Jumat, 22 April 2011

Last part 8

Dalam keheningan suasana yang tercipta di antara mereka berdua. Rio dan dea sama-sama hanya saling berdiam diri satu sama lain. Mereka berdua duduk di tengah taman. Menikmati indahnya malam yang penuh bintang berdua.
Rio melirik ke arah dea, gadis manis di sampingnya itu nampak asik memandangi ribuan bintang yang memayungi mereka. Entahlah apa yang ada di dalam hatinya, tidak ada getaran sekencang saat dirinya bersama ify, tidak ada degup jantung yang berdetak cepat saat dirinya ada di samping dea. Tapi ia tidak dapat memungkiri satu hal, rasa nyaman akan sikap dea yang dewasa itu perlahan-lahan membuatnya betah ada di sisi dea.
“De..”
“Ya ?”
“Gue enggak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang ke ify” dea melihat rio lantas tersenyum.
“Lo sayang kan sama ify ?”
“Sayang tapi..”
“Kalo sayang bilang sayang yo, enggak usah pakai tapi” potong dea cepat. Rio hanya tersenyum.
“Dari awal gue ngelihat dia, gue udah tertarik sama dia, gue ngerasa dia orang yang paling tepat buat gue sayang. Gue suka dia yang pintar, dia yang penuh prestasi. Tapi sekian lama gue sayang sama dia dan berusaha menunjukkan rasa sayang itu, gue malah ngerasa dia semakin jauh”
“Kan lo sendiri yang pernah cerita ke gue, kalo kalian berdua saling sayang”
“Dulu emang sebelum dia pergi, dia bilang ke gue kalo dia juga sayang sama gue, tapi udah de, selesai sampai disitu, enggak ada kelanjutannya lagi, enggak ada satupun sikapnya dia yang menunjukkan kalo dia emang sayang sama gue, sampai tadi dia ngasih ini buat gue” rio menunjukkan syal biru miliknya dari ify.
“Kalo gitu lo tanyain lah yo ke ify, apa yang dia mau, apa yang dia maksud. Kalian enggak bisa berdiri cuma di atas kata-kata sayang tanpa ada ikatan apapun yang ada di antara kalian”
“Pengennya gue juga kaya gitu de, tapi dia selalu aja ngehindarin gue kalo gue mau ngebahas itu. Gue enggak tahu lagi apa yang harus gue lakuin”
“Perjuangin dia kalo emang lo mau perjuangin dia, kalo lo emang sayang sama dia, lakuin apa yang menurut lo bener”
“Terus kita ? orang tua gue ? orang tua lo ?” tanya rio bertubi-tubi, dea hanya tersenyum.
“Gue itu bukan model orang yang penuh mimpi yo, buat gue selama gue bisa ngejalanin hidup sama orang-orang yang gue sayang dengan nyaman, gue udah puas, udah cukup buat gue” rio terpaku sesaat, rasanya baru kemarin ia mendengar ify dan cita-citanya yang penuh semangat, dan kali ini, ia mendengar cita-cita dea yang sederhana dan jauh dari kata ambisius.
“Apa lo enggak punya cita-cita ?” tanya rio polos, membuat dea terkekeh.
“Punyalah yo, gue kan normal. Gue juga pengen jadi dokter kaya kedua orang tua gue, tapi gue juga pengen kaya nyokap gue, seorang dokter yang sukses tapi juga jadi ibu yang hebat buat gue, gue pengen kaya gitu” terang dea sambil tersenyum, rio ikut tersenyum bersamanya.
“Gue tetep aja masih bingung sama apa yang harus gue lakuin ke ify” desah rio.
“Lakuin apa yang hati lo bilang, jangan pikirin tentang kita yo, kalo lo mau jalanin berdua sama ify biar entar gue yang ngomong sama orang tua kita”
“Thanks de..” dea hanya mengangguk sambil tersenyum, senyum yang tulus, senyum yang entah mengapa langsung tersimpan di memori otak rio.
***
Di dalam kamar yang di dominasi warna pink itu, alvin memandangi shilla yang masih tertidur. Alvin menggenggam jari jemari shilla. Dengan sebelah tangannya yang lain, alvin mengusap lembut pipi putih shilla dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah shilla.
Alvin dan shilla sudah saling mengenal sejak lama, alvin telah lebih dulu mengenal rio, dan akhirnya rio mengenalkannya dengan shilla. Sejak saat itu, mereka bertiga sering bermain bersama, bahkan di awal alvin merasa lebih nyaman untuk menjadi kakak bagi shilla. Saat mereka masuk di sma yang sama, saat itulah alvin merasa ia melihat shilla bukan lagi sebagai seorang adek, melainkan sebagai seorang gadis cantik yang mampu mengikat hatinya.
Di mata alvin, shilla adalah sosok yang penuh perhatian. Alvin yang terbiasa hidup sendiri, jadi mulai tergantung dengan campur tangan shilla dalam kehidupannya. Banyak yang bingung atau malah bertanya-tanya, bagaimana bisa hubungan itu berjalan selama dua tahun tanpa satu masalah berarti. Padahal menurut alvin dan shilla, tidak ada rahasia khusus dalam hubungan mereka, hanya cukup bermodalkan rasa saling mengerti dan percaya satu sama lain.
“Vin..” panggil shilla pelan.
“Hei..udah bangun..” alvin tersenyum sambil mengusap-usap pipi shilla.
“Kok aku udah ada di rumah ?”
“Iya tadi aku bawa kamu aja pulang ke rumah. Kamu mau minum ?” shilla menggeleng, sambil berusaha menyenderkan kepalanya di kepala tempat tidur.
“Ify gimana ?”
“Udahlah shil..” alvin terlihat malas membahas hal tersebut, shilla hanya tersenyum melihatnya.
“Ify akhirnya tahu tentang rencana pertunangan dea sama rio vin, dan mungkin ify bener, aku enggak pantes ngaku sebagai sahabatnya, kaya gini sama aja aku nusuk dia dari belakang” shilla menggigit ujung bibir bawahnya sambil menunduk.
“Kamu enggak salah shil, kan rio sendiri yang minta kita enggak ngasih tahuin itu ke ify, kamu enggak salah shilla sayang..” hibur alvin.
“Tapi aku enggak mau nambahin masalah vin, baru kemarin via sama agni baikan, masa sekarang aku malah berantem sama ify”
“Lihat aku deh” dengan tangannya alvin menyentuh dagu shilla membuat shilla menatap matanya “Kamu enggak salah, masalah itu, masalah rio, ify sama dea, kita cuma orang yang luar yang enggak sengaja keseret dalam masalah ini”
“Aku pengen kita akur lagi vin, kaya dulu, ngumpul berdelapan, kita main lagi bareng, aku kangen kita yang dulu, aku kangen..” desah shilla pelan.
“Entar aku cari cara biar kita bisa ngumpul bareng lagi ya, sekarang mending kamu enggak usah banyak pikiran dulu, oke ?”
“Aku enggak apa-apa kok”
“Iya, aku juga tahu shilla..” ujar alvin sambil mengelus-elus rambut shilla.
“Udah malem vin, kamu pulang aja deh”
“Kamu ngusir nih ?”
“Haha, enggaklah, aku cuma enggak mau kamu kecapekan, akhir-akhir ini aku ngerasa kamu lebih kurusan deh. Makasih ya udah nungguin aku..”
“Ya udah deh aku pulang dulu ya..” alvin mengecup kening shilla singkat, shilla hanya tersenyum sambil mengangguk. Kemudian alvin langsung bergegas meninggalkan kamar shilla.
***
Panas matahari cukup terik siang ini, tapi tidak menghalangi alvin dan rio untuk terus bermain basket. Alvin memang sengaja mengajak rio bermain basket berdua dengannya, dia ingin meluruskan semua yang terjadi kemarin, dia enggak mau masalah ini jadi berlarut-larut dan akan berujung seperti iel dengan cakka.
“Istirahat bentar yo !” teriak alvin sambil berjalan menuju pinggir lapangan. Rio hanya mengikuti saja. Mereka berdua memilih duduk di bawah pohon yang teduh.
“Gue harap elo enggak salah paham sama perlakuan gue ke ify kemarin, gue cuma reflek ngelihat ify kaya gitu sama shilla” ujar alvin.
“Iya gue tahu kok, enggak ada masalah. Shilla baik-baik aja kan ?”
“Baik kok, cuma emang hari ini dia enggak sekolah dulu aja. Lo sendiri gimana sama ify ?” rio hanya tersenyum tipis sambil mengangkat kedua bahunya.
“Mau sampai kapan lo mau kaya gini yo ?”
“Kalo gue tahu apa yang harus gue lakuin, udah gue lakuin dari dulu kali vin”
“Lo tinggal ngomong sob ke ify, apa yang dia mau, apa yang lo mau, apa yang kalian mau. Lo tahu sendiri kan ify kaya gitu, dan udah enggak ada waktu juga kalo mau terus-terusan pasrah sama keadaan kaya gini. Ambil keputusan dong yo” rio hanya diam mendengar ceramah alvin.
“Jangan sampai hubungan gantung lo berdua ini bawa korban yo. Waktu lo cerita tentang pertunangan lo sama dea, gue diem aja, karena gue pikir, toh itu masalah lo, kapasitas gue cuma ngebantu lo saat lo minta tolong sama gue. Tapi kemarin, persahabatan shilla sama ify udah terancam gara-gara ini semua, dan gue enggak mau ngelihat itu semua tambah lebar yo” lanjut alvin lagi.
“Sori vin, gue enggak ada niat sama sekali buat bikin semua tambah runyam” ujar rio, alvin hanya tersenyum sambil menepuk pundak rio.
“Iya yo gue tahu, lo enggak ada maksud sama sekali. Tapi ini artinya tanda kalo lo harus mastiin status hubungan lo sama ify. Di masalah ini, gue enggak dukung siapa-siapa, lo mau terus sama ify ataupun dea, tapi tolong lo ambil keputusan, lo sendiri yang bilang waktu itu bakal nyelesein masalah ini sendiri”
“Sejujurnya sekarang gue mulai ragu sama ify vin, dan dea, yaa..she is a good listener”
“Jangan pernah jalanin hubungan untuk sebuah pelampiasan yo. Putusin pakai hati..”
“Dan hati gue enggak jelas sekarang vin” sahut rio, alvin terkekeh mendengarnya.
“Gimana perasaan lo sekarang sama ify ?”
“Ify, kaya yang selama ini lo tahu, gue sayang sama dia, mungkin gue orang yang paling ngarepin dia balik kesini, orang yang paling rajin ngirimin dia surat, gue orang yang...”
“Perasaan lo yo, gue tanya perasaan lo ke dia” sela alvin.
“Iya itu perasaan gue ke ify vin” ujar rio bingung.
“Itu namanya bukan perasaan yo, itu sesuatu yang lo lakuin buat mempertahankan dia, buat milikin dia. Lo masih sayang sama ify ?”
“Ma..sih kok” alvin tersenyum tipis mendengar keraguan yang ada di nada suara rio.
“Lo sanggup milikin dia ?” rio tertegun sesaat mendengar pertanyaan alvin. Sebenernya itu adalah pertanyaan yang mudah untuk rio yang selalu mengaku menyayangi ify. Tapi mengapa sekarang rio malah sulit menemukan jawaban yang tepat. Sanggupkah ia, terus mencintai ify yang cuek, yang penuh cita-cita, yang ambisius, yang tidak pernah mau menunjukkan rasa sayangnya secara langsung.
“Enggak usah dipaksain yo, jawaban itu ada di dalem hati lo kok” ucap alvin sambil tersenyum mengerti ke arah rio.
“Sekarang gimana dengan dea, sejauh apa lo nyaman sama dia ?” tanya alvin lagi.
“Dea, dia itu sebenernya menarik, sederhana, simpel, kadang terlihat terlalu pasrah tapi sebenernya dia cuma model orang yang, pelan-pelan asal semuanya bisa terlaksana, pendengar yang baik, teman yang menyenangkan”
“Rasa nyaman yo, senyaman apa lo sama dia ?”
“Senyaman gue ada di deket orang yang udah lama gue kenal” jawab rio terlihat yakin.
“Cuma satu yang gue bisa bilang ke elo, jangan sekalipun entar lo nyesel dengan pilihan lo” rio mengangguk mendengar kata-kata alvin, entahlah tapi ia merasa ada sesuatu yang bisa ia tangkap dari pembicaraan ini.
“Gue cariin daritadi ternyata kalian disini”
“Kenapa vi ?” tanya rio bingung, melihat via tiba-tiba menghampiri mereka berdua.
“Gue mau minta tolong sama lo berdua, eh cakka mana ?”
“Cakka ada di rumahnya kali, minta tolong apa ?” sahut alvin.
“Ya udah deh, kalian aja dulu..” via mengeluarkan kamera digitalnya.
“Lo mau foto kita vi ?” tanya rio lagi, via hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum.
“Lagi jelek nih kita vi, keringetan abis basket, lagian buat apa sih ?”
“Udahlah, entar juga tahu buat apa. Sini-sini ayo..” via menarik-narik alvin dan rio, mengatur gaya mereka berdua.
“Via ini mau apa ?” rio mengulang pertanyaan yang sama.
“Nurut aja deh ! alvin sini dong, eh lo kurusan ya ?” alvin hanya mengangkat bahunya, pasrah via menarik-narik dan mengatur dirinya dan rio.
***
Menikmati tiupan angin yang berhembus sepoi-sepoi, iel duduk di atas kap mobilnya. Memandangi pemandangan indah di depannya, hamparan padang ilalang. Biasanya ia tidak sendiri menikmati ini, biasanya ada via disampingnya menemaninya, biasanya ia dan via akan menghabiskan waktu mereka berdua disini.
Bukan inginnya beberapa hari ini, iel menjadi antipati terhadap via. Dia hanya ingin sedikit saja, via dapat mengerti apa yang ia rasakan, sedikit saja via bisa memahami apa yang selama ini ia lakukan untuk via. Iel tahu pasti, rasa sayang itu masih tersimpan utuh hanya untuk via seorang, cepat atau lambat dia akan memperbaiki semuanya dengan via.
Ia juga mulai merasa jengah dengan masalahnya bersama cakka yang tak kunjung usai. Diam-diam ia juga merindukan saatnya ia bisa bermain bersama lagi dengan cakka, formasi lengkap berempat. Lagipula mereka bukan lagi anak kecil yang harus selalu kucing-kucingan hanya untuk sebuah masalah salah paham seperti ini.
Iel mendesah napasnya perlahan “gue harus ketemu sama cakka sekarang”.
Dengan kecepatan normal, iel mulai memacu mobilnya, dan sekitar tiga puluh menit kemudian, ia sudah sampai di depan rumah cakka. Iel langsung turun dari mobilnya, ia sudah siap apapun yang akan cakka lakukan padanya. Tapi tubuhnya langsung terasa terpaku, terdiam membisu di tempatnya, ia berusaha meyakinkan penglihatannya, dan itu semua memang nyata. Tanpa basa-basi, iel langsung berbalik dan kembali ke mobilnya.
“Ayo dong kka, senyum dong. Gayanya jangan kaya gitu terus” samar-samar suara via masih terdengar jelas olehnya.
***
Setelah meyakinkan hatinya, rio memantapkan dirinya untuk menemui ify. Malam ini, dia harus meluruskan semuanya, memastikan apa yang akan dia dan ify ambil, menjelaskan semua yang telah terlanjur terjadi.
Berkali-kali rio mengetuk pintu rumah ify, tapi tidak ada satupun sahutan untuknya. Rio juga berusaha untuk terus menghubungi ify, tapi ify selalu mereject telponnya, malah yang terakhir, hp ify tidak lagi aktif. Namun bukan berarti rio menyerah, malam ini dia sudah bertekad, untuk menyelesaikan semuanya.
“Maaf mas, mbak ifynya enggak ada di rumah” tiba-tiba pembantu ify keluar.
“Pergi kemana ya ?”
“Kurang tahu mas”
“Oh ya udah, saya bolehkan nunggu disini ?”
“Eh..mas tapi..”
“Enggak apa-apa, saya nunggu disini aja” rio merasa yakin bahwa ify ada didalam rumahnya. Dia memutuskan untuk menunggu di depan teras rumah ify.
To : alyssa’ify’
Fy, gue tahu lo ada di rumah
gue enggak mau maksa, tp gue hrp lo mau keluar fy
kita hrs obrolin smua ini, lo ga bs terus hndarin gue
Rio terus menunggu ify, meski malam terus beranjak menuju malam. Tangannya menggenggam syal biru yang kemarin ify lemparkan untuknya. Satu-satunya benda yang ify berikan untuknya. Sesuatu yang sesungguhnya, bukan gambaran seorang ify. Sesuatu yang malah membuat rio bingung dan merasa tambah tidak mengerti akan kepribadian gadis itu.
“Mas ini..” pembantu ify yang tadi keluar lagi, dan memberi rio sebuah kertas yang telah dilipat.
“Ini apa ?”
“Enggak tahu mas, tapi katanya mas pulang aja” kemudian rio kembali ditinggalkan sendirian. Rio memandangi secarik kertas di tangannya itu, hanya ada sepotong kalimat di atasnya, rangkaian kata tulisan tangan ify yang sangat di kenalnya.
Gue masih pengen sendiri, sorry.
Dalam kesunyian malam, rio sadar penantiannya kali ini belum berhasil, tapi bukan berarti ia akan berhenti. Ia telah berniat untuk membuat semuanya jelas. Rio berjalan ke arah depan rumah ify, ia menengadahkan kepalanya, melihat ke arah jendela kamar ify yang terletak di lantai dua. Lampunya telah padam, tapi sekali lagi rio yakin, ify masih terjaga dan sedang mengamati dirinya. Rio tersenyum sekilas, dengan langkah gontai ia kembali ke dalam mobilnya.
Dari pinggir ambang jendelanya, ify memperhatikan rio, yang sedang memandang tepat ke arah dirinya sedang berdiri. Ia dapat melihat rio yang tersenyum dan kemudian berlalu ke arah mobilnya. Entah untuk apa, tapi setetes air mata turun membasahi pipinya. Ify beranjak duduk di atas ranjangnya.
Belum pernah seumur hidupnya hingga saat ini, hatinya terasa perih dan sakit. Rasanya berbeda dengan kekalahannya dalam suatu lomba. Rasa sakit itu lebih menusuk, terasa mengiris ulu hatinya, membuat air matanya meleleh, membuat dirinya merasa lemah, membuat semua kekuatannya serasa menghilang. Inikah yang dinamakan patah hati ?
Dalam diam, ify memperhatikan foto rio yang ia selipkan di dalam bukunya. Ia menyukai rio, ia tidak akan mengingkari hal itu. Dari awal shilla mengenalkan rio padanya, ify sudah tertarik, pada senyum manis rio, suara lembut yang rio miliki, cara rio memperhatikannya, semuanya.
Tapi ify memang seorang ify. Seorang perempuan dengan sejuta impian yang ia miliki, dan mimpi untuk menghabiskan waktunya bersama rio, bukanlah mimpi yang terletak di urutan pertama. Dan kini, saat sebuah kenyataan hadir di depan matanya, mengapa rasa sakit itu tetap muncul ?
Teringat waktunya saat ia merajut syal biru itu untuk rio, setiap malam sebelum ia beranjak tidur. Saat itu, ia pikir ia melakukan itu hanya karena sekedar keadaan teman-teman di sekitarnya yang melakukan hal yang sama. Tapi hingga saat ini, ify masih bisa mengingat dengan jelas, setiap helai benang yang ia rajut membentuk sebuah simpul dan menghasilkan sebuah syal, apakah ini pertanda ia membuat itu dengan penuh cinta.
Ia tahu, ia harus menemui rio dan membicarakan semuanya. Tapi bukan saat ini, bukan karena ia ingin mengulur waktu. Tapi karena ify, tidak ingin terlihat lemah di depan rio, tidak ingin terlihat lemah di mata laki-laki.
Ify mencoba memejamkan matanya, ingin melelapkan raga dan jiwanya sejenak. Meski bayang-bayang wajah rio terus terasa mengikutinya. Sedikit berharap, bila esok ia terbangun, masa lalu hanyalah bagian dari bunga tidurnya, atau bila itu terlalu muluk, ify hanya berharap, saat dirinya terbangun esok, ia telah menemukan kemantapan hatinya untuk ia sampaikan pada rio.
***
Keringat dingin membasahi tubuhnya, padahal ia telah berlindung di bawah selimutnya yang tebal. Seperti ada yang terasa mengganjal dalam tubuhnya, ia memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidurnya. Dengan sedikit pusing dan tertatih-tatih, ia berjalan ke arah kamar mandi.
Suara air dari kran wastafelnya langsung menemani kesepian yang dari tadi ada di sekitarnya. Beberapa kali ia membasahi mukanya, kemudian ia menatap pantulan dirinya di kaca. Sedikit bingung karena wajah itu terlihat pucat. Dan tidak sampai beberapa detik kemudian, semua terasa berat, pantulan di kaca yang semenjak tadi ia lihat menjadi berbayang, tiba-tiba semua semakin buram, dan gelap.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar