Rabu, 15 Agustus 2012

Late [Cerpen]


Bola mata hitam pekatnya tetap memandang lurus pada deretan kalimat di buku sejarah yang sedang di bacanya, sama sekali tidak melirik meski hanya sedikit pada uluran tangan dengan kuku-kuku cantik berwarna merah muda yang sejak beberapa menit lalu terarah kepadanya.

“Uhm,” gumam ragu itu mengiringi perkenalan yang terasa aneh ini, “oke..” tangan itu ditarik kembali oleh pemiliknya, dan meski tak melihat –dan juga tetap fokus membaca, melalui ujung mata sipitnya, ia bisa melihat bagaimana penghuni baru kursi kosong di sebelahnya itu menggigit bibirnya dan menatapnya penuh tanya.

“Err..kaya yang tadi di depan kelas aku bilang, namaku Ashilla, dan..uhm semoga kita bisa temenan, ya ?”


Tanpa mau bersusah untuk sekedar mengangguk, ia tetap saja menikmati buku di atas mejanya itu, ulasan mengenai perang dunia tersebut lebih menarik minatnya.

“Hei,” dapat ia rasakan bagaimana jari telunjuk –yang menurutnya tak sopan, gadis itu menusuki lengan tangan kanannnya, “hei, kamu ngomong dong..” bisiknya, karena guru mereka mulai menerangkan mata pelajarannya.

Jengah karena terus-menerus di tusuki tanpa henti, ia menolehkan kepalanya, memberikan tatapan tajamnya yang biasa, “Apa ?!”

Dan gadis itu. Ashilla. Hanya memandanginya sambil tersenyum, senyum yang manis, seolah tidak terpengaruh dengan mata tajamnya yang mencoba mengintimidasi.

***

“Alvin, kalau di Korea sekarang mulai musim gugur lho..”

Seperti biasa, gadis itu, teman sebangkunya sejak tiga bulan lalu, yang sejak hari itu juga entah kenapa terus menempel padanya, berbicara dengan nada riang yang sama, seakan ia tak pernah lelah untuk terlihat selalu gembira. Unik dalam gayanya.

“Terus ?” tanggapnya tak acuh. Ia tahu, gadis di depannya yang sedang merajut –entah apapun itu, menghabiskan nyaris separuh usianya di negara ginseng tersebut, sebelum akhirnya kembali kemari –Jakarta, dan mengikutinya terus seperti sekarang.

“Aku merindukan suasana romantisnya, aku merindukan Seoul.”

“Kembalilah kesana kalau begitu.” Ujar Alvin datar, tak menunjukkan tanda simpati sama sekali.

Sudah biasa, Shilla hanya terkekeh kecil, “nanti kau merindukanku jika aku kembali ke Seoul.”

“Huh ? Tidak akan.”

“Hahaha..” lagi-lagi Shilla terkekeh, “jangan bicara begitu, Tuhan tidak pernah tidur, kau tahu kan ?”

Untuk beberapa detik, Alvin memandangi lengkungan bibir cherry yang mengukir senyum itu, sebelum ia menyadarkan dirinya sendiri dan kembali sibuk pada buku di pangkuannya.

***

Bulan ke enam sejak pertemuan mereka di kelas kamis pagi itu. Bulan terakhir di tahun ini, bulan penuh hujan yang bercampur dengan lonceng gereja dan akan segera bertemu dengan terompet tahun baru,

Desember.

Dan meski terasa janggal, Alvin tidak bisa menghentikan senyumnya yang terjadi secara reflek ketika ia membuka pintu apartemennya sore itu dan menemukan sebuah tas coklat besar dengan kartu bermotif hati yang manis.

