu. Bukan apa-apa, cuma kaya semacam acara sukuran. Tapi kalo kalian enggak ngerasa cocok, ya enggak masalah..” terang mamanya rio panjang lebar.
“Jadi gimana de ?” tanya mamanya dea. Dea tersenyum tipis, ia menatap rio sekilas.
“Sejauh ini dea nyaman temenan sama rio, tapi menurut dea, maaf ma pa, om tante, tapi dea eng...”
“Kita setuju sama acara ini” potong rio. Dea menatapnya bingung, sementara kedua orang tua mereka tersenyum senang.
“Permisi bentar, aku mau ngomong sama rio” pamit dea sambil menarik tangan rio ke ruangan lain.
“Lo enggak masih tidur atau ngigau kan yo ?” tanya dea langsung, rio hanya menggeleng.
“Hubungan lo sama ify ?” tanya dea lagi yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Ify milih cita-citanya di banding gue, gue mau apalagi”
“Dan elo nyerah gitu aja ?”
“Keputusan ini udah di buat ify, final, mungkin dia bener, gue sama dia memang enggak punya takdir yang sama untuk bersatu. Tapi de, jangan pernah sekalipun elo mikir kalo gue jadiin lo pelampiasan, gue beneran enggak ada maksud kesana, gue cukup nyaman sama lo dan lo cukup pantas untuk gue cintai”
“Enggaklah, gue enggak pernah mikir tentang itu. Elo yakin yo, mau ngelakuin ini semua ?”
“Lo mau kan de, kalo kita sama-sama belajar mencintai satu sama lain. Kita enggak pernah tahu, hidup bakal bawa kita kemana, kita cukup jalanin ini dan melihat gimana hasilnya nanti” dea hanya menganggukkan kepalanya. Dia sendiri sadar, sangat mudah untuk menyukai sosok mario yang menawan, dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti rasa suka itu berkembang menjadi rasa sayang dan cinta. Rio menarik tangan dea kembali menemui orang tua mereka.
“Jadi minggu depan kan ? kita udah putusin enggak mau acara gede-gedean, cukup keluarga sama temen deket aja” ujar rio santai, yang kembali disambut senyum sumringah dari orang tua mereka.
***
Tanpa bergerak sedikitpun, shilla tetap menunggu alvin yang masih ada dalam pengaruh obat bius pengurang rasa sakitnya. Shilla mengingat semuanya, hubungannya dengan alvin yang di awali dengan pertemanan yang indah, waktu-waktu bahagia yang telah ia lewati berdua bersama alvin, semua canda, tawa, sukacita yang mereka lalui bersama. Haruskah dibayar dengan akhir yang memilukan seperti ini ?
Dua tahun mereka bersama, selama itu juga, rasa sayang dan cinta itu terpupuk dan terus bertambah seiring waktu. Sama sekali bukan hal ini yang mereka bayangkan menanti di hadapan mereka seperti saat ini. Shilla mengelus-elus pipi alvin dengan ujung-ujung jempolnya, tanpa memperdulikan selang-selang yang menempel di tubuh alvin.
Meski tidak ingin, shilla tahu bahwa ia harus realistis. Ia telah di berikan berbagai kemungkinan tentang kondisi alvin yang bahkan dalam hitungan jam terus memburuk. Apakah kisah cinta ini harus berakhir layaknya romeo dan juliet yang menjemput keabadiaan di alam lain ? apakah shilla akan mampu bertahan bila alvin harus meninggalkannya ?
Dan saat ini, rasanya shilla tidak tahu mana yang lebih baik. Tidak pernah mengenal alvin sama sekali atau tidak pernah memulai kisah ini bersama alvin sejak awal.
“Argh..” rintih alvin pelan. Shilla langsung berdiri, ingin memencet bel dan membangunkan mamanya alvin yang terlelap di sofa.
“Shil..” tahan alvin.
“Apa ?” shilla menatap dua bola mata bening yang terlihat lemah sekarang.
“Maaf..” desah alvin, shilla meletakkan telunjuknya di bibir alvin.
“Enggak ada yang perlu di maafin” sahut shilla.
“Jangan pergi, temenin aku..” shilla tersenyum sambil membetulkan letak selimut alvin, kemudian ia kembali duduk.
“Udah tidur lagi, kamu perlu istirahat” bujuk shilla, alvin kembali memejamkan matanya. Dan saat itu, shilla menatap alvin nanar.
‘harusnya aku yang bilang jangan pergi’ batin shilla perih.
***
Setelah jalan-jalan berdua, hampir seharian. Cakka mengantarkan agni kembali ke rumahnya, selama di mobil tadi, agni berkali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya, membuat cakka sedikit bingung.
“Makasih ya kka buat hari ini, indah banget..” ulang agni lagi, membuat cakka terkekeh.
“Iya agni, harusnya gue yang bilang makasih”
“Tunggu bentar ya kka, ada yang mau gue kasih ke elo” cakka hanya mengangguk, agni masuk ke dalam rumahnya, dan tidak sampai beberapa menit kemudian, keluar lagi dengan membawa kardus berukuran sedang di tangannya.
“Ini apa ?” tanya cakka saat kardus itu di angsurkan ke arahnya oleh agni.
“Buka aja nanti di rumah, love you..” dengan gerakan super cepat, agni mengecup pipi cakka, dan kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Cakka hanya terdiam di tempatnya, kaget dengan apa yang agni lakukan dan masih bingung dengan kardus yang lumayan berat di tangannya, sambil senyum-senyum sendiri, cakka memasukkan kardus itu ke bagasi mobilnya, tidak sabar ingin membukanya di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar