Jakarta, 3 agustus 2009.
Suara dentuman drum, petikan gitar dan alunan piano mewarnai panggung tersebut. Mereka yang ada disitu tampak menyatu dengan alat musik yang mereka kuasai masing-masing. Terdengar sorak sorai riuh dari penonton yang ada di hadapan mereka.
“Bruuk !”
“Ngiiing” lengkingan suara mike yang terjatuh memekakkan telinga.
Dan semua langsung terhenti seketika.
***
Jakarta, saat ini.
Pancaran sinar matahari pagi yang menyelinap dengan indahnya, memenuhi setiap sudut dan lekuk ruangan yang di dominasi oleh warna merah dan hitam tersebut. Satu-satunya penghuni yang ada di kamar itu, tampak masih tertidur di bawah selimutnya, tidak peduli tentang waktu.
“Kebiasaan deh dia jam segini belum bangun” ujar seorang laki-laki yang masuk ke kamar tersebut.
“Lihat deh kka, alvin tuh kalo tidur kaya bayi ya, mukanya gemesin banget” timpal seorang cewek yang bersimpuh di samping tempat tidur, sambil mengamati wajah temannya itu.
“Apaan sih fy, muka aku jauh lebih gemes daripada mukanya dia”
“Hahaha, jangan ngambek dong. Udah ah, niat kita kesini kan mau bangunin alvin..” ify berdiri lalu mendekatkan wajahnya ke arah alvin.
“Vin, bangun udah pagi..” alvin mengerjap-ngerjapkan matanya, melihat ify sekilas, lalu menarik kembali selimutnya.
“Yee ngajak ribut nih bocah, bangun cepetan deh lo !” perintah cakka sambil menarik selimut alvin menjauh. Alvin berusaha mempertahankan selimutnya, sehingga terjadilah adegan saling tarik menarik selimut, yang membuat ify geleng-geleng kepala sendiri, melihat kelakuan pacar dan sobatnya itu.
“Stop !” raung ify keras, yang cukup membuat alvin dan cakka terdiam dengan posisi masih memegang ujung-ujung selimut.
“Mandi deh vin, udah jam segini, tahun ajaran baru enggak boleh telat. Gue sama cakka nunggu di bawah” tambah ify lagi. Alvin menghembuskan napasnya pasrah, ia berdiri dan langsung berjalan ke arah kamar mandinya.
“Ayo kka, kita tunggu alvin di bawah” ajak ify, sambil berjalan duluan ke arah pintu. Cakka hanya mengangguk, tapi matanya sekilas melihat ke arah lain, senyum hampa terpeta di bibirnya.
‘letaknya bahkan enggak berubah sama sekali’ batin cakka sembari keluar mengikuti ify.
***
Ify mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja. Kelas yang di acak, menyebabkan ia harus berpisah dengan cakka ataupun alvin. Dan sialnya di kelas barunya ini, ify tidak begitu mengenal dekat dengan anak-anak yang ada, sehingga ia harus rela bangku di sampingnya masih kosong.
“Pagi semua..”
“Pagi bu..”
“Ada murid baru yang akan jadi teman kalian, silahkan masuk..” semua mata langsung mengarah ke pintu, tidak terkecuali ify. Terlihat seorang perempuan dengan rambut di kucir kuda dan tas ransel berwarna biru masuk ke dalam kelas.
“Perkenalkan nama saya agni tri nurbuwati, kalian semua bisa panggil saya agni, saya pindahan dari bandung, salam kenal dan mohon bantuannya” meski terkesan cuek, tapi senyumnya cukup manis menurut ify.
“Nah agni, kamu bisa duduk disana, di samping ify..” agni melangkahkan kakinya menuju tempat duduk ify. Agni tersenyum kecil sambil mengulurkan tangannya ke arah ify.
“Agni..”
“Ify..” ujar ify sambil membalas uluran tangan agni. Sambil berbisik-bisik kecil, agni dan ify saling menukar informasi satu sama lain, dan dalam waktu singkat, mereka langsung merasa akrab.
“Kantin yuk ag..” ajak ify saat bel istirahat berbunyi.
“Enggak deh fy, gue enggak laper, gue mau jalan-jalan aja lihat-lihat sekolah ini”
“Hmm..sebenernya gue sih pengen nemenin lo ag, tapi..”
“Ify !” ify dan agni sama-sama menoleh ke arah pintu.
“Lho kka, kamu kok sendirian ?” tanya ify sambil celingak-celinguk.
“Dia enggak mau ikut” sahut cakka. “Tenang fy, entar kita susulin dia, oke..” sambung cakka lagi ketika ify memberikan tatapan yang berbeda untuknya.
“Ehem..” sela agni yang merasa di kacangin.
“Eh iya sampai lupa gue, ag kenalin ini cakka, kka kenalin ini agni, dia ini cowok gue ag”
“Agni. Oh pantes, ya udah deh gue enggak mau ganggu, gue duluan ya” kata agni sambil meninggalkan mereka berdua di dalam kelas.
Dari pinggir teras kelasnya, agni mengamati sekolah barunya. Sesungguhnya ia juga tidak mengerti, harus kemana ia sekarang. Tapi rasa penasaran ingin mengetahui tentang sekolah barunya, membuat agni mulai menyusuri lorong-lorong koridor sekolahnya. Melihat setiap ruangan yang ia temui.
Langkah kakinya berhenti di sebuah ruangan. Selain karena nama yang tertera di depan pintu ruangan itu, apa yang dia lihat ada di dalam ruangan itu juga menarik minat agni. Sepelan mungkin agni masuk ke dalam ruangan itu, matanya menatap lurus ke arah satu sosok di hadapannya.
Seorang laki-laki duduk membelakanginya. Ia memangku gitar, tapi tidak memainkannya. Entah apa yang ia lakukan, tapi dari yang agni lihat, laki-laki itu hanya mengusap-usap tubuh gitar tersebut.
“Kok enggak dimainin gitarnya ?” tanya agni pelan. Tapi nampaknya orang tersebut betul-betul kaget dengan kehadiran agni. Ia membalik badannya dan melihat agni tajam.
“Siapa lo ?!” tanya orang itu ketus.
“Gue agni, anak baru disini” sahut agni sambil menyodorkan tangannya. Laki-laki itu tampak acuh tak acuh terhadapnya, ia tidak menyahut sodoran tangan agni. Agni menarik lagi tangannya, meski bingung, tapi agni tidak mau ambil pusing dengan hal tersebut.
Mereka berdua saling berdiam diri beberapa saat. Agni yang merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, berjalan ke arah gitar yang tadi di letakkan oleh laki-laki itu.
“Kok tadi gue lihat elo cuma megang-megang gitar doang ? kenapa enggak coba mainin ?” tanya agni dengan mata mengarah pada gitar yang ada di tangannya.
“Bukan urusan lo !” timpal orang tersebut ketus. Agni mengangkat kedua bahunya.
“Jreeng..”
“Jangan mainin gitar itu !!” raung laki-laki itu kencang.
“Lho kenapa ?” tanya agni heran, ia mengamati laki-laki tersebut, yang saat ini menatapnya lebih tajam ketimbang tadi.
“Gue bilang jangan mainin ya jangan dimainin !!”
“Alvin..” agni menoleh ke arah pintu, terlihat cakka dan ify berdiri disana.
“Sori ya ag, kka lo sama alvin keluar aja deh” ujar ify. Cakka menarik tangan alvin menjauh. Sementara ify mendekat ke arah agni.
“Dia temen lo ? kenapa sih tuh orang ?” tanya agni langsung.
“Maaf ya ag, namanya alvin, dia sebenernya baik kok, cuma agak ketus sedikit”
“Gue cuma mainin gitar ini fy, itu juga baru sekali petikan, eh dia langsung marah-marah gitu, aneh banget” cerocos agni, ify tersenyum tipis.
“Percaya deh sama gue, dia itu baik, asik buat dijadiin temen. Udah yuk kita balik aja ke kelas” agni mengangguk pasrah. Saat ia dan ify keluar, terlihat cakka dan alvin masih berdiri di depan pintu. Dan yang membuat agni kaget setengah mati adalah ketika alvin menghampiri dirinya.
“Gue minta maaf ya, gue enggak maksud buat ngebentak elo tadi, sori” ucap alvin tulus sambil tersenyum. Sungguh berbeda dengan beberapa menit yang lalu.
“Hah..oh..i..iya..enggak apa-apa kok”
Agni menatap punggung alvin yang berjalan bersama cakka di hadapannya. Kepribadian aneh yang di tunjukkan alvin padanya, entah mengapa malah membuat ada semacam perasaan kecil bernama penasaran yang tumbuh di dalam hatinya. Dan semakin agni menatap punggung tegap itu, senyum alvin saat meminta maaf padanya tadi, malah semakin tergambar semakin jelas di matanya.
“Ag, lo mau kemana ? kelas kita kan disini” panggil ify, karena tanpa sadar, agni terus berjalan mengikuti alvin.