Semalam hujan deras dan pagi ini sangat dingin,
aku membuatkan sup ayam ini untukmu,
happy holiday ~^^
                                                -Ashilla

Alvin tidak pernah mengerti, kenapa Ashilla bisa masuk dalam hidupnya seperti ini meski ia sendiri merasa tak pernah menerimanya dengan tangan terbuka, kenapa Ashilla betah-betah saja duduk di sebelahnya satu semester ini meski ia tak pernah menggubris setiap pembicaraan gadis itu, kenapa Ashilla selalu mengikutinya duduk di bawah pohon di halaman sekolah mereka setelah jam pelajaran berakhir dan bertahan hingga sore hari meski ia memilih untuk membaca buku daripada mengobrol dengannya.

Ia tidak mengerti, dan sejujurnya tak pernah mencoba untuk mengerti. Yang ia tahu hanya malam ini, ia akan memastikan sup ayam yang baru diterimanya akan ia habiskan. Pasti.

***

“Kau sedang membuat apa ?”

Dengan gerakan super cepat dan bersemangat, Ashilla menolehkan kepalanya kepada laki-laki yang sudah selama delapan bulan ini ia selalu diikutinya kemanapun, yang biasanya hanya sibuk dengan buku dan dunianya sendiri, yang mungkin tak pernah Alvin sadari tapi inilah pertama kalinya ia berbicara duluan dan peduli terhadap dirinya.

“Nanti kau juga akan tahu sendiri kalau rajutanku ini sudah jadi.”

“Oh, baiklah.” Dan Alvin kembali meninggalkan pembicaraan ini dengan cara yang sama setiap waktunya, menyelingkuhi obrolan singkat itu dengan buku di tangannya, membuat Shilla terkadang cemburu.

Cemburu ? Gadis itu hanya tersenyum tipis, dan menghela nafas pelan. Ketika semua di sekitar mereka kembali menjadi diam, maka ia pun kembali larut bersama benang-benang wol yang selalu di bawanya kemanapun.

Dua jiwa tak akan satu jika tak ada yang mengikatnya, dan benang itu, mengikat kan ?

***

“Berpakaianlah yang rapi dan pantas, buat kesan yang baik pada calon istri dan juga calon mertuamu.”

Tidak ada bedanya dengan dua kakak laki-lakinya atau sepupu-sepupunya yang lain, Alvin tahu waktunya juga akan segera tiba, perjodohan bukanlah hal baru dalam keluarga besarnya, bahkan orang tuanya juga melangkah dalam ikatan pernikahan melalui cara seperti ini.

Alih-alih menolak atau memberontak yang ia tahu hanya akan sia-sia saja, lebih mudah baginya untuk belajar tak menaruh hati pada siapapun. Karena pada akhirnya ia tahu, ada seorang perempuan entah siapapun itu di luar sana yang sudah di pilih untuknya.

Ia hanya menganggukkan kepalanya singkat ke arah pelayan yang membukakan pintu di hadapannya. Ia sudah mempersiapkan hari ini sejak lama, ia tahu hari ini akan datang, ia mengerti bahwa  pertemuan semacam ini pasti telah di persiapkan untuknya. Hanya saja, nama itu, wajah itu, dan senyum itu.

Semua milik gadis itu, semua milik Ashilla, termasuk bibir cherrynya yang lembut dan memberinya kecupan di pipi beberapa minggu lalu di prom night SMA mereka, yang entah sejak kapan terekam dalam benaknya yang jauh, berputar seperti film klasik hitam-putih dalam irama yang rapi, tiba-tiba membuat langkah kakinya menjadi sedikit berat. Rasanya aneh.

“Nah Alvin, akhirnya kamu datang juga..”

Mendengar sapaan suara berat ayahnya yang khas, Alvin mengangkat wajahnya yang sejak tadi menelusuri bayang lantai yang terlihat dingin dan dengan absurdnya menampilkan Ashilla dan senyumnya.
Dan ia menatap satu-persatu rupa dalam ruangan berornament beludru merah itu, ayahnya, ibunya, kakak laki-lakinya dan istri mereka, seorang laki-laki paruh baya seusia ayahnya dan wanita lain seperawakan ibunya, serta..

“Ashilla ?”

***

Untuk sebuah rasa lelah yang ia ciptakan sendiri, Alvin membiarkan badannya bersandar lemah pada pinggiran sofa apartemennya. Pecahan kaca, sisa-sisa vas bunga yang berserakan di lantai menemaninya dalam remang sedih dan rasa bingung yang menggelayuti setiap sendi tubuhnya.

Ia tidak pernah mengerti, dan ketika ia mencoba mengerti, kenapa rasa sakit yang langsung menyapanya ?
Di raihnya kembali secarik kertas bertinta hitam dengan tulisan miring di atasnya yang isinya saat ini sedang bergaung dalam otaknya, yang coba ia hentikan, namun sia-sia.

Hai Alvin..

Aku minta maaf, sungguh, aku benar-benar minta maaf. Aku tak bermaksud sama sekali untuk membohongimu atau apapun yang kau tuduhkan padaku di pertemuan terakhir kita dua minggu lalu..

Aku akui, sejak awal, aku memang mengetahui semuanya. Aku tahu, bahwa aku, Ashilla akan di jodohkan denganmu, Alvin. Dan aku membuat keputusan itu sendiri, aku meninggalkan sekolahku di Seoul, kembali ke Jakarta, ke sekolahmu, memohon untuk bisa masuk ke kelasmu serta duduk di sampingmu. Orang yang kelak akan menjadi suamiku..

Itu sebabnya, sejak hari pertama aku terus dan terus bertahan di sebelahmu. Aku ingin tahu, aku ingin mengenalmu, aku ingin mengerti dengan laki-laki seperti apa aku akan menghabiskan sisa hidupku nanti.

Dan kamu, well...pintar, keras kepala, dingin dan tidak pernah memperdulikanku.

Anehnya, aku merasa tidak masalah dengan keadaan itu, hingga aku sadar, bahwa aku jatuh cinta padamu, aku mencintaimu. Dan semenjak aku menyadari perasaan itu, bukan sekali-duakali ingin ku katakan padamu siapa aku, tentang hubungan kita yang diam-diam sudah di ikat oleh orang tuaku dan juga orang tuamu.

Tapi kesempatan itu tidak pernah datang, kau hanya memberikan tatapan sayang pada buku-bukumu, pada duniamu yang berpola, pada dirimu sendiri. Tak pernah ada untukku, meski aku menghabiskan setiap detik bersamamu.

Sampai kemarin kau mengerti semuanya, tapi kemudian menjadi aku yang tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa kau berteriak, marah dan menuduhku membohongimu ?  Kenapa kau menatapku dengan pandangan yang begitu membuatku takut dan tidak mengenalimu?  Kenapa kau langsung pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bicara ? Dan..Kenapa kau menolak perjodohan ini ?

Aku akan kembali Seoul, dan aku sudah mengatakan kepada orang tuaku juga orang tuamu bahwa perjodohan ini lebih baik di batalkan saja, dan mereka menerima keputusanku.

Jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, temuilah aku dengan bahagia, itu cukup untukku.

Satu yang perlu kau mengerti, cinta itu seperti lagu favourite, meski lagunya berakhir, melodinya akan senantiasan berputar di kepalamu.

With love, Ashilla.

Dan perpisahan membuka pintu lebar-lebar bagi Alvin. Mempersilahkannya menemui rasa pedih yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Menjumpai serpihan hati yang terasa menusuki setiap jengkal tubuhnya.

Jangan tanya kenapa malam itu ia bereaksi sekeras dan setidak-rasional sampai menolak perjodohan mereka. Untuk alasan yang sekali lagi sedang ia coba mengerti, ia hanya merasa di bohongi, ia merasa semua orang tahu dan ia ditinggalkan tanpa petunjuk, ia merasa di percundangi, hingga egonya berteriak seolah melindungi harga dirinya.

Harga dirinya terselamatkan, tapi tidak dengan hatinya. Dan ia tidak tahu, mana yang lebih buruk daripada itu.

***

Seoul, 2018.

Dari kursinya yang terletak di deretan paling belakang, Alvin memandang lurus ke arah satu titik yang lima tahun ini begitu ia rindukan tapi tak pernah ia temui, nyalinya menciut seiring rasa bersalah yang memeluknya erat.

Menyakiti orang yang mencintainya. Ia membenci dirinya sendiri.

Ashilla tampak begitu cantik dengan gaun putih yang ekornya menyapu lantai, senyum di bibirnya tetap secerah dulu, manis dan adiktif. Ia hanya memandangi Shilla, hanya Shilla, ia bahkan tak mau repot mengingat siapa nama laki-laki yang sekarang berdiri di samping Shilla dan siap mengucap janji pernikahan mereka.

Ia tidak tahu mau mengutuk siapa. Otak lambatnya yang tidak memproses secara cepat tentang kenyataan bahwa ia telah mencintai Shilla. Hatinya yang terlewat angkuh untuk mengakui rasa yang menggelayutinya. 
Atau bibirnya yang dengan sangat tidak bertanggung jawab menolak perjodohan mereka malam itu.

Setidaknya sekarang ia mengerti. Bahwa malam itu, ia berkata demikian karena ia tak yakin tentang rasanya untuk Shilla. Karena jika ia harus menghabiskan umurnya bersama Shilla maka ia harus memastikan bahwa ia mencintai Shilla. Karena ia tidak ingin melukai Shilla dan menghilangkan senyum Shilla yang diam-diam menjadi favouritenya.

Meski pada akhirnya, ia melakukan itu juga.

Alvin hanya bisa memejamkan mata ketika akhirnya ada cincin yang tersemat di jari manis satu-satunya perempuan yang pernah ia cintai dan akan selalu cintai. Dan ketika para undangan lain mulai bergerak ke depan untuk memberikan selamat dan doa pada pasangan baru itu, Alvin memilih untuk berbalik dan pergi. 
Shilla memintanya untuk tersenyum bahagia ketika mereka bertemu, dan ia tak mampu, masih tak mampu.

Mengeratkan syal rajutan berwarna coklat susu yang terasa begitu hangat, sehangat tangan pembuatnya, Alvin terus berjalan menjauh. Ia yakin, ada hari lain untuk mengucapkan terimakasih tentang syal ini, syal yang saat itu datang bersamaan dengan surat yang mengubah sisa hidupnya.

Tamat.

Komennya ditunggu >.<

@nindhiyaa

4 komentar:

  1. Dear Anind,

    Aku cuma mau bilang, betapa kangennya aku sama tulisan ff kamu tentang icil. Dan seperti biasa nya, aku selalu suka. Kalau boleh jujur (opini pribadi ku aja sieh), aku lebih berasa feelnya kalau baca tulisan kamu yang tokohnya icil atau nama lain dibanding tokohnya yang korea. Mungkin karena aku ga ngerti korea juga kali ya (namanya susah disebut). Tetapi cerita kamu tetap jadi favorit aku, (Apalagi couple Alvin Shilla, yg udah bikin aku jatuh cinta sejak di LAST). Keep Writing ya.. di tunggu karya selanjutnya. Semoga bisa dijadiin novel. Amin.

    Rgds,
    Nurruu

    BalasHapus
  2. aduh ini nyesek banget. tragis sumpah kak. masya alloh. kasian alvin. shilla-nya juga ding. jangan-jangan shilla di seoul nikah sama choi siwon *plak*
    hehe
    suka kak. suka banget. ga beda jauh lah bahasanya sama Eun-Si. ehehehehe

    BalasHapus
  3. selalu saja cerita tentang alvin miris banget, selalu di siksa:'( kangen sekali dengan ff icil ka tapi ya ga alvinnya jg yang jadi sasaran hiks:')) bikin dong ka cerbung ff icil lagi!! request nih;;)

    BalasHapus
  4. miris bgt nasibnya si alvin... huhuuhu.. kasian :'(

    BalasHapus