Jumat, 22 April 2011

Story in Our Life part 2

Agni menghela napasnya, melihat tumpukan kardus berbagai ukuran di kamarnya. Kamar barunya masih terlihat berantakkan. Dan ia sama sekali tidak punya niat untuk membereskan barang-barang itu. Ia mengambil gitar lalu merebahkan badannya di atas sofa.
“Lihat gitar kok gue jadi inget alvin ya ?”
Pikiran agni jadi mengingat saat kemarin, saat alvin membentaknya lalu beberapa menit kemudian meminta maaf padanya. Sungguh suatu sikap yang aneh.
“Apa dia punya kepribadian ganda ?”
Tanpa sadar, agni menggumam sendiri. Ia menatap ke arah gitarnya. Ada sesuatu yang beda, saat kemarin ia melihat alvin memegang gitar. Agni yakin, alvin bisa bermain gitar. Tapi mengapa ia bahkan tidak mengijinkan agni untuk memainkannya meski hanya sedikit.
“Gue penasaran sama dia, gue harus tanya ke ify, ada apa sama alvin sebenernya” agni meraih hpnya, mencoba menghubungi ify. Tapi berkali-kali ia coba, berkali-kali juga ify tidak mengangkat telponnya.
“Besok aja deh, gue tanya pas di sekolah”
***
Tidak banyak yang bisa agni lakukan di dalam kelas, karena selain ia belum begitu mengenal siapapun di kelas ini, hari ini ify juga tidak masuk. Agni sudah berusaha mencari tahu, tapi sms yang ia kirimkan untuk ify masih pending, entahlah apa yang terjadi pada ify saat ini.
“Teeet..teeeet...teeeeet..”
Agni berusaha mencari tahu dimana kelas cakka, tapi hasilnya sama saja, hari ini pun, cakka juga tidak masuk. Bingung harus kemana lagi, agni menyenderkan tubuhnya di dinding kelas.
“Kok sendiri aja ag..” agni menoleh melihat siapa yang menyapanya.
“Eh, ehm..elo via kan ? temen sekelas gue ?”
“Iya. Ikut gue ke kantin aja yuk” ajak via. Karena tidak ada pilihan lain, agni pun mengangguk setuju dengan ajakan via.
“Vi, lo tahu enggak kenapa ify enggak masuk ?”
“Gue sih enggak gitu tahu, yang gue tahu, kalo alvin enggak masuk, pasti cakka sama ify juga ikutan enggak masuk”
“Ya ampun mereka kompak banget”
“Mereka emang sahabatan dari smp sih setahu gue, apalagi semenjak setahun belakangan ini, ify sama cakka enggak pernah sekalipun absen nemenin alvin”
“Emang alvin kenapa ? eh tapi, si alvin itu aneh banget lho, masa kemarin dia marah-marah gitu sama gue, tapi enggak lama, dia juga minta sama gue” ujar agni sambil mengaduk-aduk es jeruknya. Via hanya tersenyum tipis.
“Alvin emang suka gitu, padahal dulu waktu masih kelas satu, dia termasuk aktif lho, tapi semenjak naik kelas dua, dia berubah dan mungkin cuma dia, ify sama cakka kali ya yang tahu, hehe, oh iya, kayanya elo penasaran banget nih sama alvin..”
“Ahh..enggak kok, biasa aja, gue cuma bingung aja lihat sikapnya yang kaya gitu” timpal agni cepat.
“Hai vi..”
“Eh ag, kenalin ini iel cowok gue” agni tersenyum sambil menyodorkan tangannya.
“Kalo gitu gue cabut aja deh vi, enggak enak ganggu, duluan ya iel..” pamit agni sambil bergegas meninggalkan kantin. Agni melirik jam tangannya, masih ada 15 menit tersisa untuk istirahat, dan terlalu sayang untuk di lewatkan hanya dengan duduk bengong sendiri di kelas. Akhirnya agni pun memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan sekolahnya.
Setelah menyusuri hampir setengah bagian perpustakaan dan agni belum juga menemukan buku yang menarik minatnya, agni berhenti di depan sebuah rak. Dari judul rak yang tertera disana, rak tersebut adalah rak yang memajang arsip-arsip tentang kegiatan-kegiatan yang pernah terjadi di sekolah. Dengan penuh semangat, agni langsung mengambil beberapa kliping yang ada.
Agni tersenyum kecil, melihat prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh sekolahnya. Sayang, ia masuk sebagai seorang siswi kelas tiga, sehingga ia tidak di perkenankan untuk mengikuti ekskul apapun.
Di halaman terakhir kliping olahraga, agni berhenti cukup lama. Ia mengamati foto dan secuil berita yang ada disana. Sebuah foto yang menggambarkan tentang kemenangan sekolah mereka di ajang basket antar sma.
Sportmagz ~ pertandingan final basket antar sma berhasil di menangkan oleh SMA Harmony dengan skor 75-70, di pertandingan ini, seorang pemain dari SMA Harmony juga berhasil menjadi MVP, “ini tahun pertama saya main buat harmony dan menjadi mvp, saya harap musim depan saya masih bisa terus bermain lagi....” ujar alvin jonathan, sang penerima MVP.
Mata agni hampir tidak berkedip saat membaca cuplikan berita tersebut. Satu lagi, hal baru yang ia temukan dalam diri alvin, yang semakin membuatnya bertambah penasaran.
“Jadi alvin pemain basket ?” gumam agni pada dirinya sendiri.
***
Sambil merekatkan tangannya di pinggiran gelas yang hangat, ify meniup-niup coklat panasnya agar dapat ia minum. Ia menatap ke arah luar jendela, tampak banyak orang berlalu lalang, berkejar-kejaran dengan waktu.
Ify menyeruput coklatnya sedikit, setelah terlebih dahulu menghirup aromanya dalam-dalam, satu hal yang selalu bisa menenangkan batinnya.
“Coba deh kalo lo lagi bt, lo bikin coklat panas, terus sebelum lo minum, lo hirup dulu aromanya, rasanya surga banget lho, bikin batin lo tenang...”
Sepulas senyum tipis, tergambar di bibir mungilnya. Dulu alvin yang memberitahunya tentang itu, dan bahkan sering juga, alvin membuatkannya secangkir coklat panas, saat ia sedang gundah atau ada masalah kecil dengan cakka. Tapi kini, susah sekali rasanya menemukan rasa nyaman yang sama seperti dulu di diri alvin.
Bila di hitung mundur, maka ini adalah tahun ke enamnya bersahabat dengan alvin. Ify mengenal alvin dan cakka di smp, dan semenjak saat itu, entah bagaimana caranya, ify menyelip di antara dua orang laki-laki yang sudah bersahabat sejak kecil tersebut, menjadi satu-satunya wanita yang menemani mereka bermain apapun setiap saat.
Dari awal perkenalan mereka, ify telah nyaman menganggap alvin layaknya seorang kakak baginya. Ada banyak hal, yang bisa ify jadikan panutan dalam diri alvin. Bertiga, mereka hampir selalu menghabiskan waktu bersama. Mulai dari istirahat di kantin hingga menonton konser musik artis internasional, tidak sekalipun mereka terpisahkan. Dan hal itu, yang telah membuat dirinya, cakka dan alvin, mempunyai ikatan yang kuat, ikatan yang secara sederhana dapat disebut persahabatan.
Dengan gerakan cepat, ify menghapus setitik air yang tadi meluncur turun tiba-tiba, ketika melihat cakka berjalan ke arahnya.
Cakka langsung duduk di hadapannya, wajahnya tampak letih, ia tersenyum tipis ke arah ify. Ify menggenggam tangan cakka dengan kedua tangannya, seerat yang ia bisa.
“Semua bakal baik-baik aja, ada aku disini”
***
Cakka dan alvin berjalan beriringan menuju kelas mereka. Saat melewati pinggir lapangan, alvin berhenti sejenak mengamati segerombolan murid lain yang sedang asik bermain basket. Cakka ikut berhenti disampingnya.
“Lo mau main basket vin ?” tanya cakka sambil menepuk alvin pelan. Alvin hanya menggeleng, lalu melanjutkan jalannya. Cakka tersenyum simpul, ia sendiri kangen bermain basket.
“Kapan-kapan kita main basket berdua yuk, sebentar aja..” ajak cakka.
“Kalo lo emang pengen main basket, gabung aja sama mereka, gue enggak apa-apa kok”
“Ya udah kalo lo enggak main, gue juga enggak mau main” sahut cakka. Alvin diam memandang cakka, kata-kata yang alvin yakin cakka ucapkan secara spontan, menyelinap masuk dan memberi kekuatan sendiri di dalam hati alvin.
“Udah ah ayo ke kelas..” ujar cakka semangat, alvin mengangguk kecil dan mengikuti cakka. Sesampainya di kelas, alvin langsung meletakkan tasnya dan memasang ipod di telinganya. Ia memperhatikan cakka yang tampak sibuk menyalin catatan pelajaran, saat mereka tidak masuk kemarin.
“Lo enggak nyatet vin ? banyak banget nih” alvin hanya menggeleng pelan.
“Oh ya udah, entar kalo udah selesai, gue pinjemin deh catetan gue ke elo” sambung cakka lagi, kemudian kembali menekuni catatannya.
Alvin mendesah pelan. Memiliki cakka sebagai seorang sahabat, memang keberuntungan sendiri untuknya. Ia dan cakka telah saling mengenal sejak kecil. Selalu bersekolah di tempat yang sama. Mereka berdua adalah partner in crime yang hebat. Saling melengkapi satu sama lain. Bahkan tidak sedikit orang yang mengira mereka adalah saudara, karena hubungan mereka yang begitu dekat.
Seandainya bukan cakka, belum tentu alvin dapat melewati banyak hal hingga sejauh ini. Tanpa semangat dan dorongan kuat dari cakka, mungkin alvin akan menyerah menjalani hidupnya. Bila cakka tidak ada disisinya saat ini, alvin bahkan tidak yakin, ia dapat terus menjalani semuanya.
Sudah banyak hal yang cakka lewatkan, hanya untuk menemaninya. Sudah banyak waktu yang cakka buang, hanya untuk ada di sampingnya. Sudah banyak kesempatan yang cakka tinggalkan, hanya untuk membuat alvin tidak pernah merasa sendiri.
“Dengerin lagu apaan sih lo, sampai bengong gitu”
“Eh enggak kok, hehe. Kka, kayanya udah lama ya, gue enggak lihat elo sama ify jalan berdua” cakka meletakkan pulpennya, ia menatap alvin heran.
“Emang kenapa ? kok tiba-tiba bahas itu ?”
“Ya enggak apa-apa sih. Gimana kalo lo ajak ify pergi, dinner berdua gitu..” usul alvin.
“Dinner ?”
“Iya dinner, kan itung-itung biar bikin hubungan lo sama ify tambah awet”
“Terus elo ?”
“Gue ya enggak ikutlah. Udah turutin aja saran gue, siang ini pulang sekolah lo ajak dia jalan, noton kek, udah lama juga kan lo berdua enggak nonton, nah abis itu, makan malem deh lo berdua, mantep kan ide gue”
“Enggak tahulah, udah gue mau nyatet lagi. Gue sama ify sih kalo mau jalan gampang, entar-entar juga bisa” tolak cakka sambil kembali melihat ke arah buku catatannya. Alvin tidak mau menyerah, ia meletakkan kepalanya di atas tasnya, lalu menghadapkan wajahnya ke arah cakka.
“Ayolah kka..” bujuk alvin.
“Apaan sih vin..”
“Jalan sama ify ya, ayolah..” rayu alvin lagi, kali ini sambil menoel-noel dagu cakka.
“Aahh..alvin lo apa-apaan sih, ngeri ih gue..” tampik cakka risih, membuat alvin nyengir.
“Makanya mau, kalo enggak gue cium lo” ujar alvin sambil mengangkat kepalanya dan mendekatkannya ke arah cakka, membuat cakka menjauhkan wajahnya dari alvin.
“Alvin, gue masih normal. Iya-iya gue mau jalan sama ify..” sahut cakka pasrah, saat bibir alvin hanya tinggal beberapa cm dari wajahnya.
“Nah gitu dong daritadi, bikin gue repot aja lo” timpal alvin enteng. Cakka menoyor kepala alvin pelan.
“Geli tahu enggak gue lihat cara lo gitu, amit-amit deh..” kata cakka masih bergidik, mengingat kelakukan alvin barusan. Alvin hanya tertawa pelan melihatnya.
***
Sambil duduk di bangku depan kelasnya, ify melihat cakka dan alvin yang sedang berjalan ke arahnya. Ify sedikit bingung, melihat wajah alvin yang tampak lebih cerah daripada biasanya. Tapi ia senang melihatnya, karena akhir-akhir ini, semakin sulit menemukan wajah itu.
“Kok lo senyum-senyum gitu sih vin, ada apa ?” tanya ify langsung.
“Gue sih enggak apa-apa, si cakka nih..” cakka mendelik ke arah alvin yang dengan seenaknya menunjuk dirinya.
“Kenapa kka ?”
“Kamu mau jalan sama aku enggak fy, kita nonton yuk..” ajak cakka akhirnya.
“Bertiga ?”
“Eh enggaklah fy, lo berdua aja” jawab alvin cepat.
“Terus lo gimana vin ? enggak usah deh, lain waktu aja” tolak ify, yang dihadiahi anggukan oleh cakka.
“Lho kok masih pada disini ? belom pulang ?” tanya agni yang tiba-tiba muncul dari dalam kelas.
“Elo yang kemarin kan ? siapa nama lo ?’ tanya alvin.
“Agni...”
“Nah, gue balik bareng agni, udah sana lo berdua pergi gih” ujar alvin memotong kata-kata agni. Agni hanya menatapnya bingung.
“Lo serius vin ?” tanya ify yang masih ragu.
“Iya kan ag, lo mau kan balik bareng sama gue ?” tanya alvin sambil melingkarkan tangannya di pundak agni dengan santainya.
“Hah..iya..gue..kita balik bareng..” sahut agni gelagapan, kaget dengan aksi tiba-tiba alvin.
“Udahlah sana lo berdua pergi...” ujar alvin sambil mendorong-dorong cakka. Cakka melihat tatapan penuh tanya dari ify untuknya, dengan anggukan kecil, cakka menjawab itu, ia meraih tangan ify dan menggandengnya.
“Gue duluan ya..” pamit cakka dan ify berbarengan.
“Sip, have fun ya..”
“Lepasin tangan lo vin” alvin melihat tangannya, yang masih parkir di atas pundak agni.
“Eh sori ya, abis tadi gue reflek. Ayo balik..”
“Terus mobil gue ?” tanya agni.
“Ya naik mobil lo lah, mau naik apa lagi ? tiap pagi kan gue bareng cakka naik mobilnya dia” agni memandang alvin yang berjalan beberapa cm di hadapannya. Dan agni benar-benar merasa aneh dengan kepribadian alvin, yang gampang berubah-ubah.
“Sini kuncinya biar gue aja yang bawa” agni melemparkan kunci mobilnya dan di tangkap dengan sempurna oleh alvin.
‘insting tangkapannya bagus’ batin agni.
“Masuklah ag, kok lo berdiri di luar terus, enggak mau balik ?” tanya alvin, agni tersenyum kecil, ia segera memasuki mobilnya.
“Lo enggak ikut main basket vin ?”
“Bahas yang lain aja yuk ag, gue enggak ngerti apa-apa tentang basket” ujar alvin beralasan.
‘orang yang pernah dapet mvp enggak ngerti apa-apa tentang basket’
“Kok diem ag ? enggak apa-apa kan kalo kita ngobrolin yang lain, misalnya kaya, kenapa lo harus pindah kesini, atau apapunlah” timpal alvin lagi, menyadarkan agni dari lamunannya. Agni hanya mengangguk, ia merasa belum saatnya untuk mengorek terlalu jauh tentang alvin, meski rasa penasaran itu semakin berkembang dalam hatinya.
Ternyata apa yang di bilang ify tempo hari bahwa alvin teman yang menyenangkan, terbukti benar. Agni merasa cukup nyaman ngobrol dengan alvin, meski beberapa kali, alvin mengalihkan pembicaraan, bila itu menyangkut musik dan olahraga. Tapi di luar itu, alvin bahkan beberapa kali membuat agni tertawa dengan leluconnya.
“Vin gue mampir rumah lo bentar ya, kebelet nih..” alvin tersenyum tipis melihat agni yang terkesan ceplas-ceplos untuk ukuran seorang perempuan.
“Ya udah..” sahut alvin sambil memakirkan mobil agni di depan halaman rumahnya.
“Lo masuk aja terus langsung belok kanan di bawah tangga” jelas alvin, yang geli sendiri melihat tingkah agni.
Agni mengamati setiap ruangan yang ada di rumah itu. Tidak jauh berbeda dengan rumahnya, hanya saja rumah alvin terlihat lebih sepi, atau terlalu sepi. Tidak ada satupun pajangan dinding atau sekedar foto keluarga yang terpasang disana. Membuat agni merasa sedikit janggal dengan keadaan tersebut. Ia telah hampir menjelajahi seluruh bagian di lantai satu, tapi alvin belum juga turun dari kamarnya, padahal agni hanya ingin mengucapkan terimakasih, atas pinjaman toilet.
“Sreeekk..” agni menggeser pintu kayu di samping dapur, di hadapannya langsung terlihat lebih dari tiga buah mobil yang terparkir rapi layaknya di sebuah showroom. Dan dari covernya yang rapi pula, agni berani taruhan bahwa mobil-mobil itu sangat amat jarang di gunakan.
“Kalo alvin punya mobil sebanyak ini, kenapa setiap hari dia bareng cakka, padahal dia kan bisa nyetir”
“Ngelihatin apaan lo ?” suara alvin yang mengagetkannya, langsung membuat agni menutup kembali pintu ke arah garasi tersebut.
“Lihat-lihat doang, rumah lo sepi banget vin”
“Kan ini rumah bukan pasar, ngapain ramai” ujar alvin terkesan jayus.
“Oh ya udah deh gue balik ya, makasih udah di bolehin pakai toiletnya tadi. Salam aja buat orang tua lo..” alvin mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Baru beberapa langkah agni berjalan, ia berbalik lagi.
“Kunci mobil gue mana ?”
“Kebawa ke kamar gue deh kayanya, gue ambil dulu ya, lo duduk aja” alvin bergegas kembali ke kamarnya. Sesuai yang di perintahkan oleh si empunya rumah, agni pun duduk menunggu di sofa ruang tamu, sambil sesekali bersiul-siul kecil, sekedar mengisi suasana sepi yang begitu kental di rumah itu.
“Nih..” sebuah kunci di angsurkan di hadapannya. Agni langsung meraih itu sambil mengangkat kepalanya.
“Alvin, elo mimisan..” ujar agni sambil menunjuk dua lubang hidung alvin yang mengeluarkan darah. Alvin langsung mengambil tisu dan mencoba memberhentikan darahnya.
“Lo tiduran dulu deh sini..” agni menarik tangan alvin agar tiduran di sampingnya, dan entah sadar atau tidak, agni menjadikan pahanya sebagai bantal untuk kepala alvin.
“Lo sakit vin ?”
“Enggak apa-apa kok ag, gue kalo kecapekan dikit emang suka gini, biasa aja. Lo kalo mau pulang, pulang aja..”
“Gue disini dulu deh, sampai mimisan lo berhenti”
“Kenapa ?”
“Kenapa ya ? ehm...lo kan temen gue, jadi gue harus peduli dong sama lo” alvin hening mendengar kata-kata yang agni ucapkan. Ia memejamkan matanya dan tersenyum tipis sambil terus menahan laju darah yang keluar dari hidungnya.
“Ag..” panggil alvin setelah beberapa menit mereka habiskan dalam diam.
“Kenapa ?”
“Makasih ya, udah mau jadiin paha lo bantal buat gue” agni menunduk menatap pahanya, ia baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Untung alvin sedang memejamkan matanya, karena kalo tidak, alvin akan sukses melihat wajah agni yang mulai memerah. Entahlah memerah karena apa, karena malu atau karena ucapan terimakasih dari alvin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar