Meski ia seorang laki-laki sejati, bukan berarti ia tidak bisa menjadi mellow layaknya seorang perempuan. Cakka duduk sendiri sambil memantul-mantulkan bola basketnya ke lantai kamarnya.
“Payah lo kka, masa cowok enggak bisa main basket. Kalo lo mau jadi cowok sejati, seminimal-minimalnya elo harus bisa ngedrible bola, sini gue ajarin..”
Dulu alvin yang selalu memaksanya untuk bermain basket, yang mengenalkannya pada permainan itu. Pada cakkalah, alvin selalu menunjukkan permainan-permainan keren yang ia temukan sendiri tentang basket. Tapi saat ini, jangankan menyentuh bola basket, membahas itu sedikit saja, alvin tidak pernah mau.
Dan untuk itu semua cakka mencoba mengerti, mencoba ikut memahami apa yang di rasakan oleh alvin. Semenjak alvin menjauhi basket, sejak itu pula cakka juga melakukan hal yang sama. Meski jauh di lubuk hatinya, ia merindukan saat-saat bermain bersama alvin, tapi cakka juga tahu, alvin pasti jauh lebih merindukan itu.
Cakka masih mengingat semuanya, semua yang pernah mereka lalui bersama. Alvin tahu semua tentang cakka, begitupun cakka, ia tahu semua tentang alvin, sekecil apapun itu, cakka tahu semuanya. Cakka tahu kapan alvin sedang berbohong padanya, kapan alvin sedang merasa sedih, kapan alvin sedang membutuhkannya.
“Gue pengen sekali aja, lo kaya dulu lagi vin..” harap cakka pelan.
“Kka, kamu belum tidur ?”
“Eh mama, belom ma, belom ngantuk” mamanya menghampiri cakka dan duduk di sampingnya.
“Ya tapi enggak usah mantul-mantulin bola basket ke lantai gitu dong, udah malem..”
“Berisik ya ma ? maaf deh..” sahut cakka sambil nyengir.
“Mikirin alvin ya ?”
“Kapan dia bisa balik kaya dulu ma ?” tanya cakka balik.
“Kamu tahu sendirikan apa yang terjadi sama dia. Mama yakin, suatu hari nanti, alvin bisa kaya dulu lagi”
“Kalo cakka lagi bareng alvin, rasanya beda ma. Dia alvin, tapi tetap bukan alvin yang cakka kenal dari dulu..” ujar cakka lirih, ia memandang ke arah luar jendela kamarnya, menatap lurus taman kecil yang dulu suka ia dan alvin gunakan untuk bermain bersama. Disana mereka tumbuh, dari seorang anak kecil yang berantem hanya gara-gara rebutan sebatang permen, hingga menjadi laki-laki dewasa yang tidak bisa lagi menangis di depan umum.
“Mama juga kangen sama alvin, alvin yang suka tiba-tiba muncul di dapur dan ngagetin mama, yang suka tiba-tiba dateng malem-malem cuma buat numpang tidur, alvin kecil yang suka bawa buku dongeng dan minta mama bacain, mama juga kangen sama alvin. Mama cuma mau bilang sama kamu, kamu enggak sendirian ngadepin ini, kita semua yang pernah ngenal alvin yang dulu, juga pengen lihat alvin kaya dulu lagi, sama kaya kamu..” cakka mengalihkan perhatiannya ke arah mamanya, ia memandang mamanya sambil tersenyum.
“Cakka bakal nemenin alvin terus ma, cakka enggak mau kehilangan alvin lebih dari ini”
“Iya mama tahu, mama bangga sama kamu. Oh ya, gimana tadi jalannya sama ify ?”
“Enggak gimana-gimana sih, akhir-akhir ini cakka sama ify malah lebih keseringan bahas soal alvin kalo lagi berdua”
“Di imbangin juga sama ngobrolin pelajaran, kalian udah kelas tiga lho, butuh banyak persiapan buat ujian, dan mama percaya kamu enggak akan ngecewain mama” cakka hanya menganggukan kepalanya.
“Ya udah, mama mau tidur, kamu jangan malem-malem tidurnya, besok masih harus sekolah kan..” lanjut mamanya lagi sambil berjalan keluar dari kamar cakka. Sepeninggal mamanya, cakka kembali melamun sendiri.
“Udah hampir setahun vin..” gumam cakka pelan, lebih untuk dirinya sendiri.
***
Hari ini lumayan cerah, meski matahari tidak bersinar seterang biasanya. Agni menguap menahan ngantuk, pengaruh semilir angin yang berhembus di sekitarnya. Dari tempat duduknya, ia bisa mengamati beberapa anak laki-laki yang nampak asik bermain basket. Ingin rasanya agni ikut bermain, tapi statusnya sebagai anak baru membuat ia mengurungkan niat itu, lagipula ia tidak ingin di cap sksd atau sok cari perhatian di antara laki-laki yang tidak dikenalnya itu.
Setelah hampir setengah jam agni habiskan hanya untuk menonton saja, akhirnya agni memberanikan diri berjalan ke arah lapangan. Lagipula hanya tinggal iel yang ada disana, masih berkutat dengan bola-bolanya.
“Hai yel, masih inget gue kan ?” sapa agni sambil mengambil satu bola yang nganggur.
“Eh elo ag, kenapa ?”
“Enggak apa-apa sih, cuma tadi seru aja lihat elo sama temen-temen lo main basket gitu”
“Bisa main basket ?” agni mengangguk kecil, ia mendrible bolanya beberapa kali, lalu langsung melemparkannya ke arah ring, dan masuk.
“Lemparan yang bagus ag, keren” puji iel tulus.
“Thanks, kok belum balik yel ?”
“Gue masih nungguin via, dia lagi rapat osis terakhir sebelum regen”
“Oh sama, gue juga lagi nungguin ify nih” sahut agni sambil kembali memainkan bola basket yang ada di tangannya.
“Lho ify enggak bareng cakka sama alvin ?”
“Enggak, kebetulan gue sama ify punya tugas kelompok gitu, jadi abis ini gue mau langsung ke rumah dia buat ngerjain tugas. Ngomongin alvin, gue boleh nanya enggak ?”
“Nanya apa ?”
“Alvin itu anak basket bukan sih ?” iel yang tadinya hendak memasukkan bola ke dalam ring, membatalkan niatnya, ia malah menggenggam bola tersebut, lalu ia berjalan menghampiri agni.
“Dulu iya, alvin sama cakka itu anak basket, bahkan bisa di bilang mereka berdua termasuk yang di unggulkan buat jadi jagoan tim basket kita, tapi pas awal-awal naik kelas dua, cakka sama alvin ngundurin diri, dan semenjak saat itu yang gue tahu, mereka enggak pernah main basket lagi. Selebihnya gue enggak tahu ada apa dan kenapa..” jelas iel.
Agni hanya bisa tersenyum tipis mendengar penjelasan dari iel. Semakin ia mencari tahu tentang alvin, semakin banyak pula pertanyaan yang memenuhi otaknya, dan tentu saja semakin membuat agni penasaran.
“Kemarin via cerita, elo juga nanya-nanya tentang alvin ya ? lo suka ag sama dia ?” tanya iel spontan.
“Hah, enggak kok, gue cuma penasaran aja sama dia..”
“Oh ya ? kalo suka juga enggak apa-apa kok, setahu gue alvin anaknya asik, cuma udah lama dia enggak keliatan kaya dulu lagi, walaupun gue enggak dekat sama dia, tapi gue ngerasa dia berubah banyak dari yang gue kenal dulu”
“Apaan sih lo yel, gue enggak suka kok sama dia, serius deh..”
“Haha, enggak suka kok mukanya merah ag..” goda iel, yang reflek membuat agni meraba pipinya.
“Merah beneran yel ?” tanya agni polos.
“Haha..tadi sih sebenernya enggak merah ag, gue cuma bercanda, tapi sekarang merah beneran” agni menatap iel sebal.
“Ih elo mah nyebelin banget”
“Peace..” ujar iel sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. “Info tambahan nih ag, alvin itu setahu gue jago main gitar lho..”
“Jago gitar ?” ulang agni, iel mengangguk lalu melanjutkan permainan basketnya yang tadi terhenti. Sementara agni menjadi diam, koleksi puzzlenya tentang alvin bertambah lagi, dan kali ini agni benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengaitkan semua itu agar menjadi kesatuan yang utuh dan jelas.
***
Di dalam kamar yang di dominasi warna biru laut tersebut, agni dan ify sibuk mengerjakan tugas mereka.
“Fy, elo, alvin sama cakka udah sahabatan lama ya ?” tanya agni.
“Iya, kita sahabatan sejak kelas satu smp, tapi kalo cakka sendiri udah sahabatan sama alvin sejak mereka masih kecil banget” ujar ify sambil menatap agni sekilas lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Oh pantes ya lo bertiga deket banget, ehm fy gue boleh....”
“Ag, tolong ambilin buku yang itu dong” potong ify, agni memberikan buku yang ify maksud.
“Thanks, kenapa tadi ?” lanjut ify lagi, agni hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. Sesungguhnya ia ingin sekali bertanya tentang alvin dan segala hal yang berhubungan dengannya, hanya saja agni merasa ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai semua itu.
“Eh gue ke bawah dulu ya ag, mau ngambil cemilan” agni mengangguk, setelah ify keluar, agni mengamati sekeliling kamar ify yang terlihat jauh lebih rapi dari kamarnya. Matanya tertarik pada deretan piala yang ada.
“Wow, banyak juga nih pialanya si ify..” agni menyusuri piala-piala tersebut. Ada piala dari lomba melukis, dari bermain piano, dan lain-lainnya. Tangannya meraih sebuah piala dengan bentuk gitar di atasnya. Membuat ia kagum dengan teman barunya ini, yang menurutnya sangat multitalend dan berbakat. Agni membalik piala tersebut, ingin membaca juara apa yang ify raih, tapi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan sebuah pertanyaan baru.
“Alvin ? kenapa piala alvin ada disini ?”
“Agni !” panggilan ify yang cukup keras, membuat agni buru-buru meletakkan piala itu di tempatnya semula.
“Turun yuk ag, ada cakka sama alvin di bawah” ajak ify dengan kepala tersembul di pintu.
“Oh oke..” ujar agni sambil mengikuti ify keluar. Di halaman belakang rumah ify, terlihat cakka dan alvin yang sedang duduk berdua. Agni tersenyum sekilas ke arah cakka, tapi matanya sibuk melihat alvin.
“Hai vin, gimana udah....”
“Eh elo ag, kita ngobrol disana yuk, biarin cakka sama ify berdua” alvin langsung menarik tangan agni menjauh, menimbulkan tatapan heran dari cakka, ify dan tentunya agni sendiri. Alvin terus menarik tangan agni, hingga ke halaman samping rumah ify.
“Jangan bilang ke ify sama cakka kalo gue mimisan kemarin” ujar alvin masih memegang tangan agni.
“Kenapa ?”
“Mereka udah terlalu sering khawatir sama gue, lagian apa susahnya sih tinggal diem doang” agni mengerecutkan bibirnya, merasa tidak puas dengan jawaban alvin meski terdengar masuk akal, tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya.
“Gue enggak akan bilang kalo lo mau jawab satu aja pertanyaan gue”
“Apa ?”
“Kenapa elo kayanya enggak suka banget sama basket ? padahal elo bisa kan main basket ?” alvin tersenyum tipis, ia melepaskan tangan agni kemudian berdiri memunggungi agni.
“Lo sadar enggak kalo pertanyaan lo ada dua ?” tanya alvin balik.
“Dua ?”
“Lo mau gue jawab yang mana ? yang kenapa gue enggak suka basket atau bisa enggak gue main basket ?” agni memandangi punggung alvin sambil berpikir, kira-kira yang mana yang akan memberinya petunjuk lebih.
“Gue mau lo jawab, kenapa elo enggak suka sama basket ?” tanya agni mengulang pertanyaannya sendiri. Alvin tidak langsung menjawab, membuat agni harus menunggu beberapa saat dulu.
Alvin membalik badannya, menatap agni “Karena basket bisa bikin gue mati”.
“Mati ? emangnya kenapa ? lo bohong ya ?” tanya agni bertubi-tubi. Alvin mendekat ke arah agni, kemudian ia menempelkan telunjuknya di bibir agni.
“Eits, bukannya elo sendiri yang bilang, gue cukup jawab satu pertanyaan dari lo, lagian tadi elo enggak bilang juga kan gue mesti jawab pertanyaan itu dengan jujur atau enggak” sahut alvin sambil memberikan penekanan di kata satu. Agni merasa beku, beku karena tatapan alvin yang mengarah padanya, beku karena jari telunjuk alvin belum juga terangkat dari bibirnya.
“Gantian gue yang nanya, kenapa elo sepenasaran itu sama gue dan basket ?” alvin tersenyum tipis, ia melepaskan jari telunjuknya. Agni menggigit bagian bawah bibirnya, ia sendiri bingung sekarang, tidak pernah sekalipun ia memikirkan kenapa ia sampai sepenasaran ini akan sosok alvin.
“Masa lo enggak punya alasan sih ?” tanya alvin lagi.
“Karena..ehm..karena gue juga suka main basket, dan menurut gue postur lo cocok aja jadi pemain basket, jadi kali aja kan kita bisa main basket bareng” hanya kata-kata itulah yang mampu ia pikirkan sekarang sebagai alasan.
“Beneran ?”
“Elo enggak bilang gue mesti jawab pertanyaan lo dengan jujur atau enggak” timpal agni sambil tersenyum jahil membalikan kata-kata alvin.
“Haha..” alvin terkekeh, dan lagi-lagi agni di buat beku oleh tawa itu, tawa yang terdengar begitu renyah.
“Vin..”
“Hmm..”
“Kalau main basket bisa bikin gue mati , gue enggak peduli, gue akan terus main basket, karena gue cinta basket..” ujar agni tiba-tiba, kemudian ia langsung berlari kecil meninggalkan alvin seorang diri. Alvin diam membisu, kata-kata itu mengenai saraf perasaannya langsung, ada yang bergetar di dalam hatinya mendengar kata-kata itu, entahlah apa. Alvin meraba dadanya, ada yang aneh di dalam sana, sesuatu yang baru saja, disadari ataupun tidak, terbangun dalam dirinya.
“Alvin ! sini ayo makan dulu !” teriakan cakka membuyarkan lamunannya. Alvin kembali ke halaman belakang rumah ify.
“Abis ngapain sih lo ? nih makan dulu..” ify mengangsurkan sepotong pizza ke arahnya, yang di terima alvin dengan senyum. Matanya menatap ke arah agni, yang telah setengah jalan menikmati pizza miliknya. Agni yang merasa sedang di amati, menoleh ke arah alvin, lalu tersenyum, membuat alvin diam sesaat.
“Vin, kok muka lo merah ? lo demam ?” cakka langsung meletakkan punggung tangannya di kening alvin.
“Gue enggak apa-apa kok kka, ayo makan..” ujar alvin, ia menarik kursi, lalu duduk di hadapan agni. Sambil menggigit pizzanya, ia terus mengamati agni, meski ia tahu rasa itu akan menyiksanya.
***
Entah sudah berapa menit alvin berdiri disini, tangannya menggenggam erat gagang pintu, tapi tidak sama sekali ia membukanya. Semuanya ada di dalam sini, cita-citanya, harapannya, ceritanya, semua yang ia punya terkurung di ruangan itu.
“Klek..” alvin berdiri di ambang pintu, menatap ruangan di hadapannya dengan pandangan rindu sekaligus sedih. Ia mencoba melangkahkan kakinya, untuk masuk lebih dalam.
Belum sampai setengah ruangan ia berjalan, alvin berhenti. Sebuah bola basket menggelinding ke arahnya. Ia menunduk untuk mengambil itu, lantas memegangnya dan memandanginya dalam-dalam.
“Duk..” suara pantulan bola menggema memenuhi ruangan tersebut. Tapi sepulas senyum tergambar tipis di bibirnya.
“Duk..” sekali lagi, alvin memantulkan bolanya ke lantai, dan layaknya seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru, alvin terus memainkan bola itu beberapa kali, bedanya ia bukanlah seorang anak kecil, dan basket sama sekali bukan hal baru untuknya.
“Kalau main basket bisa bikin gue mati , gue enggak peduli, gue akan terus main basket, karena gue cinta basket..”
***
Sekeliling lapangan ramai di penuhi oleh hampir seluruh penghuni sekolah, padahal hanya ada satu orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan basket, berdiri sambil mendribel bolanya, dan sesekali melakukan tembakan ke ring.
Alvinlah yang membuat kehebohan itu, tiba-tiba saja ia sudah berada di lapangan dan menikmati permainannya sendiri. Membuat semua orang terkagum-kagum. Tapi tidak untuk ify dan cakka, mereka berdiri di bawah ring, siap memberi banyak pertanyaan untuk alvin, siap mendengar banyak penjelasan dari alvin, meski dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka senang melihat alvin seperti ini.
“Gila vin, keren banget !” ujar agni heboh saat alvin memutuskan untuk berhenti bermain dan berjalan menghampiri mereka bertiga.
“Thanks ag..” alvin tampak kelelahan, napasnya tersengal-sengal, ia duduk sambil menyenderkan tubuhnya di tiang ring.
“Minum dulu vin” cakka langsung memberinya sebotol air mineral yang di habiskan oleh alvin dalam beberapa kali teguk.
“Vin elo....” ify menggantung kata-katanya ketika cakka menatapnya penuh arti sambil melirik agni, dan alvin paham akan hal itu.
“Gue enggak apa-apa kok, cuma mau nostalgia sedikit. Udah sore, balik yuk ag..” ajak alvin sambil berdiri.
“Hah ? gue ?” tanya agni sambil menunjuk dirinya.
“Iyalah, emang ada berapa agni disini”
“Lo mau balik bareng agni lagi vin ?” tanya cakka.
“Iya, enggak apa-apa kan ? lagian kalo enggak ada gue, lo sama ify kan bisa lebih romantis sedikit” goda alvin.
“Ya udah ya, gue sama agni duluan, ayo ag..” alvin meraih tangan agni dan menggandengnya.
“Lo sadar enggak sih vin, lo suka banget narik tangan orang sembarangan ?” alvin hanya memberikan cengirannya atas pertanyaan yang bernada protes dari agni. Di dalam mobil, mereka tidak terlalu banyak bicara seperti sebelumnya, ingin rasanya agni bertanya banyak hal ke alvin, tapi setiap ia menoleh alvin juga sedang melihat ke arahnya, dan tatapan alvin itulah yang mampu mengubah irama jantungnya menjadi lebih cepat sehingga agni berulang kali mengurungkan niatnya.
Alvin bingung, mengapa agni menjadi diam. Beberapa kali ia menengok ke arah agni, agni malah langsung membuang wajahnya, melihat ke arah lain. Apa ada sesuatu yang telah ia perbuat sehingga membuat agni merasa tidak nyaman terhadapnya.
“Vin, gue langsungan aja ya..” ujar agni sesampainya mereka di depan rumah alvin.
“Oh ya udah, thanks ya ag tebengannya” agni mengangguk kecil, ia berpindah posisi dari kursi penumpang ke belakang kemudi.
“Gue balik ya vin..” pamit agni sekedar basa-basi.
“Ag, tunggu..”
“Apa ?” agni menatap alvin heran.
“Besok kan sabtu libur, gue bolehkan main ke rumah lo ?” agni mengangguk kecil, karena hanya itu yang bisa ia lakukan, setelah itu agni langsung menutup jendela mobilnya, dan meninggalkan pekarangan rumah alvin, dengan senyum terkembang di bibirnya. Alvin sendiri terpaku di tempatnya, kata-kata tadi meluncur begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa ia kendalikan, tapi toh diam-diam, rasa senang juga merasukinya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar