Jumat, 28 Juni 2013

I Won't Give Up [Cerpen]

This story is dedicated for those who keeps asking me to torturing Alvin.
Thanks for having faith on me and always motivate me with all your kind of supports.

Enjoy.

*

I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.

[I Won’t Give Up – Jason Mraz]

*

Ia tidak tahu sudah berapa menit yang berlalu, ia hanya berlari dan terus berlari, memaksa kaki-kaki panjangnya bergerak secepat yang ia bisa, membuat hentakan yang keras antara converse merahnya dan lantai yang ia lalui. Ia tidak peduli pada apapun.

Ada yang harus ia temui dengan segera.

Ada yang –semoga saja, sedang menunggunya.


*

Kenapa ?

Satu kata di akhiri tanda tanya itu, serasa berputar di kepalanya sejak tadi, sejak semua mata yang menatapnya seolah menanyakan hal yang sama, sejak kata itu menelusup masuk dalam hatinya dan bergaung keras, berkali-kali.

Kenapa.

Kenapa ?

Kenapa ?!

KENAPA ?!

“Ke..kenapa Vin ?”

Dalam bisik samar suaranya sendiri, setelah entah berapa jam ia duduk di kursi tanpa lengan yang begitu kaku ini, Rio, membiarkan pertanyaan itu terlantun dari bibirnya, yang kemudian hanya disahuti dengan keheningan yang semakin berpendar sejak tadi.

Perlahan, betul-betul dengan perlahan, Rio menyibak selimut yang menutupi separuh tubuh Alvin, yang segera saja di sesalinya. Itu seperti bukan Alvin. Bukan sahabatnya.

Sahabatnya tidak sekurus ini. Baju rumah sakit itulah yang terlalu kebesaran untuknya. Bantahnya.

Sahabatnya tidak sepucat ini. Alvin memang berkulit putih sejak ia lahir. Pikirnya.

Sahabatnya tidak selemah ini. Ia hanya sedang ingin beristirahat. Elaknya.

Sahabatnya tidak memiliki banyak luka sayatan di sepanjang lengan tangannya. Sahabatnya itu 
hanya...hanya...dan tiba-tiba Rio merasa jijik. Tidak, bukan jijik pada Alvin dan luka-luka itu, tapi pada dirinya sendiri, pada dirinya yang gagal, yang membiarkan Alvin terjebak dalam pusaran depresi sendiri dan memilih melakukan hal gila seperti ini, pada waktu-waktunya yang ia habiskan untuk bermain basket, untuk berlatih gitar, untuk mengurus kegiatan club, apa saja, tapi tidak untuk membalas pesan Alvin, tidak untuk mengangkat telepon dari Alvin, tidak untuk mendengarkan keluh kesah Alvin, tidak.

“Vin..” Rio meraba guratan-guratan tak beraturan yang sebagian kering namun ada juga yang masih terlihat merah, menggigit bagian dalam bibirnya sendiri, membayangkan rasa sakitnya, “Vin...maafin gue Vin. Maafin gue..gue..gue minta maaf Vin.”

Lafalnya berkali-kali. Tersendat sendiri oleh parau suaranya. Ditemani oleh butiran-butiran kristal yang entah sejak kapan mengalir dari kedua bola matanya.

*

Ada hari dimana sebuah cerita dituliskan, sehingga tentu saja, ada hari dimana sebuah cerita diakhiri.

*

Tiga belas tahun lalu.

“Mau coklat ?”

Rio mengangkat kepala, melihat sebatang coklat yang di ulurkan tepat ke hadapan wajahnya, 

“Uhm...”

“Ah iya, aku Alvin, kamu siapa ?” anak laki-laki kecil yang berukuran persis dengannya ini memindahkan coklat yang tadi diulurkannya ke tangan kiri, dan segera menyodorkan tangan kanannya yang kosong.

“Mario, panggil aja Rio.” Sahutnya seraya membalas sodoran tangan tersebut.

“Ini, mau kan coklatnya, nih..mulai sekarang kita temenan ya Rio.”

Coklat itu di masukkan begitu saja ke kantung seragam yang Rio kenakan, dan Rio hanya bisa mengangguk sambil tersenyum, membalas senyum Alvin yang terlihat begitu tulus.

*

Sepuluh tahun lalu.

Umur mereka delapan tahun sekarang. Kelas dua sekolah dasar, dan masih tetap bersama, meski tak lagi satu kelas seperti tahun kemarin.

Karena Rio tetap akan menanti Alvin di depan rumah dengan sepeda merahnya setiap pagi sambil terus meneriakkan nama sahabatnya yang senang sekali kesiangan itu.

Karena Alvin hanya akan memberikan cengirannya yang khas sambil mengeluarkan sepeda birunya dari garasi dengan tergesa.

Karena keduanya akan saling berlomba mengayuh sepeda mereka untuk sampai ke sekolah.

Karena ketika jam istirahat keduanya  akan saling menunggu di depan kelas masing-masing dan berjalan ke kantin bersama.

Dan begitupun ketika jam pulang.

Dan ketika sore hari, adalah waktu favourite Rio dan juga Alvin. Karena mereka akan ke taman komplek. Alvin melatih permainan bolanya dan Rio melatih permainan gitarnya.

Berbeda tetapi serasi.

*

Lima tahun lalu.

SMP. Rio menikmatinya. Dan rasa-rasanya Alvin juga begitu, iyakan ?

Ayolah, mereka bintang sekolah. Duo yang tak terpisahkan. Rio si gitarist dan Alvin yang jago bola.
Meski perlahan ada saja yang berubah.

Seperti, tidak ada lagi jadwal menonton dvd di Jumat malam dan saling perang popcorn setelahnya, atau sleep-over di libur akhir pekan yang panjang sambil melihat bintang dari jendela kamar Alvin. Tidak lagi berlari-larian di bawah hujan lantas sama-sama terkena demam keesokan harinya, dan memanjat pohon mangga depan rumah Rio yang kini makin tinggi menjulang. Tidak juga sekedar pergi ke toko buku lalu membaca komik terbaru sampai habis tanpa membeli.

Kata teman-teman Rio di klub musik, itu kekanakkan. Dan Rio menyampaikannya ke Alvin.

Dan Alvin hanya mengangguk sambil tersenyum –senyum yang sama seperti hari pertama mereka bertemu, lalu mengatakan, “Oke.”    

*

Tiga tahun lalu.

“Kenapa enggak ikut klub bola ?”

“Gue bosen main bola.” Jawab Alvin tak acuh, membuat Rio membulatkan matanya tak percaya.

“Bohong.”

Alvin menghela nafasnya, mengambil beberapa buku dari dalam loker yang terbuka di hadapannya, lalu menutupnya, dan memandang Rio yang sedang bersender di loker miliknya sendiri, “Gue daftar teater, dan jadwalnya bentrok sama bola.”

“Dan lo milih teater ?! Lo gila ?!” Rio menjauhkan tubuhnya dari loker, dan menghadap Alvin dengan segera.

“Huh ?”

“Come on Vin! Yang ikut teater cuma anak-anak nerd!”

“Well, I’m nerd then.”

Rio memandang Alvin setengah frustasi, kenapa sih sahabatnya ini, “Lo yakin enggak mau mikirin dulu ? Masuk klub bola bisa bikin lo kaya SMP dulu Vin, populer!” ujarnya lagi, meyakinkan, mencengkram pundak kanan Alvin erat.

“Gue enggak pernah mau jadi populer, oke ?” Alvin tersenyum tipis, dan melepaskan tangan Rio dari bahunya, “Mau pulang bareng ?”

“Enggak bisa, gue mau latihan band.”

“Oke, duluan ya, take care.” Alvin menepuk punggung Rio beberapa kali, dan berjalan menjauh, Rio hanya berdecak kesal, tidak habis pikir dengan keputusan Alvin tersebut.

Dan belakangan, Rio baru tahu, bahwa Alvin cedera parah di pertandingan terakhir –yang tidak ditontonnya, dan disarankan untuk tidak pernah bermain bola lagi.

*

Satu tahun lalu.

“Yo!”

“Hmm.” Gumam Rio tak jelas, ia baru sampai rumah jam dua pagi tadi, setelah menghadiri pesta ulang tahun temannya, dan saat ini ia benar-benar mengantuk dan tidak ingin di ganggu. Gurunya sedang rapat, dan Rio benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Yo! Lo harus lihat ini! Alvin anak kelas sebelah itu temen lo kan ?!”

“Huh ?” mendengar nama Alvin disebut, Rio segera mengangkat kepalanya, “Kenapa sama Alvin ?”

“Nih..nih lo baca sendiri.” Teman sekelasnya itu tiba-tiba saja memberikan selembar koran padanya, yang diterima Rio dengan bingung, tapi kemudian kebingungan itu langsung berubah menjadi keterkejutan dengan gambar besar yang terpampang di halaman depan koran tersebut.

Ia mengenalnya jelas, pria di foto itu, yang sedang di kerumuni oleh wartawan di sekitarnya, adalah Ayah Alvin. Dan matanya kembali melebar ketika huruf-huruf besar berwarna hitam tepat di bawah foto itu dibacanya, “Pengusaha S di tangkap oleh KPK karena korupsi.”

Rio merasa ada kehampaan sesaat yang menguasainya, bagaimanapun Rio kenal baik dengan keluarga Alvin dan rasanya ini terlalu menyakitkan untuk sebuah kenyataan bahkan bagi Rio sendiri. 
Dan Alvin, ya..bagaimana keadaan sahabatnya itu sekarang ?

Buru-buru Rio mengeluarkan ponselnya, dan segera mendial nomor Alvin, yang kemudian hanya menyambungkannya ke kotak suara. Sekali lagi mencobanya, dan hasilnya tetap sama.

“Alvin ada di kelasnya enggak ?” tanya Rio akhirnya, kepada teman-temannya yang sedang berkumpul di sekitar mejanya.

“Enggaklah. Lagian lo kemana aja sih ? Berita ini kan ramainya udah dari semalem, kabarnya sih rapat guru pagi ini ngebahas masalah bokapnya Alvin ini.” Sahut salah satu temannya.

“Gue sih kalau jadi Alvin, mending ngundurin deh dari sekolah daripada di keluarin, iya enggak ?” 
Celetuk yang lain, yang entah kenapa di respon dengan ‘iya’ yang serempak dan anggukan kepala.

Rio meremas ponsel yang masih ada di genggaman tangannya dengan kuat, rasanya ia ingin melempar benda itu ke arah teman-temannya. Tapi entah kenapa disaat yang sama tangannya juga terasa kelu, ia ingin membela, ingin mewakili sahabatnya itu untuk berkata bahwa semua tidak benar, bahwa semua hanya kebohongan dan mungkin kesalahpahaman. Tapi tidak bisa. Kerongkongannya terasa terlalu kering sekarang.

“Lo masih mau temenan sama anak koruptor kaya gitu, Yo ?”

*

Enam bulan lalu.

Alvin tetap sekolah. Tidak mengundurkan diri ataupun pindah. Meski tidak ada lagi yang berbicara padanya.

Karena saat ini yang semua orang lakukan adalah berteriak. Meneriakinya sebagai anak seorang koruptor. Meneriakinya dimanapun Alvin berada. Kadang sambil menyiram dengan air jika sedang di kamar mandi. Kadang sambil menyiramnya dengan kuah soto atau jus jika terjadinya di kantin. 
Kadang Alvin harus menerima beberapa pukulan dan tendangan dan tamparan dan cacian.

Alvin hanya diam. Ia punya pekerjaan baru kali ini, membersihkan lokernya yang selalu dipenuhi dengan tulisan-tulisan kasar. Setidaknya minimal dua hari sekali.

Dan Rio selalu melihatnya. Hanya melihatnya dari kejauhan. Ia terkungkung dalam gelembung pertemanan yang menurutnya ia ciptakan dengan susah payah. Dan semua teman-temannya itu membenci Alvin.

Dan mereka bukan orang yang memberi Rio coklat ketika pertama kali bertemu dan tersenyum manis. Tapi mereka membuat Rio menjadi bagian yang di pandang dengan kagum oleh seluruh penjuru ketika mereka melewati koridor-koridor sekolah.

Setidaknya Rio hanya diam dan tidak ikut ambil bagian ketika yang lain menyiksa Alvin.

Itu cukup kan ?

*

Tiga bulan lalu.

Ayah Alvin tidak bersalah, sudah di bebaskan, dan seluruh negeri memaafkannya, sebagian meminta maaf malah.

Tapi anak laki-lakinya terlanjur menjadi sasaran bully nomor satu.

Dan Rio tetap mengamati dari tempatnya. Beberapa hari lalu Ibunya berhasil memaksa Rio untuk menemaninya mengunjungi keluarga Alvin. Rio sudah siap jika Alvin menatapnya dengan marah atau malah langsung mengusirnya. Tapi tidak. Alvin masih tersenyum padanya, dengan senyum yang sama. Masih mengobrol dengannya, santai dan ringan, seolah mereka melakukan itu setiap hari.

Hanya satu yang berubah, Alvin tidak lagi menariknya dengan semangat dan mengajak Rio memasuki kamarnya di lantai dua. Hanya itu.

*

Dua bulan lalu.

Ini musim panas, dan benar-benar sangat panas.

Tapi lagi-lagi Alvin memakai jaket hari ini. Dan kemarin Rio ingat betul bahwa Alvin memakai sweater, begitu juga dengan hari sebelumnya, serta minggu-minggu sebelumnya.

Mungkin, mungkin Alvin hanya sedang sakit saat ini.

Dan Rio mengatakan pada dirinya sendiri untuk menanyakan kejanggalan ini melalui chat nanti malam. Karena belum, keduanya tetap belum saling sapa di sekolah, hanya bertukar senyum, itupun ketika Rio sedang sendiri.

*

Satu bulan lalu.

Rio menatap layar ponselnya ragu, sebelum akhirnya ia menggeser layar itu dengan jempolnya, lantas mendekatkan benda berwarna hitam itu ke telinga kanannya, “Iya Vin, kenapa ?”

“Besok, kita bisa ketemu Yo ?”

Hanya perasaannya saja, atau suara Alvin terdengar begitu pelan dan...rapuh ?

“Besok ?”

“Iya, besok. Sebentar aja, bisa ?”

“Uhm,” Rio menatap kalender meja di hadapannya, “Maaf Vin, tapi besok gue ada latihan tambahan di klub.”

“Oh, ya udah, makasih ya Yo.”

Klik. Terputus.

*

Dua minggu lalu.

Rio tidak melihat Alvin di sekolah.

*

Satu minggu lalu.

Alvin sama sekali tidak sekolah,  dan tidak ada kabar menurut teman sekelasnya.

Alvin juga tidak membalas satupun chat darinya, dan mengangkat teleponnya.

Dan untuk pertama kalinya, Rio benar-benar merutuki kegiatannya yang padat dan setumpuk, sehingga selalu membuatnya pulang malam, dan tak pernah sempat mampir ke rumah Alvin.

*

Hari ini, sore ini.

Akhirnya, Rio bisa pulang cepat hari ini, dan ia hanya ingin ke rumahnya sebentar untuk mandi lalu bergegas ke rumah Alvin.

Rio memarkirkan mobilnya di garasi, menguncinya dan sambil berlari kecil masuk ke dalam rumahnya.

“Yo..”

Langkahnya terhenti, tepat sebelum ia menaiki tangga, dan bingung serta takut langsung merasukinya ketika Ibunya tiba-tiba saja menariknya dan memeluknya, lalu menangis.

“Ma..ke..kenapa ma ?”

“Alvin Yo, Alvin...”

*

Rio memandangi sudut-sudut ruang yang dulu terasa begitu di kenalnya. Ini seperti kamarnya sendiri, dulu. Sekarang, semuanya terasa asing. Dindingnya tetap berwarna coklat. Tempat tidur kayu itu juga masih sama. Lemari dengan tempelan sticker-sticker kartun masih berdiri di sisi kiri kamar. Meja yang selalu berantakan dengan lampu belajar berornamen spiderman –hadiah ulang tahun kesepuluh Alvin dari Rio, juga masih ada. Fotonya dan Alvin yang saling berangkulan saat mereka kelas satu SD juga masih tergantung di dekat jendela.

Tapi rasanya ini terlalu dingin, terlalu sepi, terlalu kosong. Tidak lagi dikenalinya, atau memang ia yang sudah kehilangan terlalu banyak ?

Atau,

Terlalu banyak kenangan yang terserak, hingga tak tahu mana yang harus di pungutnya terlebih dulu ?
Rio berjalan perlahan, lalu membuka pintu di hadapannya, kamar mandi, tempat dimana kemarin sore tubuh Alvin ditemukan oleh ibunya bersimbah darah di dalam bath tubnya yang penuh terisi air. Bau amis masih menyapa hidungnya, menyebabkan mual yang tiba-tiba bergejolak dalam perutnya, tapi Rio tetap berjalan masuk.

Disini lebih dingin, dan jauh lebih sepi. Lebih hening dan terasa begitu kosong.

Dan apa itu bagian dari rencana Alvin ? Pergi ketika keheningan menjadi satu-satunya yang tersisa, bahkan untuk dirinya sendiri.

*

“Alvin!”

Suaranya memenuhi ruangan gelap ini, nafasnya sedikit tersengal dan....tunggu, dimana ini ? Rio memperhatikan sekelilingnya yang gelap, rasanya tadi ia ada di kamar rawat Alvin, sahabatnya itu sadar dan mereka mengobrol meski obrolan itu terasa aneh dan menyesakkan.

Atau semua itu cuma mimpi ?

Karena kini Rio baru menyadari bahwa ia masih berada di kamar Alvin, di rumah Alvin. Dan bukannya rumah sakit.

*

Hujan bulan Juni.

Rio tahu itu judul puisi, terkenal, dan dulu guru Bahasa Indonesia di SMPnya sering sekali membacakan puisi itu. Tapi Rio tidak pernah benar-benar mengira bahwa ia akan merasakannya saat ini, bahwa benar-benar turun hujan di bulan ini, seperti hari ini, saat ini.

Rambutnya basah, bajunya basah, sepatunya basah, tanah yang di pijaknya basah, semuanya basah. Begitupun dengan nisan kelabu itu. Basah meski tetap tegak. Menantangnya seolah menatapnya.

Sekali lagi, Rio membaca apa yang tertera di atas nisan kelabu itu, meski diam-diam ia sudah hapal di luar kepala, dan ia mengusapnya begitu saja, ukiran-ukiran huruf yang dipahat disana, jemarinya kebas karena hujan membuat dingin, tapi hatinya merasa hangat.

Seperti ada yang memeluknya.

Dan ia menengadahkan wajahnya, membiarkan rasa asin yang tadi terkecap di lidahnya bercampur dengan air alam yang di jatuhkan dari langit siang ini.

Ia menepati janjinya, begitu juga Alvin.

I’m not going to last forever, I will dissapear and everyone will forget about me, but that’s okay, at least I never and won’t give up on us, on our friendship. – Alvin Jonathan
(1995-2013)
.

Epilog

Dengan nafas yang masih tidak teratur, Rio langsung menghambur masuk ke dalam ruangan di hadapannya, dan ia bisa merasa bagaimana senyum tercipta begitu saja di bibirnya, buru-buru Rio segera mendekat, lalu menarik kursi –kursi tanpa lengan yang kaku, dan segera duduk di sebelah ranjang tersebut.

“Vin, gue..”

“Gue minta maaf Yo.” Potong Alvin, begitu saja, membuat Rio memandangnya dengan tatapan tak mengerti.

“Vin, gue yang harusnya minta maaf, gue bukan sahabat yang baik selama ini, gue..”

Alvin menggeleng pelan, perlu benar-benar memperhatikannya untuk menyadari adanya pergerakan itu, “Gue juga bukan sahabat yang baik, gue merahasiakan banyak hal dari lo, sahabat harusnya saling percaya, apapun dan gimanapun keadaannya, iyakan ?”

Rio membisu, tidak tahu harus menyahuti Alvin dengan kalimat yang seperti apa.

“Awalnya rasanya sakit.”

Rio menoleh, kali ini benar-benar tidak mengerti apa yang Alvin bicarakan sampai matanya kembali melihat bekas-bekas luka di sepanjang lengan Alvin. Dan Rio memilih diam.

“Tapi kemudian, gue merasa rasa sakit itu mengalahkan rasa sakit yang ada dalam diri gue, mengalahkan suara-suara yang ada dalam kepala gue, mengalahkan semuanya. Rasa sakit itu bikin gue nyaman Yo.” 
Lanjut Alvin, matanya menatap langit-langit, bukan Rio, “sampai tiba-tiba, gue enggak bisa merasa apa-apa lagi, sebanyak apapun gue melukai diri gue sendiri, sebanyak apapun darah yang keluar dari luka-luka itu, enggak ada sedikitpun rasa sakit yang terasa, dan gue tahu...gue udah berubah jadi monster, gue...menghancurkan diri gue sendiri.”

“Vin..”

“Gue menyerah Yo, gue menyerah untuk semua yang pernah gue impikan, tapi ada satu, yang sekuat apapun gue berusaha dan mencoba, gue enggak bisa menyerah untuk yang ini, sehancur apapun gue dan hidup gue, hal ini adalah satu-satunya yang gue harap masih bisa terus utuh dan bertahan.”

“Apa ?”

Alvin memiringkan kepalanya, melirik Rio sekilas sebelum kembali menatap langit-langit yang entah apa menariknya, “Persahabatan kita.”

Rasanya seperti di tampar. Ada yang berdenyut perih dalam diri Rio mendengar penuturan Alvin yang singkat itu. “Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi Vin, lo masih sahabat gue, dan gue masih sahabat lo, iyakan ? Kita masih sahabat, kan ?”

Rio bisa melihat bagaimana Alvin tersenyum, begitu tipis, begitu sebentar, “Lo enggak bisa bersahabat sama orang yang bahkan udah enggak mengenal dirinya sendiri Yo, ini melelahkan buat gue..”

“Alvin!”

“Mau berjanji satu hal sama gue ?” Seolah tidak mendapat interupsi, Alvin terus saja berbicara semau hatinya.

Kali ini, satu kali ini saja, biarkan egois ini menguasainya, bukankah selama ini ia sudah terlalu sering mendengarkan ?

Tidak peduli meski tidak mendapat jawaban, Alvin kembali bersuara, “I’m not going to last forever, I will dissapear and everyone will forget about me, but that’s okay, at least I never and won’t give up on us, on our friendship. Ingat kalimat itu, dan tulis itu di nisan gue, yeah ?”

“Bodoh !” Rio berdiri, menatap Alvin galak kali ini, meski yang di tatap tak menunjukkan ekspresi apapun –mungkin benar-benar mati rasa. “Elo ! Berhenti ngomong gitu ! Lo harus kasih kesempatan buat gue untuk memperbaiki semuanya ! Lo...” dan kaki Rio terasa melemah seketika, membiarkan tubuhnya jatuh begitu saja berlutut di lantai yang dingin, “Waktu kita kecil, kalau gue nangis, lo selalu ada di samping gue, kalau...kalau lo pergi...siapa yang ada di samping gue saat gue nangis nanti, huh ?!”

“Kalau lo mau menepati janji yang tadi, gue janji...gue enggak akan biarin lo sendirian gue akan memohon pada Tuhan, supaya hujannya menemani air mata lo, gimana ?”

END.

Tinggalin komen atau kritik atau saran, oke ?

Thankyou.

5 komentar:

  1. nah lho, akhirnya update lagi :D yang unik dari cerita kakak ya, itu begitu, sedihnya tus nyeees banget. Nggak ada tawar-menawar yang baca udah disuruh menikmati alur 'hampa' dari ceritanya, update sering-sering kak!

    BalasHapus
  2. SEDIIIIIIIH :(
    Kakak ceritanya selalu bagus dan pake tokoh Alvin.
    aku suka bangeeeeet. sering-sering ya kak bikin cerota kayak gini :(

    BalasHapus
  3. kak nin, aku baru buka blog dan baru nemu ini. kak :( sedih kak :(

    BalasHapus
  4. Selamat datang kembali (?)
    Aku merindukanmu...

    BalasHapus
  5. Free Slots, Blackjack, Roulette - OK Casino Guru
    › free-slots-n-gab 승부사 온라인 환전 › free-slots-n-gab betmove No information 파워 볼 검증 사이트 is available for 온라인바카라 this page.Learn why 오늘 뭐 먹지 룰렛

    BalasHapus