Bola mata hitam pekatnya tetap memandang lurus pada deretan
kalimat di buku sejarah yang sedang di bacanya, sama sekali tidak melirik meski
hanya sedikit pada uluran tangan dengan kuku-kuku cantik berwarna merah muda
yang sejak beberapa menit lalu terarah kepadanya.
“Uhm,” gumam ragu itu mengiringi perkenalan yang terasa aneh
ini, “oke..” tangan itu ditarik kembali oleh pemiliknya, dan meski tak melihat –dan
juga tetap fokus membaca, melalui ujung mata sipitnya, ia bisa melihat
bagaimana penghuni baru kursi kosong di sebelahnya itu menggigit bibirnya dan
menatapnya penuh tanya.
“Err..kaya yang tadi di depan kelas aku bilang, namaku
Ashilla, dan..uhm semoga kita bisa temenan, ya ?”
Tanpa mau bersusah untuk sekedar mengangguk, ia tetap saja
menikmati buku di atas mejanya itu, ulasan mengenai perang dunia tersebut lebih
menarik minatnya.
“Hei,” dapat ia rasakan bagaimana jari telunjuk –yang menurutnya
tak sopan, gadis itu menusuki lengan tangan kanannnya, “hei, kamu ngomong
dong..” bisiknya, karena guru mereka mulai menerangkan mata pelajarannya.
Jengah karena terus-menerus di tusuki tanpa henti, ia
menolehkan kepalanya, memberikan tatapan tajamnya yang biasa, “Apa ?!”
Dan gadis itu. Ashilla. Hanya memandanginya sambil
tersenyum, senyum yang manis, seolah tidak terpengaruh dengan mata tajamnya
yang mencoba mengintimidasi.
***
“Alvin, kalau di Korea sekarang mulai musim gugur lho..”
Seperti biasa, gadis itu, teman sebangkunya sejak tiga bulan
lalu, yang sejak hari itu juga entah kenapa terus menempel padanya, berbicara
dengan nada riang yang sama, seakan ia tak pernah lelah untuk terlihat selalu
gembira. Unik dalam gayanya.
“Terus ?” tanggapnya tak acuh. Ia tahu, gadis di depannya
yang sedang merajut –entah apapun itu, menghabiskan nyaris separuh usianya di
negara ginseng tersebut, sebelum akhirnya kembali kemari –Jakarta, dan
mengikutinya terus seperti sekarang.
“Aku merindukan suasana romantisnya, aku merindukan Seoul.”
“Kembalilah kesana kalau begitu.” Ujar Alvin datar, tak
menunjukkan tanda simpati sama sekali.
Sudah biasa, Shilla hanya terkekeh kecil, “nanti kau
merindukanku jika aku kembali ke Seoul.”
“Huh ? Tidak akan.”
“Hahaha..” lagi-lagi Shilla terkekeh, “jangan bicara begitu,
Tuhan tidak pernah tidur, kau tahu kan ?”
Untuk beberapa detik, Alvin memandangi lengkungan bibir
cherry yang mengukir senyum itu, sebelum ia menyadarkan dirinya sendiri dan
kembali sibuk pada buku di pangkuannya.
***
Bulan ke enam sejak pertemuan mereka di kelas kamis pagi
itu. Bulan terakhir di tahun ini, bulan penuh hujan yang bercampur dengan
lonceng gereja dan akan segera bertemu dengan terompet tahun baru,
Desember.
Dan meski terasa janggal, Alvin tidak bisa menghentikan
senyumnya yang terjadi secara reflek ketika ia membuka pintu apartemennya sore
itu dan menemukan sebuah tas coklat besar dengan kartu bermotif hati yang
manis.
