Jumat, 21 Desember 2012

White Christmas [Cerpen]

Bruuk!

Perempuan berambut panjang itu bergumam kecil, ketika sikunya tak sengaja menyenggol sebuah kotak yang terletak di sudut meja hingga terjatuh dan isinya tersebar di lantai. Ia segera meletakkan tumpukkan buku yang dibawanya ke atas meja secara asal, dan segera berlutut untuk membereskan isi kotak tersebut.

Awalnya, ia tidak begitu menyadari, pikirannya sudah terlanjur penuh dengan kegiatan bersih-bersihnya di apartemen baru ini, tapi ketika lembaran-lembaran polaroid yang merupakan isi dari kotak tadi berpindah ke tangannya, menampakkan apa yang terbingkai disana, ukiran senyum manis sekaligus rindu, tak mampu untuk tak terlukis di bibirnya....

....dan mungkin juga, pedih.


Ada lebih dari dua puluh lembar foto, yang merekam kenangan, yang menyimpan memori, yang menjaga rasa, miliknya dan dia,

laki-laki itu.

sahabatnya,

musuh abadinya,

teman masa kecilnya,

pemilik bahu yang pernah menampung semua air matanya,

pemberi pelukan yang hangat dan juara,

belahan hatinya,

dan tentu saja,

cintanya.

*

“Shilla, enggak makan ?”

“Enggak. Aku kan puasa.”

“Oh..”

“Alvin kenapa enggak makan juga ?”

“Nemenin Shilla.”

Jawaban laki-laki kecil berpipi putih itu terdengar polos, membuat Shilla tersenyum senang mendengarnya, meski sejujurnya, dua anak berusia lima tahun itu yang saat ini sedang bersama-sama menikmati ayunan di halaman sekolah mereka tak benar-benar mengerti apa arti dari puasa sesungguhnya.

*

Salju.

Butiran-butiran dingin berwarna putih itu sedang berjatuhan perlahan, tidak terlalu deras, hanya meninggalkan sedikit jejak di beranda apartemennya, yang saat ini sedang ia pandangi dengan mata sabitnya sambil menikmati secangkir teh aroma vanili kesukaannya.

Entah kenapa, semakin diperhatikan, yang Shilla ingat malah es serut yang suka di belinya bersama Alvin di 
Jakarta.

Alvin.

Sudah pergi sejauh ini, kenapa nama itu tetap begitu susah untuk dilupakan ?

Atau, karena mungkin sederhana saja, mungkin hatinya tahu, begitu juga dengan pikirannya, dan seluruh 
bagian di tubuhnya, bahwa ia, Ashilla, tidak pernah memiliki niat untuk melupakan.

Ia hanya ingin lari. Pergi.

Meski ia mengerti, dan sangat memahami, sejauh apapun ia menjauh dan bersembunyi, kenyataan itu akan selalu berdiri tegak disana, melintang diantara dirinya dan Alvin, tak tergoyahkan, dan tak akan mampu untuk di hindari.

Tidak. Tidak akan pernah.

*

“Ya!” Shilla melemparkan tatapan sebal, tepat ketika ia membuka pintu rumahnya dan mendapati siapa yang sedang berdiri di depannya, “apa yang kamu lakuin disini ?! Setengah jam lagi misa natal di gereja kamu, mulai kan ?”

“Well..”

“Well ?”

“Uhm..”

“Uhm ?”

“Err..”

“Alvin! Kalau enggak ada hal yang penting untuk kamu omongin ke aku, mending sekarang kamu ke gereja aja deh, sana, hush!”

Cuuup~

Shilla mengerjap kaget, sementara Alvin hanya menampakkan cengiran tanpa dosanya, “aku...aku bakal jemput kamu pulang gereja nanti, mama sama papa ngundang kamu buat makan bareng keluargaku, dandan yang cantik, bye...”

Dan tanpa membiarkan Shilla untuk bereaksi, Alvin segera berlari kecil menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah, atau ia akan benar-benar terlambat untuk mengikuti misa natal.

*

Dengan dua kantong kertas belanjaan yang masing-masing berada di dekapan tangan kanan kirinya, Shilla sedikit kesulitan untuk mengambil kunci apartemennya yang berada di dalam tasnya.

“Huft..”

“Butuh bantuan ?”

Tubuh Shilla menegang sempurna, suara ini, ia mengenalnya betul, terlalu fasih malah.

“Masih enggak akan pernah bilang tolong ke aku, ya ?” tanya suara itu, yang dalam detik ini masih tidak di acuhkan oleh Shilla, “sini..” dan salah satu kantong belanjaan yang ada di dekapannya, terangkat darinya.

Menampilkan dia. Dia dengan mata almond tipisnya. Dia dengan bibir merahnya. Dia dengan rambut hitamnya yang tebal. Dia yang sedang mengenakan kemeja biru yang di lapisi dengan sweater merah bergaris putih.

Yang Shilla ingat, pakaian terakhir yang ia pilihkan, ketika mereka pergi bersama beberapa bulan lalu.

“Earth to Shilla.”

Laki-laki itu melambaikan sebelah tangannya, meski diam-diam yang paling ia inginkan adalah segera memeluk gadis di depannya ini, sosok yang menjadi alasan berjuta kata kangen yang memenuhi benaknya.

“Al..vin ?”

“Hmmh. Kenapa ? Kaget ya ? Pasti kamu kangen aku kan ? Pasti sih. Bohong banget kamu enggak kangen sama aku yang ganteng ini, hahaha..”

“Vin...”

“Hahaha. Udah deh, mending kamu sekarang buka pintu apartemen kamu, dan biarin aku masuk, ini super dingin dan aku udah capek nungguin kamu dari satu jam yang lalu, go!”

Alvin mendorong tubuh Shilla pelan, menimbulkan getaran yang sama di hati keduanya, getaran yang sejak dulu begitu Shilla takutkan dan Alvin coba ingkari, getaran yang rasanya begitu manis dan juga pahit di saat bersamaan.

Bittersweet.

*

“Aku cuma bakal disini sampai hari natal.” Serak bisik suara Alvin, membiarkan hening yang ada menguap bersama dingin yang tiba-tiba terasa memeluk hingga ke tulang.

“Besok ?”    

Menganggukkan kepalanya kecil, Alvin mencoba memberi senyum, yang rasanya aneh, yang kemudian segera ia tutupi dengan meminum kopi yang Shilla buatkan untuknya. “hmm, nikmat..”

“Tiga sendok teh kopi hitam, satu sendok teh creamer, dan satu sendok teh gula.” Ujar Shilla pelan. Seolah sedang tak berbicara pada Alvin. Seolah hanya ingin memberi tahu dirinya sendiri bahwa ia masih ingat. 
Selalu.

“Aku tahu, kamu bakal selalu ingat itu, tapi sebenernya yang lebih bikin aku kaget, kenyataan bahwa kamu punya kopi dan creamer di dapur kamu, come on...Ashilla benci kopi, atau diam-diam kamu berharap aku bakal datang kesini, ya ?”

“Shut up Vin! Kamu dateng jauh-jauh dari Jakarta ke Seoul cuma buat godain aku kaya gini ? Kenapa ? 
Enggak bisa nemuin orang lain buat di ajak adu mulut, ya ?”

Kadang, Shilla merasa tidak yakin, apakah ini Alvin yang sama yang di kenalnya delapan belas tahun lalu, ketika umur mereka masih lima, ketika pertengkaran yang mereka lakukan hanyalah tentang siapa yang harus duduk dan siapa yang harus mendorong ayunan.  

Alvin terkekeh kecil, ia selalu suka, suka ketika ada raut kesal di wajah cantik itu, rasanya indah, nikmat yang hanya menjadi milknya. “Well, itu salah satunya, tapi..aku mau mastiin aja sih, kamu baik-baik aja atau enggak.”

Sial! Shilla benar-benar ingin mengutuk manusia di depannya ini, karena sekarang ia yakin, seratus persen, bahwa wajahnya sudah memerah, mungkin sudah semerah hatinya, hati yang menyimpan semua, semua yang tak pernah menjadi rahasia, semua yang ada namun tak pernah nyata.

Dan diam datang lagi. Menyeruak seenaknya, seperti beberapa menit lalu. Mereka ini sahabat bukan sih ?

Shilla bahkan bisa mengobrol panjang lebar dengan tetangganya yang baru ia kenal dua hari lalu.

“Kamu inget enggak ?”

“Huh ? Apa ?” sahut Shilla, bersyukur Alvin kembali memulai untuk bicara.

“Harapan yang aku tulis di kartu natal waktu kita kelas satu sd.”

Kemana saja, asal bukan mata Alvin, ujar Shilla dalam hati mengingatkan arah pandangannya sendiri. 
“Enggak. Itu nyaris enam belas tahun lalu, menurut kamu aku bakal ingat ?! Huh ?!”

“Bohong.” Alvin tersenyum, tipis saja, dan tetap tampan.

“Enggak.”

“Kanan atau kiri ?”

“Apa ?”

“Lighter.”

“Kanan.”

Senyum yang menyeringai, ada kemenangan, yang tidak pernah Shilla sukai. Alvin merogoh saku kanan celananya, mengeluarkan lighter yang ia maksudkan.

“Aku cuma nebak.” Ujar Shilla, membela diri.

“Satu, kamu enggak nebak Shil, kamu tahu pasti dimana aku naruh barang-barangku. Dua, seorang Ashilla selalu ingat apapun tentang Alvin.”

Shilla memilih untuk hening, dan membencinya. Membenci tentang waktu yang tak pernah mau berbaik hati padanya, yang selalu saja memberi bagian dari setiap detak detik yang ada untuk sebuah ruang dengan dia dan Alvin sebagai isinya, inti cerita.

“Besok flightku jam sepuluh pagi Shil. Waktu kita terbatas. Aku mohon..” tangan yang terasa begitu hangat itu menarik pergelangan tangan Shilla, membuatnya tak lagi bisa memandang ke segala arah, membuatnya mau tak mau harus memandang Alvin, “...kali ini, satu kali ini aja, untuk yang terakhir.”

Lelah. Shilla tahu, berpura-pura hanya akan membuatnya semakin lelah, “kalau Alvin udah besar nanti, Alvin mau ngabisin white christmass berdua sama Ashilla...”

Mata Alvin tersenyum, pancaran bangga itu jelas ada, Shilla merasakannya, “terimakasih Shil, terimakasih.” Bisiknya, sebelum bibir merah itu mendarat di kening Shilla dengan lembut.

*

Jika ada yang bertanya, kenapa Shilla dan Alvin bisa bersahabat selama ini, maka keduanya tak pernah benar-benar bisa memberi jawaban. Alvin bisa saja menjawab, mungkin karena Shilla selalu mengingat segala hal untuknya, karena kopi buatan Shilla lebih nikmat dari buatan kafe manapun, karena Shilla tidak pernah bisa melewatkan satu haripun tanpa teh aroma vanilinya, karena Shilla tidak bisa memasak dan jangan pernah membiarkannya memasak, karena Shilla akan membuat bahu Alvin basah setiap ia menangis ketika menonton drama Korea. Dan Shilla juga bisa saja menjawab, karena Alvin sangat payah dalam mengingat, karena Alvin membuatnya selalu membeli kopi dan creamer ketika ia belanja meski Shilla tidak suka minuman itu, karena Alvin tahu jika Shilla tidak membalas pesannya berarti ia sedang menikmati secangkir teh aroma vanilinya, karena telur mata sapi yang Alvin buat bentuknya sama persis seperti yang ada di bungkus mie goreng dan rasanya enak, karena drama Korea selalu membuat Shilla cengeng tapi Alvin tidak pernah absen untuk menemaninya.

Dan alasan itu masih akan terus tertulis dan bertambah.

Sementara ketika cinta yang menjadi pertanyaan, Alvin hanya akan menjawab, “karena dia Shilla” sesederhana jawaban Shilla, “karena dia Alvin.”

*

Rasanya nyaman. Lebih nyaman daripada secangkir coklat panas yang mereka nikmati beberapa waktu lalu. Dalam genggaman tangan Alvin yang berbalut sarung tangan berwarna merah, tangan Shilla menjadi bagian tubuhnya yang paling merasakan kenikmatan itu. Mereka hanya berjalan dalam kehangatan yang dingin, ini malam natal, lampu warna-warni tergantung ceria di setiap toko yang mereka lewati, lagu-lagu mengalun dalam dentingan nada syahdu, Santa Clause jadi-jadian masih sibuk dengan tawanya yang khas sambil menyerukan selamat natal berulang-ulang pada setiap pejalan kaki yang melewatinya.

Termasuk kepada mereka. Yang meski sama-sama mengerti dan menyetujui bahwa ini untuk yang terakhir, tapi diam-diam, keduanya sama-sama berdoa, seandainya...dunia itu satu, benar-benar satu.

“Disana ada gereja, kamu mau mampir ?”

“Kamu ngelewatin Isya kamu tadi.”

“Halangan.”

“Oh.

“Jadi ?”

“Apa ?

“Gereja ?”

“Nanti aja. Nanti...” bisik Alvin pelan, “Uhm, disini..err..makanan halal..”

“Banyak kok. Daerah apartemenku tadi, Itaewon, itu daerah yang banyak muslimnya.”

“Oh. Kamu..bahagia ?”

“Iyalah. Kenapa enggak ?”

“Aku enggak bahagia.”

Tiga kata yang terucap dari bibir merah Alvin yang mulai memutih akibat cuaca yang semakin dingin itu, mau tak mau membuat Shilla berhenti, singkat tapi kenapa begitu sakit. Namun seolah tak peduli, Alvin terus berjalan, dan terus menarik Shilla.

“Jangan berhenti. Aku butuh kamu di samping aku. Bukan di belakang atau di depanku.” Ujar Alvin lagi. 
Meski sorot matanya tak sekalipun menoleh.

“Kenapa ?”

“Apanya ?”

“Enggak bahagia.”

“Karena enggak ada kamu.”

“Vin..”

“Kenapa pergi ?”

“Hah..a..aku, sekolah, nge...”

“Bukan. Kenapa pergi dari cerita kita ? Kenapa ?”

Lagi-lagi Shilla menghentikan langkahnya. “Kamu tahu Vin. Kamu yang paling tahu alasannya, sama besarnya dengan apa yang aku tahu.”

Kali ini, Alvin ikut berhenti, “Rasanya sakit Shil.”

“Aku tahu. Rasanya menyiksa. Rasanya aku mau egois Vin. Rasanya aku mau milikin kamu. Kamu.”

“Jangan nangis.”

“Enggak.”

“Suara kamu bergetar, bodoh.” Ujar Alvin, bersamaan dengan tangannya yang menarik tubuh Shilla ke arahnya, bersamaan dengan dekapan dan tetes air mata yang jatuh begitu saja.

Cinta ini tersentuh namun tak dapat tinggal.

Terbalas namun tak bisa untuk saling memiliki.

Dibawah salju yang terus turun, Shilla menangis untuk semua akhir cerita yang mereka ketahui meski cerita 
itu sendiri tak pernah di mulai.

“Jangan begini Shil. Kamu bahkan enggak nangis saat pergi ke Seoul dan ninggalin aku di bandara waktu itu.”

“Bo..doh.” cela Shilla di antara isakannya.

“Huh ?”

Shilla mencoba untuk mengangkat kepalanya, mencoba untuk menatap wajah itu yang lekuknya begitu ia hapal, “menurut kamu untuk apa aku nyiapin kopi di apartemenku ?!”

Alvin tersenyum lagi, entah untuk keberapa kalinya malam ini, yang membuat Shilla ingin menampar wajah itu karena ia bisa merasakannya, merasakan pedih di balik senyum itu.

“Jadi, kamu juga nyiapin air mata ini, karena kamu tahu aku pasti datang, hah ?”

Bukannya menjawab, Shilla memilih untuk mengeratkan pelukannya. Ini salah. Ia tahu itu. Alvin mengambil ciuman pertamanya, cinta pertamanya, dan patah hati pertamanya.

“Kita...kita milih Tuhan. Jadi kita akan baik-baik aja Shil. Aku janji.”

Alvin memberikan ciuman pertamanya untuk Shilla, membiarkan hatinya jatuh untuk pertama kalinya pada Shilla, dan saat ini, sesuatu yang harusnya di selesaikan sejak bulan-bulan lalu, akhirnya terucapkan, menimbulkan kerusakan parah pada hatinya, juga untuk yang pertama kali.

Sayup-sayup, dari kejauhan, lonceng gereja mulai menggema dalam kerlipnya lampu kota di malam natal ini.

“Merry Christmass Vin, white Christmass. ”

Shilla dapat merasa, ketika puncak kepalanya di kecup dengan manis oleh Alvin, ketika ada basah yang mengalir di helai rambutnya, air mata Alvin.

 “I Love you too Shill.”

Dan menit menjadi berulang dalam angka-angka yang tak terhitung, saat keduanya tanpa perlu lagi saling bicara mulai melepaskan diri, saling menatap dan menyatukan bayang mata masing-masing yang terhiasi bening-bening kristal manusiawi itu.

“Selamat tinggal. Sampai ketemu lagi.”

Bisik keduanya parau bersamaan, namun saling mengerti, seperti biasa. Shilla berbalik, dan mulai berjalan, meninggalkan Alvin yang menikmati punggungnya, yang masih bergetar karena air mata yang kembali mengalir.

Tamat.

Merry Christmass to all who celebrate it ^^
Some comments for new year’s gift ? Thankyou!^^~

3 komentar:

  1. Kak Aniiiin, kok aku nggak dapet feelnya ya pas baca ini(?) terus menurut aku Alvin di sini nggak kayak Alvin yg di cerita kakak yg lain. Ya tapi emang ga selalu harus sama sih ehehe, itu cuma pendapat aku aja :D

    BalasHapus
  2. Dear Anind..

    Huwaa..kamu tau gak betapa kangennya aku sama tulisan kamu. Gak tau kenapa, beberapa tulisan kamu yang bergenre korea, aku ga ngerasa feel nya seperti tulisan kamu tentang icil. Yaa mungkin juga karena aku ga begitu ngerti korea kali yaa...

    Tapi cerita ini menurut aku khas Anind banget, g ngerti deh gimana ngejelasinnya..hehehe

    Makasih sudah ngobatin rindu aku sama tulisan kamu..

    Alwyas Keep Writing,

    Nurruu

    Note :

    My Favorite Part ===> semuaaaanyaaa..

    My Favorite Quote :
    "Cinta ini tersentuh namun tak dapat tinggal, Terbalas namun tak bisa untuk saling memiliki"


    BalasHapus
  3. Aniiinn... Ahahahaha..
    Okay, overall, tetap gaya tulisankamu. Tenang, kalem... But somehow, aku ngerasa pilihan kata-katanya lebih dewasa. But still, you have that magic thing in your writing :)

    BalasHapus