Sabtu, 14 September 2013

Drabble : Give Up

Bibir pucat yang bergetar pelan itu mencoba menelan suara-suara yang ingin keluar dari dalam tenggorokannya. Ia membenci itu. ia membenci menangis dengan suara. Tangan kanannya memegang erat kaos ungu bergambar the simpson yang telah ia kenakan sejak tengah hari kemarin tepat di bagian dada. Sementara tangan kirinya hanya terkulai lemah begitu saja, tanpa sekalipun berniat untuk menghapus setiap butiran air mata yang jatuh dan terus jatuh, yang kini membuat selimut merah jambunya mulai basah.

Dan sesak itu mulai membuatnya susah bernafas,

membuat pening di kepalanya dan suara-suara ditelinganya berkejaran seperti dalam perlombaan marathon,

membuat matanya kembali melirik benda di ujung tempat tidurnya yang berkilauan terkena cahaya lampu,
sebuah gunting berwarna biru.

Haruskah ?

Bolehkah ?

Ia punya banyak pertanyaan. Tapi ada satu kalimat beserta tanda tanya yang tak pernah benar-benar ia suarakan. Yang terlalu takut untuk ia utarakan.

Akankah, akankah ada yang merindukan hadirnya ?


*

“Kay!”

“Kay!”

“Buka pintunya Kay!!”

“Kaynaya!! Buka pintunya sekarang!!”

Gedoran di pintu kayu coklat muda itu tak berhenti, dan laki-laki dengan rambut yang sedikit basah akibat baru saja menerobos gerimis itu juga terus saja berteriak, mungkin sebentar lagi ia akan dilempar stick golf oleh tetangga sebelah.

Tapi masa bodoh dengan semua itu. Ia harus segera masuk ke dalam, bagaimanapun caranya. Jadi ketika lima menit berlalu dan hasilnya masih sama saja, tanpa pikir panjang ia segera mendobrak pintu di hadapannya, satu kali, dua kali, tiga kali, dan ia tahu besok pagi akan ada memar kebiruan di lengan kanannya, tapi setidaknya saat ini ia sudah berada di dalam,

Di rumah Kay,

sahabatnya.

Teo berlari, membuat tempat hening itu penuh dengan derap kakinya yang tak sabaran. Lantai dua, kamar tepat di ujung koridor, adalah tujuannya. Dan beruntung kali ini, setidaknya Kay tidak mengunci kamarnya.

Dan tidak. Ia tidak sepenuhnya beruntung. Karena ada darah yang menetes ke lantai. Karena ada gunting dalam genggaman tanan kanan Kay. Karena mata Kay terpejam dengan jejak-jejak air mata yang masih basah.

“Kay..please..Kay..” Teo menepuk pipi Kay, memanggil namanya, menggoyangkan tubuh ringkih itu, memanggil namanya lagi, dan semua nihil.

Kay tidak menjawab. Kay tidak tersenyum. Kay tidak menatapnya. Dan Kay sedang tidak bercanda.

*

“Kay anak baik.”

“Kay..dia, dia rajin mencatat di kelas, dia anak yang pintar.”

“Dia selalu semangat ketika grup musik idolanya mengadakan konser di pusat kota, ia selalu berusaha untuk mendapat tiket dengan tempat duduk terbaik.”

“Aku tidak menyangka, well...dia, Kay selalu terlihat bahagia..”

“Kay memang agak pendiam, tapi ini...seharusnya dia tidak pergi dengan cara seperti ini.”

“Dia akan sangat dirindukan, semua akan merindukannya.”

Teo tersenyum kecut mendengar setiap kalimat demi kalimat yang mengalir mengikuti untaian duka cita yang terlantun. Semua itu benar, dan ia sudah sering mengatakannya pada Kay langsung, seandainya saja...seandainya Kay mau benar-benar percaya dengan apa yang di katakannya, bukan apa yang ia dengar dalam kepalanya.

Seandainya, orang-orang itu mengatakan semuanya langsung pada Kay, sehingga gadis itu mendengarnya sendiri dan belajar untuk percaya, bahwa ia berharga, bahwa keberadaannya diakui, bahwa orang lain menyayanginya.

Dan seandainya Teo berusaha lebih keras untuk mengerti Kay.

Mengerti bahwa ketika Kay mengatakan semuanya baik-baik saja, sama dengan insomnianya kambuh dan gadis itu baru dapat memejamkan matanya pukul empat pagi.

Ketika Kay mengirimkan pesan padanya yang hanya bertuliskan “Teo”, gadis itu sedang menginginkan hadirnya dan pelukannya.

Ketika Kay mendengarkan lagu yang sama berulang kali dan menyalin liriknya di buku catatan sosiologinya, ia sedang mencoba menyampaikan pada Teo bahwa lagu itu mengatakan semua yang tak mampu ia ucapkan.

Ketika Kay tertawa dan bahagia dan penuh dengan pelangi serta matahari, ada suara-suara monster dalam kepalanya yang sedang coba ia alihkan yang sedang tak ingin ia dengar meski begitu malam datang dan ia sendiri, air matanya akan menjadi refleksi dari setiap suara tersebut.

Ketika Kay mengatakan ia takut ketinggian, artinya adalah ia takut jatuh dan tidak ada yang menangkapnya.

Tapi setidaknya, Teo mengerti satu hal, ketika malam itu Kay menelponnya, setelah berhari-hari hilang begitu saja, dan hanya mengatakan goodbye, yang membuatnya segera berlari ditengah rinai-rinai hujan, Kay mengartikan yang sebenarnya, dan mungkin untuk yang pertama sekaligus terakhir kalinya.

*

“Hey, Kay...ini sudah dua minggu berlalu, dan aku merindukanmu, kau dengar itu kan ? Aku, keluargamu, semuanya, kami merindukanmu. Keluargamu masih menyesal kenapa memenuhi keinginanmu untuk meninggalkan kau di rumah sendiri saja malam itu, dan aku juga masih menyesal karena tidak berlari lebih cepat, atau harusnya hari itu aku menghabiskan waktu saja bersamamu, menempel padamu dan tidak melepaskanmu dari pandanganku. Tapi semua sudah terjadi, dan..kau tidak lagi disini, yeah ?” Teo membiarkan jarinya bergerak naik turun mengusap nisan kayu berukir nama yang telah ia kenal enam tahun terakhir ini, “Aku akan mencoba kesini setiap hari, dan mengatakan bahwa aku merindukanmu, bahwa kau begitu dirindukan, tapi sekalipun aku tidak bisa kesini, aku tetap akan mengatakan bahwa aku merindukanmu, Kay..”


FIN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar