Bibir pucat yang bergetar pelan itu mencoba menelan
suara-suara yang ingin keluar dari dalam tenggorokannya. Ia membenci itu. ia
membenci menangis dengan suara. Tangan kanannya memegang erat kaos ungu
bergambar the simpson yang telah ia
kenakan sejak tengah hari kemarin tepat di bagian dada. Sementara tangan
kirinya hanya terkulai lemah begitu saja, tanpa sekalipun berniat untuk
menghapus setiap butiran air mata yang jatuh dan terus jatuh, yang kini membuat
selimut merah jambunya mulai basah.
Dan sesak itu mulai membuatnya susah bernafas,
membuat pening di kepalanya dan suara-suara ditelinganya
berkejaran seperti dalam perlombaan marathon,
membuat matanya kembali melirik benda di ujung tempat
tidurnya yang berkilauan terkena cahaya lampu,
sebuah gunting berwarna biru.
Haruskah ?
Bolehkah ?
Ia punya banyak pertanyaan. Tapi ada satu kalimat beserta
tanda tanya yang tak pernah benar-benar ia suarakan. Yang terlalu takut untuk
ia utarakan.
Akankah, akankah ada yang merindukan hadirnya ?
*
“Kay!”
“Kay!”
“Buka pintunya Kay!!”
“Kaynaya!! Buka pintunya sekarang!!”
Gedoran di pintu kayu coklat muda itu tak berhenti, dan
laki-laki dengan rambut yang sedikit basah akibat baru saja menerobos gerimis
itu juga terus saja berteriak, mungkin sebentar lagi ia akan dilempar stick
golf oleh tetangga sebelah.
Tapi masa bodoh dengan semua itu. Ia harus segera masuk ke
dalam, bagaimanapun caranya. Jadi ketika lima menit berlalu dan hasilnya masih
sama saja, tanpa pikir panjang ia segera mendobrak pintu di hadapannya, satu
kali, dua kali, tiga kali, dan ia tahu besok pagi akan ada memar kebiruan di
lengan kanannya, tapi setidaknya saat ini ia sudah berada di dalam,
Di rumah Kay,
sahabatnya.
Teo berlari, membuat tempat hening itu penuh dengan derap
kakinya yang tak sabaran. Lantai dua, kamar tepat di ujung koridor, adalah
tujuannya. Dan beruntung kali ini, setidaknya Kay tidak mengunci kamarnya.
Dan tidak. Ia tidak sepenuhnya beruntung. Karena ada darah
yang menetes ke lantai. Karena ada gunting dalam genggaman tanan kanan Kay. Karena
mata Kay terpejam dengan jejak-jejak air mata yang masih basah.
“Kay..please..Kay..” Teo menepuk pipi Kay, memanggil
namanya, menggoyangkan tubuh ringkih itu, memanggil namanya lagi, dan semua
nihil.
Kay tidak menjawab. Kay tidak tersenyum. Kay tidak
menatapnya. Dan Kay sedang tidak bercanda.
*
“Kay anak baik.”
“Kay..dia, dia rajin
mencatat di kelas, dia anak yang pintar.”
“Dia selalu semangat
ketika grup musik idolanya mengadakan konser di pusat kota, ia selalu berusaha
untuk mendapat tiket dengan tempat duduk terbaik.”
“Aku tidak menyangka,
well...dia, Kay selalu terlihat bahagia..”
“Kay memang agak
pendiam, tapi ini...seharusnya dia tidak pergi dengan cara seperti ini.”
“Dia akan sangat
dirindukan, semua akan merindukannya.”
Teo tersenyum kecut mendengar setiap kalimat demi kalimat
yang mengalir mengikuti untaian duka cita yang terlantun. Semua itu benar, dan
ia sudah sering mengatakannya pada Kay langsung, seandainya saja...seandainya
Kay mau benar-benar percaya dengan apa yang di katakannya, bukan apa yang ia
dengar dalam kepalanya.
Seandainya, orang-orang itu mengatakan semuanya langsung
pada Kay, sehingga gadis itu mendengarnya sendiri dan belajar untuk percaya,
bahwa ia berharga, bahwa keberadaannya diakui, bahwa orang lain menyayanginya.
Dan seandainya Teo berusaha lebih keras untuk mengerti Kay.
Mengerti bahwa ketika Kay mengatakan semuanya baik-baik
saja, sama dengan insomnianya kambuh dan gadis itu baru dapat memejamkan
matanya pukul empat pagi.
Ketika Kay mengirimkan pesan padanya yang hanya bertuliskan “Teo”,
gadis itu sedang menginginkan hadirnya dan pelukannya.
Ketika Kay mendengarkan lagu yang sama berulang kali dan
menyalin liriknya di buku catatan sosiologinya, ia sedang mencoba menyampaikan
pada Teo bahwa lagu itu mengatakan semua yang tak mampu ia ucapkan.
Ketika Kay tertawa dan bahagia dan penuh dengan pelangi
serta matahari, ada suara-suara monster dalam kepalanya yang sedang coba ia
alihkan yang sedang tak ingin ia dengar meski begitu malam datang dan ia
sendiri, air matanya akan menjadi refleksi dari setiap suara tersebut.
Ketika Kay mengatakan ia takut ketinggian, artinya adalah ia
takut jatuh dan tidak ada yang menangkapnya.
Tapi setidaknya, Teo mengerti satu hal, ketika malam itu Kay
menelponnya, setelah berhari-hari hilang begitu saja, dan hanya mengatakan goodbye, yang membuatnya segera berlari
ditengah rinai-rinai hujan, Kay mengartikan yang sebenarnya, dan mungkin untuk
yang pertama sekaligus terakhir kalinya.
*
“Hey, Kay...ini sudah dua minggu berlalu, dan aku
merindukanmu, kau dengar itu kan ? Aku, keluargamu, semuanya, kami
merindukanmu. Keluargamu masih menyesal kenapa memenuhi keinginanmu untuk
meninggalkan kau di rumah sendiri saja malam itu, dan aku juga masih menyesal karena
tidak berlari lebih cepat, atau harusnya hari itu aku menghabiskan waktu saja
bersamamu, menempel padamu dan tidak melepaskanmu dari pandanganku. Tapi semua
sudah terjadi, dan..kau tidak lagi disini, yeah ?” Teo membiarkan jarinya
bergerak naik turun mengusap nisan kayu berukir nama yang telah ia kenal enam
tahun terakhir ini, “Aku akan mencoba kesini setiap hari, dan mengatakan bahwa
aku merindukanmu, bahwa kau begitu dirindukan, tapi sekalipun aku tidak bisa
kesini, aku tetap akan mengatakan bahwa aku merindukanmu, Kay..”
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar