This story is dedicated for those who keeps asking me to
torturing Alvin.
Thanks for having faith on me and always motivate me with
all your kind of supports.
Enjoy.
*
I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.
[I Won’t Give Up – Jason Mraz]
*
Ia tidak tahu sudah berapa menit yang berlalu, ia hanya
berlari dan terus berlari, memaksa kaki-kaki panjangnya bergerak secepat yang
ia bisa, membuat hentakan yang keras antara converse merahnya dan lantai yang
ia lalui. Ia tidak peduli pada apapun.
Ada yang harus ia temui dengan segera.
Ada yang –semoga saja, sedang menunggunya.
*
Kenapa ?
Satu kata di akhiri tanda tanya itu, serasa berputar di
kepalanya sejak tadi, sejak semua mata yang menatapnya seolah menanyakan hal
yang sama, sejak kata itu menelusup masuk dalam hatinya dan bergaung keras,
berkali-kali.
Kenapa.
Kenapa ?
Kenapa ?!
KENAPA ?!
“Ke..kenapa Vin ?”
Dalam bisik samar suaranya sendiri, setelah entah berapa jam
ia duduk di kursi tanpa lengan yang begitu kaku ini, Rio, membiarkan pertanyaan
itu terlantun dari bibirnya, yang kemudian hanya disahuti dengan keheningan
yang semakin berpendar sejak tadi.
Perlahan, betul-betul dengan perlahan, Rio menyibak selimut
yang menutupi separuh tubuh Alvin, yang segera saja di sesalinya. Itu seperti
bukan Alvin. Bukan sahabatnya.
Sahabatnya tidak sekurus ini. Baju rumah sakit itulah yang
terlalu kebesaran untuknya. Bantahnya.
Sahabatnya tidak sepucat ini. Alvin memang berkulit putih
sejak ia lahir. Pikirnya.
Sahabatnya tidak selemah ini. Ia hanya sedang ingin
beristirahat. Elaknya.
Sahabatnya tidak memiliki banyak luka sayatan di sepanjang
lengan tangannya. Sahabatnya itu
hanya...hanya...dan tiba-tiba Rio merasa
jijik. Tidak, bukan jijik pada Alvin dan luka-luka itu, tapi pada dirinya
sendiri, pada dirinya yang gagal, yang membiarkan Alvin terjebak dalam pusaran
depresi sendiri dan memilih melakukan hal gila seperti ini, pada waktu-waktunya
yang ia habiskan untuk bermain basket, untuk berlatih gitar, untuk mengurus
kegiatan club, apa saja, tapi tidak untuk membalas pesan Alvin, tidak untuk
mengangkat telepon dari Alvin, tidak untuk mendengarkan keluh kesah Alvin,
tidak.
“Vin..” Rio meraba guratan-guratan tak beraturan yang
sebagian kering namun ada juga yang masih terlihat merah, menggigit bagian
dalam bibirnya sendiri, membayangkan rasa sakitnya, “Vin...maafin gue Vin.
Maafin gue..gue..gue minta maaf Vin.”
Lafalnya berkali-kali. Tersendat sendiri oleh parau
suaranya. Ditemani oleh butiran-butiran kristal yang entah sejak kapan mengalir
dari kedua bola matanya.
*
Ada hari dimana sebuah cerita dituliskan, sehingga tentu
saja, ada hari dimana sebuah cerita diakhiri.
*
Tiga belas tahun lalu.
“Mau coklat ?”
Rio mengangkat kepala,
melihat sebatang coklat yang di ulurkan tepat ke hadapan wajahnya,
“Uhm...”
“Ah iya, aku Alvin,
kamu siapa ?” anak laki-laki kecil yang berukuran persis dengannya ini
memindahkan coklat yang tadi diulurkannya ke tangan kiri, dan segera
menyodorkan tangan kanannya yang kosong.
“Mario, panggil aja
Rio.” Sahutnya seraya membalas sodoran tangan tersebut.
“Ini, mau kan
coklatnya, nih..mulai sekarang kita temenan ya Rio.”
Coklat itu di masukkan
begitu saja ke kantung seragam yang Rio kenakan, dan Rio hanya bisa mengangguk
sambil tersenyum, membalas senyum Alvin yang terlihat begitu tulus.
*
Sepuluh tahun lalu.
Umur mereka delapan
tahun sekarang. Kelas dua sekolah dasar, dan masih tetap bersama, meski tak
lagi satu kelas seperti tahun kemarin.
Karena Rio tetap akan
menanti Alvin di depan rumah dengan sepeda merahnya setiap pagi sambil terus
meneriakkan nama sahabatnya yang senang sekali kesiangan itu.
Karena Alvin hanya
akan memberikan cengirannya yang khas sambil mengeluarkan sepeda birunya dari
garasi dengan tergesa.
Karena keduanya akan
saling berlomba mengayuh sepeda mereka untuk sampai ke sekolah.
Karena ketika jam
istirahat keduanya akan saling menunggu
di depan kelas masing-masing dan berjalan ke kantin bersama.
Dan begitupun ketika
jam pulang.
Dan ketika sore hari,
adalah waktu favourite Rio dan juga Alvin. Karena mereka akan ke taman komplek.
Alvin melatih permainan bolanya dan Rio melatih permainan gitarnya.
Berbeda tetapi serasi.
*
Lima tahun lalu.
SMP. Rio menikmatinya.
Dan rasa-rasanya Alvin juga begitu, iyakan ?
Ayolah, mereka bintang
sekolah. Duo yang tak terpisahkan. Rio si gitarist dan Alvin yang jago bola.
Meski perlahan ada
saja yang berubah.
Seperti, tidak ada
lagi jadwal menonton dvd di Jumat malam dan saling perang popcorn setelahnya,
atau sleep-over di libur akhir pekan yang panjang sambil melihat bintang dari
jendela kamar Alvin. Tidak lagi berlari-larian di bawah hujan lantas sama-sama
terkena demam keesokan harinya, dan memanjat pohon mangga depan rumah Rio yang
kini makin tinggi menjulang. Tidak juga sekedar pergi ke toko buku lalu membaca
komik terbaru sampai habis tanpa membeli.
Kata teman-teman Rio
di klub musik, itu kekanakkan. Dan Rio menyampaikannya ke Alvin.
Dan Alvin hanya
mengangguk sambil tersenyum –senyum yang sama seperti hari pertama mereka
bertemu, lalu mengatakan, “Oke.”
*
Tiga tahun lalu.
“Kenapa enggak ikut
klub bola ?”
“Gue bosen main bola.”
Jawab Alvin tak acuh, membuat Rio membulatkan matanya tak percaya.
“Bohong.”
Alvin menghela
nafasnya, mengambil beberapa buku dari dalam loker yang terbuka di hadapannya,
lalu menutupnya, dan memandang Rio yang sedang bersender di loker miliknya
sendiri, “Gue daftar teater, dan jadwalnya bentrok sama bola.”
“Dan lo milih teater
?! Lo gila ?!” Rio menjauhkan tubuhnya dari loker, dan menghadap Alvin dengan
segera.
“Huh ?”
“Come on Vin! Yang
ikut teater cuma anak-anak nerd!”
“Well, I’m nerd then.”
Rio memandang Alvin
setengah frustasi, kenapa sih sahabatnya ini, “Lo yakin enggak mau mikirin dulu
? Masuk klub bola bisa bikin lo kaya SMP dulu Vin, populer!” ujarnya lagi,
meyakinkan, mencengkram pundak kanan Alvin erat.
“Gue enggak pernah mau
jadi populer, oke ?” Alvin tersenyum tipis, dan melepaskan tangan Rio dari
bahunya, “Mau pulang bareng ?”
“Enggak bisa, gue mau
latihan band.”
“Oke, duluan ya, take
care.” Alvin menepuk punggung Rio beberapa kali, dan berjalan menjauh, Rio
hanya berdecak kesal, tidak habis pikir dengan keputusan Alvin tersebut.
Dan belakangan, Rio
baru tahu, bahwa Alvin cedera parah di pertandingan terakhir –yang tidak
ditontonnya, dan disarankan untuk tidak pernah bermain bola lagi.
*
Satu tahun lalu.
“Yo!”
“Hmm.” Gumam Rio tak
jelas, ia baru sampai rumah jam dua pagi tadi, setelah menghadiri pesta ulang
tahun temannya, dan saat ini ia benar-benar mengantuk dan tidak ingin di
ganggu. Gurunya sedang rapat, dan Rio benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan emas ini.
“Yo! Lo harus lihat
ini! Alvin anak kelas sebelah itu temen lo kan ?!”
“Huh ?” mendengar nama
Alvin disebut, Rio segera mengangkat kepalanya, “Kenapa sama Alvin ?”
“Nih..nih lo baca
sendiri.” Teman sekelasnya itu tiba-tiba saja memberikan selembar koran
padanya, yang diterima Rio dengan bingung, tapi kemudian kebingungan itu
langsung berubah menjadi keterkejutan dengan gambar besar yang terpampang di
halaman depan koran tersebut.
Ia mengenalnya jelas,
pria di foto itu, yang sedang di kerumuni oleh wartawan di sekitarnya, adalah Ayah
Alvin. Dan matanya kembali melebar ketika huruf-huruf besar berwarna hitam
tepat di bawah foto itu dibacanya, “Pengusaha S di tangkap oleh KPK karena korupsi.”
Rio merasa ada
kehampaan sesaat yang menguasainya, bagaimanapun Rio kenal baik dengan keluarga
Alvin dan rasanya ini terlalu menyakitkan untuk sebuah kenyataan bahkan bagi
Rio sendiri.
Dan Alvin, ya..bagaimana keadaan sahabatnya itu sekarang ?
Buru-buru Rio
mengeluarkan ponselnya, dan segera mendial nomor Alvin, yang kemudian hanya
menyambungkannya ke kotak suara. Sekali lagi mencobanya, dan hasilnya tetap
sama.
“Alvin ada di kelasnya
enggak ?” tanya Rio akhirnya, kepada teman-temannya yang sedang berkumpul di
sekitar mejanya.
“Enggaklah. Lagian lo
kemana aja sih ? Berita ini kan ramainya udah dari semalem, kabarnya sih rapat
guru pagi ini ngebahas masalah bokapnya Alvin ini.” Sahut salah satu temannya.
“Gue sih kalau jadi
Alvin, mending ngundurin deh dari sekolah daripada di keluarin, iya enggak ?”
Celetuk yang lain, yang entah kenapa di respon dengan ‘iya’ yang serempak dan
anggukan kepala.
Rio meremas ponsel
yang masih ada di genggaman tangannya dengan kuat, rasanya ia ingin melempar
benda itu ke arah teman-temannya. Tapi entah kenapa disaat yang sama tangannya
juga terasa kelu, ia ingin membela, ingin mewakili sahabatnya itu untuk berkata
bahwa semua tidak benar, bahwa semua hanya kebohongan dan mungkin
kesalahpahaman. Tapi tidak bisa. Kerongkongannya terasa terlalu kering
sekarang.
“Lo masih mau temenan
sama anak koruptor kaya gitu, Yo ?”
*
Enam bulan lalu.
Alvin tetap sekolah.
Tidak mengundurkan diri ataupun pindah. Meski tidak ada lagi yang berbicara
padanya.
Karena saat ini yang
semua orang lakukan adalah berteriak. Meneriakinya sebagai anak seorang
koruptor. Meneriakinya dimanapun Alvin berada. Kadang sambil menyiram dengan
air jika sedang di kamar mandi. Kadang sambil menyiramnya dengan kuah soto atau
jus jika terjadinya di kantin.
Kadang Alvin harus menerima beberapa pukulan dan
tendangan dan tamparan dan cacian.
Alvin hanya diam. Ia
punya pekerjaan baru kali ini, membersihkan lokernya yang selalu dipenuhi
dengan tulisan-tulisan kasar. Setidaknya minimal dua hari sekali.
Dan Rio selalu melihatnya.
Hanya melihatnya dari kejauhan. Ia terkungkung dalam gelembung pertemanan yang
menurutnya ia ciptakan dengan susah payah. Dan semua teman-temannya itu
membenci Alvin.
Dan mereka bukan orang
yang memberi Rio coklat ketika pertama kali bertemu dan tersenyum manis. Tapi
mereka membuat Rio menjadi bagian yang di pandang dengan kagum oleh seluruh
penjuru ketika mereka melewati koridor-koridor sekolah.
Setidaknya Rio hanya
diam dan tidak ikut ambil bagian ketika yang lain menyiksa Alvin.
Itu cukup kan ?
*
Tiga bulan lalu.
Ayah Alvin tidak
bersalah, sudah di bebaskan, dan seluruh negeri memaafkannya, sebagian meminta
maaf malah.
Tapi anak laki-lakinya
terlanjur menjadi sasaran bully nomor satu.
Dan Rio tetap
mengamati dari tempatnya. Beberapa hari lalu Ibunya berhasil memaksa Rio untuk
menemaninya mengunjungi keluarga Alvin. Rio sudah siap jika Alvin menatapnya
dengan marah atau malah langsung mengusirnya. Tapi tidak. Alvin masih tersenyum
padanya, dengan senyum yang sama. Masih mengobrol dengannya, santai dan ringan,
seolah mereka melakukan itu setiap hari.
Hanya satu yang
berubah, Alvin tidak lagi menariknya dengan semangat dan mengajak Rio memasuki
kamarnya di lantai dua. Hanya itu.
*
Dua bulan lalu.
Ini musim panas, dan
benar-benar sangat panas.
Tapi lagi-lagi Alvin
memakai jaket hari ini. Dan kemarin Rio ingat betul bahwa Alvin memakai
sweater, begitu juga dengan hari sebelumnya, serta minggu-minggu sebelumnya.
Mungkin, mungkin Alvin
hanya sedang sakit saat ini.
Dan Rio mengatakan
pada dirinya sendiri untuk menanyakan kejanggalan ini melalui chat nanti malam.
Karena belum, keduanya tetap belum saling sapa di sekolah, hanya bertukar
senyum, itupun ketika Rio sedang sendiri.
*
Satu bulan lalu.
Rio menatap layar
ponselnya ragu, sebelum akhirnya ia menggeser layar itu dengan jempolnya,
lantas mendekatkan benda berwarna hitam itu ke telinga kanannya, “Iya Vin,
kenapa ?”
“Besok, kita bisa
ketemu Yo ?”
Hanya perasaannya
saja, atau suara Alvin terdengar begitu pelan dan...rapuh ?
“Besok ?”
“Iya, besok. Sebentar
aja, bisa ?”
“Uhm,” Rio menatap
kalender meja di hadapannya, “Maaf Vin, tapi besok gue ada latihan tambahan di
klub.”
“Oh, ya udah, makasih
ya Yo.”
Klik. Terputus.
*
Dua minggu lalu.
Rio tidak melihat
Alvin di sekolah.
*
Satu minggu lalu.
Alvin sama sekali tidak
sekolah, dan tidak ada kabar menurut
teman sekelasnya.
Alvin juga tidak
membalas satupun chat darinya, dan mengangkat teleponnya.
Dan untuk pertama
kalinya, Rio benar-benar merutuki kegiatannya yang padat dan setumpuk, sehingga
selalu membuatnya pulang malam, dan tak pernah sempat mampir ke rumah Alvin.
*
Hari ini, sore ini.
Akhirnya, Rio bisa
pulang cepat hari ini, dan ia hanya ingin ke rumahnya sebentar untuk mandi lalu
bergegas ke rumah Alvin.
Rio memarkirkan
mobilnya di garasi, menguncinya dan sambil berlari kecil masuk ke dalam
rumahnya.
“Yo..”
Langkahnya terhenti,
tepat sebelum ia menaiki tangga, dan bingung serta takut langsung merasukinya
ketika Ibunya tiba-tiba saja menariknya dan memeluknya, lalu menangis.
“Ma..ke..kenapa ma ?”
“Alvin Yo, Alvin...”
*
Rio memandangi sudut-sudut ruang yang dulu terasa begitu di
kenalnya. Ini seperti kamarnya sendiri, dulu. Sekarang, semuanya terasa asing.
Dindingnya tetap berwarna coklat. Tempat tidur kayu itu juga masih sama. Lemari
dengan tempelan sticker-sticker kartun masih berdiri di sisi kiri kamar. Meja
yang selalu berantakan dengan lampu belajar berornamen spiderman –hadiah ulang
tahun kesepuluh Alvin dari Rio, juga masih ada. Fotonya dan Alvin yang saling
berangkulan saat mereka kelas satu SD juga masih tergantung di dekat jendela.
Tapi rasanya ini terlalu dingin, terlalu sepi, terlalu kosong.
Tidak lagi dikenalinya, atau memang ia yang sudah kehilangan terlalu banyak ?
Atau,
Terlalu banyak kenangan yang terserak, hingga tak tahu mana
yang harus di pungutnya terlebih dulu ?
Rio berjalan perlahan, lalu membuka pintu di hadapannya,
kamar mandi, tempat dimana kemarin sore tubuh Alvin ditemukan oleh ibunya
bersimbah darah di dalam bath tubnya yang penuh terisi air. Bau amis masih
menyapa hidungnya, menyebabkan mual yang tiba-tiba bergejolak dalam perutnya,
tapi Rio tetap berjalan masuk.
Disini lebih dingin, dan jauh lebih sepi. Lebih hening dan
terasa begitu kosong.
Dan apa itu bagian dari rencana Alvin ? Pergi ketika
keheningan menjadi satu-satunya yang tersisa, bahkan untuk dirinya sendiri.
*
“Alvin!”
Suaranya memenuhi ruangan gelap ini, nafasnya sedikit
tersengal dan....tunggu, dimana ini ? Rio memperhatikan sekelilingnya yang
gelap, rasanya tadi ia ada di kamar rawat Alvin, sahabatnya itu sadar dan
mereka mengobrol meski obrolan itu terasa aneh dan menyesakkan.
Atau semua itu cuma mimpi ?
Karena kini Rio baru menyadari bahwa ia masih berada di
kamar Alvin, di rumah Alvin. Dan bukannya rumah sakit.
*
Hujan bulan Juni.
Rio tahu itu judul puisi, terkenal, dan dulu guru Bahasa
Indonesia di SMPnya sering sekali membacakan puisi itu. Tapi Rio tidak pernah
benar-benar mengira bahwa ia akan merasakannya saat ini, bahwa benar-benar
turun hujan di bulan ini, seperti hari ini, saat ini.
Rambutnya basah, bajunya basah, sepatunya basah, tanah yang
di pijaknya basah, semuanya basah. Begitupun dengan nisan kelabu itu. Basah
meski tetap tegak. Menantangnya seolah menatapnya.
Sekali lagi, Rio membaca apa yang tertera di atas nisan
kelabu itu, meski diam-diam ia sudah hapal di luar kepala, dan ia mengusapnya
begitu saja, ukiran-ukiran huruf yang dipahat disana, jemarinya kebas karena
hujan membuat dingin, tapi hatinya merasa hangat.
Seperti ada yang memeluknya.
Dan ia menengadahkan wajahnya, membiarkan rasa asin yang
tadi terkecap di lidahnya bercampur dengan air alam yang di jatuhkan dari
langit siang ini.
Ia menepati janjinya, begitu juga Alvin.
I’m not going to last
forever, I will dissapear and everyone will forget about me, but that’s okay,
at least I never and won’t give up on us, on our friendship. – Alvin Jonathan
(1995-2013)
(1995-2013)
.
Epilog
Dengan nafas yang masih tidak teratur, Rio langsung
menghambur masuk ke dalam ruangan di hadapannya, dan ia bisa merasa bagaimana
senyum tercipta begitu saja di bibirnya, buru-buru Rio segera mendekat, lalu
menarik kursi –kursi tanpa lengan yang kaku, dan segera duduk di sebelah
ranjang tersebut.
“Vin, gue..”
“Gue minta maaf Yo.” Potong Alvin, begitu saja, membuat Rio
memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
“Vin, gue yang harusnya minta maaf, gue bukan sahabat yang
baik selama ini, gue..”
Alvin menggeleng pelan, perlu benar-benar memperhatikannya
untuk menyadari adanya pergerakan itu, “Gue juga bukan sahabat yang baik, gue
merahasiakan banyak hal dari lo, sahabat harusnya saling percaya, apapun dan
gimanapun keadaannya, iyakan ?”
Rio membisu, tidak tahu harus menyahuti Alvin dengan kalimat
yang seperti apa.
“Awalnya rasanya sakit.”
Rio menoleh, kali ini benar-benar tidak mengerti apa yang
Alvin bicarakan sampai matanya kembali melihat bekas-bekas luka di sepanjang
lengan Alvin. Dan Rio memilih diam.
“Tapi kemudian, gue merasa rasa sakit itu mengalahkan rasa
sakit yang ada dalam diri gue, mengalahkan suara-suara yang ada dalam kepala
gue, mengalahkan semuanya. Rasa sakit itu bikin gue nyaman Yo.”
Lanjut Alvin,
matanya menatap langit-langit, bukan Rio, “sampai tiba-tiba, gue enggak bisa
merasa apa-apa lagi, sebanyak apapun gue melukai diri gue sendiri, sebanyak
apapun darah yang keluar dari luka-luka itu, enggak ada sedikitpun rasa sakit yang
terasa, dan gue tahu...gue udah berubah jadi monster, gue...menghancurkan diri
gue sendiri.”
“Vin..”
“Gue menyerah Yo, gue menyerah untuk semua yang pernah gue
impikan, tapi ada satu, yang sekuat apapun gue berusaha dan mencoba, gue enggak
bisa menyerah untuk yang ini, sehancur apapun gue dan hidup gue, hal ini adalah
satu-satunya yang gue harap masih bisa terus utuh dan bertahan.”
“Apa ?”
Alvin memiringkan kepalanya, melirik Rio sekilas sebelum
kembali menatap langit-langit yang entah apa menariknya, “Persahabatan kita.”
Rasanya seperti di tampar. Ada yang berdenyut perih dalam
diri Rio mendengar penuturan Alvin yang singkat itu. “Kita bisa mulai semuanya
dari awal lagi Vin, lo masih sahabat gue, dan gue masih sahabat lo, iyakan ?
Kita masih sahabat, kan ?”
Rio bisa melihat bagaimana Alvin tersenyum, begitu tipis,
begitu sebentar, “Lo enggak bisa bersahabat sama orang yang bahkan udah enggak
mengenal dirinya sendiri Yo, ini melelahkan buat gue..”
“Alvin!”
“Mau berjanji satu hal sama gue ?” Seolah tidak mendapat
interupsi, Alvin terus saja berbicara semau hatinya.
Kali ini, satu kali ini saja, biarkan egois ini
menguasainya, bukankah selama ini ia sudah terlalu sering mendengarkan ?
Tidak peduli meski tidak mendapat jawaban, Alvin kembali
bersuara, “I’m not going to last forever, I will dissapear and everyone will
forget about me, but that’s okay, at least I never and won’t give up on us, on
our friendship. Ingat kalimat itu, dan tulis itu di nisan gue, yeah ?”
“Bodoh !” Rio berdiri, menatap Alvin galak kali ini, meski
yang di tatap tak menunjukkan ekspresi apapun –mungkin benar-benar mati rasa.
“Elo ! Berhenti ngomong gitu ! Lo harus kasih kesempatan buat gue untuk
memperbaiki semuanya ! Lo...” dan kaki Rio terasa melemah seketika, membiarkan
tubuhnya jatuh begitu saja berlutut di lantai yang dingin, “Waktu kita kecil,
kalau gue nangis, lo selalu ada di samping gue, kalau...kalau lo pergi...siapa
yang ada di samping gue saat gue nangis nanti, huh ?!”
“Kalau lo mau menepati janji yang tadi, gue janji...gue enggak
akan biarin lo sendirian gue akan memohon pada Tuhan, supaya hujannya menemani
air mata lo, gimana ?”
END.
Tinggalin komen atau kritik atau saran, oke ?
Thankyou.
nah lho, akhirnya update lagi :D yang unik dari cerita kakak ya, itu begitu, sedihnya tus nyeees banget. Nggak ada tawar-menawar yang baca udah disuruh menikmati alur 'hampa' dari ceritanya, update sering-sering kak!
BalasHapusSEDIIIIIIIH :(
BalasHapusKakak ceritanya selalu bagus dan pake tokoh Alvin.
aku suka bangeeeeet. sering-sering ya kak bikin cerota kayak gini :(
kak nin, aku baru buka blog dan baru nemu ini. kak :( sedih kak :(
BalasHapusSelamat datang kembali (?)
BalasHapusAku merindukanmu...
Free Slots, Blackjack, Roulette - OK Casino Guru
BalasHapus› free-slots-n-gab 승부사 온라인 환전 › free-slots-n-gab betmove No information 파워 볼 검증 사이트 is available for 온라인바카라 this page.Learn why 오늘 뭐 먹지 룰렛