Semalam hujan deras
dan pagi ini sangat dingin,
aku membuatkan sup ayam ini untukmu,
happy holiday ~^^
aku membuatkan sup ayam ini untukmu,
happy holiday ~^^
-Ashilla
Alvin tidak pernah mengerti, kenapa Ashilla bisa masuk dalam
hidupnya seperti ini meski ia sendiri merasa tak pernah menerimanya dengan
tangan terbuka, kenapa Ashilla betah-betah saja duduk di sebelahnya satu
semester ini meski ia tak pernah menggubris setiap pembicaraan gadis itu,
kenapa Ashilla selalu mengikutinya duduk di bawah pohon di halaman sekolah mereka
setelah jam pelajaran berakhir dan bertahan hingga sore hari meski ia memilih
untuk membaca buku daripada mengobrol dengannya.
Ia tidak mengerti, dan sejujurnya tak pernah mencoba untuk
mengerti. Yang ia tahu hanya malam ini, ia akan memastikan sup ayam yang baru
diterimanya akan ia habiskan. Pasti.
***
“Kau sedang membuat apa ?”
Dengan gerakan super cepat dan bersemangat, Ashilla
menolehkan kepalanya kepada laki-laki yang sudah selama delapan bulan ini ia
selalu diikutinya kemanapun, yang biasanya hanya sibuk dengan buku dan dunianya
sendiri, yang mungkin tak pernah Alvin sadari tapi inilah pertama kalinya ia
berbicara duluan dan peduli terhadap dirinya.
“Nanti kau juga akan tahu sendiri kalau rajutanku ini sudah
jadi.”
“Oh, baiklah.” Dan Alvin kembali meninggalkan pembicaraan
ini dengan cara yang sama setiap waktunya, menyelingkuhi obrolan singkat itu
dengan buku di tangannya, membuat Shilla terkadang cemburu.
Cemburu ? Gadis itu hanya tersenyum tipis, dan menghela
nafas pelan. Ketika semua di sekitar mereka kembali menjadi diam, maka ia pun
kembali larut bersama benang-benang wol yang selalu di bawanya kemanapun.
Dua jiwa tak akan satu jika tak ada yang mengikatnya, dan
benang itu, mengikat kan ?
***
“Berpakaianlah yang
rapi dan pantas, buat kesan yang baik pada calon istri dan juga calon mertuamu.”
Tidak ada bedanya dengan dua kakak laki-lakinya atau
sepupu-sepupunya yang lain, Alvin tahu waktunya juga akan segera tiba,
perjodohan bukanlah hal baru dalam keluarga besarnya, bahkan orang tuanya juga
melangkah dalam ikatan pernikahan melalui cara seperti ini.
Alih-alih menolak atau memberontak yang ia tahu hanya akan
sia-sia saja, lebih mudah baginya untuk belajar tak menaruh hati pada siapapun.
Karena pada akhirnya ia tahu, ada seorang perempuan entah siapapun itu di luar
sana yang sudah di pilih untuknya.
Ia hanya menganggukkan kepalanya singkat ke arah pelayan
yang membukakan pintu di hadapannya. Ia sudah mempersiapkan hari ini sejak
lama, ia tahu hari ini akan datang, ia mengerti bahwa pertemuan semacam ini pasti telah di
persiapkan untuknya. Hanya saja, nama itu, wajah itu, dan senyum itu.
Semua milik gadis itu, semua milik Ashilla, termasuk bibir
cherrynya yang lembut dan memberinya kecupan di pipi beberapa minggu lalu di
prom night SMA mereka, yang entah sejak kapan terekam dalam benaknya yang jauh,
berputar seperti film klasik hitam-putih dalam irama yang rapi, tiba-tiba
membuat langkah kakinya menjadi sedikit berat. Rasanya aneh.
“Nah Alvin, akhirnya kamu datang juga..”
Mendengar sapaan suara berat ayahnya yang khas, Alvin
mengangkat wajahnya yang sejak tadi menelusuri bayang lantai yang terlihat
dingin dan dengan absurdnya menampilkan Ashilla dan senyumnya.
Dan ia menatap satu-persatu rupa dalam ruangan berornament
beludru merah itu, ayahnya, ibunya, kakak laki-lakinya dan istri mereka,
seorang laki-laki paruh baya seusia ayahnya dan wanita lain seperawakan ibunya,
serta..
“Ashilla ?”
***
Untuk sebuah rasa lelah yang ia ciptakan sendiri, Alvin
membiarkan badannya bersandar lemah pada pinggiran sofa apartemennya. Pecahan kaca,
sisa-sisa vas bunga yang berserakan di lantai menemaninya dalam remang sedih
dan rasa bingung yang menggelayuti setiap sendi tubuhnya.
Ia tidak pernah mengerti, dan ketika ia mencoba mengerti,
kenapa rasa sakit yang langsung menyapanya ?
Di raihnya kembali secarik kertas bertinta hitam dengan
tulisan miring di atasnya yang isinya saat ini sedang bergaung dalam otaknya,
yang coba ia hentikan, namun sia-sia.
Hai Alvin..
Aku minta maaf,
sungguh, aku benar-benar minta maaf. Aku tak bermaksud sama sekali untuk
membohongimu atau apapun yang kau tuduhkan padaku di pertemuan terakhir kita
dua minggu lalu..
Aku akui, sejak awal,
aku memang mengetahui semuanya. Aku tahu, bahwa aku, Ashilla akan di jodohkan
denganmu, Alvin. Dan aku membuat keputusan itu sendiri, aku meninggalkan
sekolahku di Seoul, kembali ke Jakarta, ke sekolahmu, memohon untuk bisa masuk
ke kelasmu serta duduk di sampingmu. Orang yang kelak akan menjadi suamiku..
Itu sebabnya, sejak
hari pertama aku terus dan terus bertahan di sebelahmu. Aku ingin tahu, aku
ingin mengenalmu, aku ingin mengerti dengan laki-laki seperti apa aku akan
menghabiskan sisa hidupku nanti.
Dan kamu,
well...pintar, keras kepala, dingin dan tidak pernah memperdulikanku.
Anehnya, aku merasa
tidak masalah dengan keadaan itu, hingga aku sadar, bahwa aku jatuh cinta
padamu, aku mencintaimu. Dan semenjak aku menyadari perasaan itu, bukan
sekali-duakali ingin ku katakan padamu siapa aku, tentang hubungan kita yang
diam-diam sudah di ikat oleh orang tuaku dan juga orang tuamu.
Tapi kesempatan itu
tidak pernah datang, kau hanya memberikan tatapan sayang pada buku-bukumu, pada
duniamu yang berpola, pada dirimu sendiri. Tak pernah ada untukku, meski aku
menghabiskan setiap detik bersamamu.
Sampai kemarin kau
mengerti semuanya, tapi kemudian menjadi aku yang tidak mengerti. Aku tidak
mengerti kenapa kau berteriak, marah dan menuduhku membohongimu ? Kenapa kau menatapku dengan pandangan yang
begitu membuatku takut dan tidak mengenalimu? Kenapa kau langsung pergi tanpa memberiku
kesempatan untuk bicara ? Dan..Kenapa kau menolak perjodohan ini ?
Aku akan kembali
Seoul, dan aku sudah mengatakan kepada orang tuaku juga orang tuamu bahwa
perjodohan ini lebih baik di batalkan saja, dan mereka menerima keputusanku.
Jika suatu hari nanti
kita bertemu lagi, temuilah aku dengan bahagia, itu cukup untukku.
Satu yang perlu kau
mengerti, cinta itu seperti lagu favourite, meski lagunya berakhir, melodinya
akan senantiasan berputar di kepalamu.
With love, Ashilla.
Dan perpisahan membuka pintu lebar-lebar bagi Alvin.
Mempersilahkannya menemui rasa pedih yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Menjumpai
serpihan hati yang terasa menusuki setiap jengkal tubuhnya.
Jangan tanya kenapa malam itu ia bereaksi sekeras dan
setidak-rasional sampai menolak perjodohan mereka. Untuk alasan yang sekali
lagi sedang ia coba mengerti, ia hanya merasa di bohongi, ia merasa semua orang
tahu dan ia ditinggalkan tanpa petunjuk, ia merasa di percundangi, hingga
egonya berteriak seolah melindungi harga dirinya.
Harga dirinya terselamatkan, tapi tidak dengan hatinya. Dan ia
tidak tahu, mana yang lebih buruk daripada itu.
***
Seoul, 2018.
Dari kursinya yang terletak di deretan paling belakang,
Alvin memandang lurus ke arah satu titik yang lima tahun ini begitu ia rindukan
tapi tak pernah ia temui, nyalinya menciut seiring rasa bersalah yang
memeluknya erat.
Menyakiti orang yang mencintainya. Ia membenci dirinya
sendiri.
Ashilla tampak begitu cantik dengan gaun putih yang ekornya
menyapu lantai, senyum di bibirnya tetap secerah dulu, manis dan adiktif. Ia
hanya memandangi Shilla, hanya Shilla, ia bahkan tak mau repot mengingat siapa
nama laki-laki yang sekarang berdiri di samping Shilla dan siap mengucap janji
pernikahan mereka.
Ia tidak tahu mau mengutuk siapa. Otak lambatnya yang tidak
memproses secara cepat tentang kenyataan bahwa ia telah mencintai Shilla. Hatinya
yang terlewat angkuh untuk mengakui rasa yang menggelayutinya.
Atau bibirnya
yang dengan sangat tidak bertanggung jawab menolak perjodohan mereka malam itu.
Setidaknya sekarang ia mengerti. Bahwa malam itu, ia berkata
demikian karena ia tak yakin tentang rasanya untuk Shilla. Karena jika ia harus
menghabiskan umurnya bersama Shilla maka ia harus memastikan bahwa ia mencintai
Shilla. Karena ia tidak ingin melukai Shilla dan menghilangkan senyum Shilla
yang diam-diam menjadi favouritenya.
Meski pada akhirnya, ia melakukan itu juga.
Alvin hanya bisa memejamkan mata ketika akhirnya ada cincin yang
tersemat di jari manis satu-satunya perempuan yang pernah ia cintai dan akan
selalu cintai. Dan ketika para undangan lain mulai bergerak ke depan untuk
memberikan selamat dan doa pada pasangan baru itu, Alvin memilih untuk berbalik
dan pergi.
Shilla memintanya untuk tersenyum bahagia ketika mereka bertemu, dan
ia tak mampu, masih tak mampu.
Mengeratkan syal rajutan berwarna coklat susu yang terasa
begitu hangat, sehangat tangan pembuatnya, Alvin terus berjalan menjauh. Ia yakin,
ada hari lain untuk mengucapkan terimakasih tentang syal ini, syal yang saat
itu datang bersamaan dengan surat yang mengubah sisa hidupnya.
Tamat.
Komennya ditunggu >.<
@nindhiyaa
Dear Anind,
BalasHapusAku cuma mau bilang, betapa kangennya aku sama tulisan ff kamu tentang icil. Dan seperti biasa nya, aku selalu suka. Kalau boleh jujur (opini pribadi ku aja sieh), aku lebih berasa feelnya kalau baca tulisan kamu yang tokohnya icil atau nama lain dibanding tokohnya yang korea. Mungkin karena aku ga ngerti korea juga kali ya (namanya susah disebut). Tetapi cerita kamu tetap jadi favorit aku, (Apalagi couple Alvin Shilla, yg udah bikin aku jatuh cinta sejak di LAST). Keep Writing ya.. di tunggu karya selanjutnya. Semoga bisa dijadiin novel. Amin.
Rgds,
Nurruu
aduh ini nyesek banget. tragis sumpah kak. masya alloh. kasian alvin. shilla-nya juga ding. jangan-jangan shilla di seoul nikah sama choi siwon *plak*
BalasHapushehe
suka kak. suka banget. ga beda jauh lah bahasanya sama Eun-Si. ehehehehe
selalu saja cerita tentang alvin miris banget, selalu di siksa:'( kangen sekali dengan ff icil ka tapi ya ga alvinnya jg yang jadi sasaran hiks:')) bikin dong ka cerbung ff icil lagi!! request nih;;)
BalasHapusmiris bgt nasibnya si alvin... huhuuhu.. kasian :'(
BalasHapus