“Eh iya, hehehe, abis sekolah baru, masih belom inget kelas sendiri gue fy” ujar agni beralasan, lalu bergegas masuk duluan, karena ia tidak mau ify melihat pipinya yang mungkin akan memerah.
***
Dalam kamar yang cahayanya sengaja ia gelapkan, alvin menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Matanya nanar menikmati suasana sepi yang ada di sekitarnya. Suasana yang terlalu sepi. Ia memejamkan matanya sejenak. Dan bahkan rasanya, desahan anginpun dapat ia dengar.
Jari jemarinya menggenggam handphonenya. Seperti malam-malam yang telah lalu, malam inipun, ia ingin berharap lagi, meski ia tahu, pada akhirnya nanti, ia akan menerima jawaban yang sama, kekecewaan.
Satu menit...lima menit...dua puluh menit...setengah jam..satu jam..dua jam. Tidak ada yang berubah dari layar lcd hpnya, tetap padam, tanpa satupun telpon atau malah sms untuknya.
Walau ini bukan untuk pertama kalinya, tapi rasa sesak itu tetap mencengkram hatinya kuat-kuat. Bukan rasa sesak yang dapat membuat napasnya tersengal-sengal, melainkan rasa sesak yang membuat seluruh sendi di tubuhnya merasa sakit. Sakit karena timbunan rasa keputusasaan yang mendalam dan terus terpupuk.
Alvin membenamkan wajahnya di dalam kedua tangannya. Meski tidak ada yang melihatnya saat ini, tapi tetap saja, ia tidak ingin selemah ini menghadapinya. Alvin melirik ke arah bagian lain kamarnya, ia berjalan ke arah meja belajarnya.
“Braakk !” dengan sekali sabetan oleh tangannya, alvin menjatuhkan semua yang ada di atas meja belajarnya. Serpihan-serpihan kaca dari frame foto berbaur dengan barang lain, berserakan di lantai kamar alvin.
***
Di bawah sinar bulan dan taburan bintang yang terang. Cakka dan ify duduk di ayunan berdua. Menikmati setiap waktu yang datang dan pergi. Menjalani semua yang memang harus terlewati.
“Aku ngerasa agni orang yang tepat” ucap ify membuka pembicaraan.
“Buat ?”
“Alvin”
“Maksud kamu ?” cakka merengkuh kepala ify, menyandarkannya dalam dadanya.
“Aku kangen alvin yang dulu kka, alvin yang dulu..” desah ify. Cakka mengusap lembut rambut ify.
“Aku juga, tapi apa kamu yakin agni bisa ?”
“Enggak tahu juga, tapi saat aku ngelihat agni, entah kenapa aku ngerasa senyumnya dia cocok untuk alvin. lagian, tadi aku mergokin agni terus-terusan ngelihatin alvin gitu”
“Ya kita lihat aja nanti ya, aku juga pengen alvin kaya dulu lagi, walaupun aku tahu, semua enggak akan pernah sama, tapi aku juga kehilangan dia yang dulu” ify melingkarkan tangannya di tubuh cakka. Ia tahu, cakka jauh lebih kehilangan alvin dibanding dirinya. Cakka lebih mengenal alvin ketimbang ify. Cakka telah menghabiskan waktu berdua bersama alvin, hampir seluruh umurnya.
“Kita pasti bisa, bisa bikin senyum alvin balik lagi kaya dulu, walau cuma sekali, tapi kita pasti bisa” ujar ify yang lebih untuk memotivasi dirinya sendiri. Cakka mengangguk pelan. Membahas tentang alvin, selalu membuat ada rongga yang muncul dalam tubuhnya. Tempat kosong, yang dulu diisi tingkah laku mereka berdua, kenangan-kenangan yang tidak dapat ditukar oleh apapun.
“Drrtt..drrrtt..drrrrtt..”
“Alvin..” ify langsung menegakkan badannya, sementara cakka mengangkat telponnya.
“Halo..”
“Kka..” panggil ify pelan karena melihat raut di wajah cakka yang berubah. Cakka menutup telponnya, ia memandang ify lirih.
“Kenapa kka ?” tanya ify, karena perasaan tidak enak juga ikut-ikutan menyergapnya melihat gelagat cakka yang seperti itu.
“Kita harus ke rumah alvin sekarang” meski tidak tahu ada apa, tapi ify tahu, sesuatu mungkin telah terjadi. Dia merekatkan tangannya menggenggam tangan cakka, cakka tersenyum tipis, mereka berdua berjalan ke arah mobil, sambil saling menegarkan satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar