Sabtu, 07 Mei 2011

Cinta Diam-Diam Part 1

Bias-bias matahari, menjadi alarm alam untuk membuka mata di pagi yang cerah ini. Begitu juga dengan gadis itu. Sejenak ia memandangi sekelilingnya. Semua nampak baru dan asing baginya. Namun sedetik kemudian ia tersadar, sejak semalam, hidupnya telah berubah.

Ia tidak lagi ada di kamarnya yang tidak terlalu besar, dengan cat ungu muda serta gambar kupu-kupu di dindingnya, tidak lagi mendapati burung kecil yang suka bertengger di jendela tepat di samping tempat tidurnya, dan tidak lagi tidur di ranjang ukuran satu orang yang penuh oleh boneka-bonekanya.

Kamar barunya ini, dua atau malah tiga kali lebih besar. Dindingnya berwarna gradasi pink tua dan pink muda. Walpaper bermotif bunga menambah kesan kelembutannya. Tempat tidurnya bisa menampung tiga orang sekaligus. Satu set peralatan elektronik lengkap tersedia disini. Ia bahkan mempunyai telepon sendiri di kamarnya. Dan kamar mandi pribadi beserta lemari-lemari pakaian besar yang mampu memuat beratus-ratus lembar baju tentunya.



Bila di bayangkan, semuanya memang terasa menyenangkan. Tapi tetap saja, sekuat apapun ia mencoba, rasa takut dan gusar itu masih saja menyelinap di dalam hatinya.

“Tok..tok..”

Sedikit kaget dengan ketukan di pintu, ia segera merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, dan beranjak membuka pintu. “Ada apa ?”

“Waktunya sarapan, ayo turun ke bawah..”

“Ehm..duluan aja, gue mau cuci muka dulu..” lawan bicaranya itu hanya tersenyum sambil mengangguk mengerti. Ia kembali masuk ke dalam kamarnya, dan menuju kamar mandinya. Lima menit kemudian, ia segera turun ke bawah, menuju ruang makan.

“Baru bangun ya git ? ayo sini sarapan dulu. Mama kamu udah masak nasi goreng yang enak lho..” semua yang ada disana menoleh ke arahnya, tersenyum ramah.

Langkahnya terhenti, ada perasaan ragu yang tiba-tiba menjalar dalam hatinya. Tidak maju dan juga tidak berbalik. Ia terus saja diam di tempatnya.

“Ayo sini gita, kita sarapan dulu..” gadis cantik yang tadi juga menemuinya di kamar, menghampiri dirinya, menggandeng lengannya, dan mengajaknya duduk tepat di samping kursinya.

“Kamu gimana sih git, kok baru bangun ? acha sama alvin aja udah bangun dari tadi”

“Udahlah ma, mungkin gita capek. Semalem kan semua acara baru selesai jam 11 malam” entah kenapa, ketika mendengar laki-laki itu memanggil mamanya dengan penuh perasaan seperti tadi, lagi-lagi rasa yang
aneh muncul dalam hatinya. Sehingga ia hanya bisa tersenyum tipis.

Sarapan pertama keluarga baru ini, berjalan dengan hangat dan menyenangkan. Papa, acha dan alvin sibuk melontarkan pujian untuk nasi goreng buatan mama. Gita sendiri hanya ikut tersenyum. Meski sejak tadi, papa, acha ataupun alvin, selalu mengajaknya untuk ikut bergabung dalam suasana ini.

“Gita, selesai makan, kamu ikut papa ke ruang kerja ya, ada yang mau papa kasih buat kamu”

“Ehm..iya..” jawab gita singkat. Ingin ia menyelipkan kata ‘pa’ dalam kalimatnya tadi, hanya saja, lidahnya masih enggan untuk melakukan itu.

“Wah, gita mau di kasih hadiah ya pa ? aku juga dong..” celetuk Acha.

“Ih, ikut-ikutan aja lo” sambung Alvin.

Acha melirik ke arah kakaknya. “Biarin..wee..” ujarnya sambil menjulurkan lidah.

“Lo jadi cewek kaya gita gitu dong, kalem, jangan melet-melet enggak jelas gitu” cibir alvin sambil tersenyum jahil. Sementara, lagi-lagi gita hanya bisa tersenyum menanggapi hal itu.

Selesai makan, gita mengikuti papa barunya ke ruang kerja, sesuai dengan apa yang diminta tadi. Sesekali gita memperhatikan rumah ini. Semuanya terasa berbeda jauh dengan rumahnya yang dulu. Rumah sederhana yang hanya diisi gita, mama dan papa. Dan belakangan, yang hanya di tempati oleh gita dan mama sejak papa meninggal. Rumah tanpa kolam renang, tidak bertingkat, yang hanya memiliki garasi dengan satu mobil. Tapi rumah yang selalu membuat gita nyaman.

“Duduk git..” gita mengikuti intruksi papanya untuk duduk di sebuah kursi empuk berbahan kulit. Tampak papanya mengeluarkan sesuatu dari dalam laci meja kerjanya.

Papanya duduk di hadapannya sambil tersenyum. “Ini buat kamu..”

Gita menerima tas kertas berwarna coklat yang diangsurkan kepadanya. Agak berat. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sana. Sesaat dahinya tampak berkerut melihat apa yang papanya berikan. Gita mengangkat wajahnya, menatap papanya.

“BB ?”

“Iya, buat kamu, kamu suka kan ?”

Bohong bila gita bilang, ia tidak suka dihadiahi BB secara cuma-cuma seperti ini. Tapi sejurus kemudian, ia mengingat, hape yang selama ini sudah menemaninya. Yang memang kalah canggih dari BB baru ini, hanya saja hape itu adalah hadiah ulang tahun dari papanya.

Papa memperhatikan gita yang nampak ragu-ragu dengan pemberiannya. “Kamu enggak suka ya git ?”

“Bukan gitu, tapi..”

“Tapi ?”

“Hape gita yang lama, hadiah dari papa gita, gita..”

“Papa kasih hape itu ke kamu, bukan berarti kamu harus buang hape kamu yang lama gita. Kamu kan bisa beli nomer baru. Malah bagus dong, kalau hape kamu dua, dari papa sama dari papa kamu” potong papanya, mengerti maksud gita.

Gita tersenyum senang. “Makasih..pp..p..”

“Kalau kamu belum bisa, papa enggak akan maksa kamu, buat manggil papa” potong papanya lagi. Gita mengangguk. Ia tahu sikapnya agak kurang sopan. Mengingat acha dan alvin, telah memanggil mamanya juga dengan sebutan mama. Hanya saja, ini tidak semudah kelihatannya. Gita pamit keluar, ingin kembali ke kamar. Lagipula dia kan belum mandi.

“Hai git..” kak alvin menyapanya, dan seperti biasa, gita hanya bisa tersenyum.

“Lo masih belum terbiasa ya tinggal disini ? lo masih belum bisa nerima keputusan mama ?” gita terdiam. Nada suara alvin, membuatnya berpikir bahwa ia telah kelewatan dalam bersikap.

“Ma..maaf kak..gue..”

Alvin melihat gita, tidak mengerti mengapa gita jadi meminta maaf padanya. “Lho, kenapa git ? lo enggak salah apa-apaan sama gue”

“Tapi tadi, pertanyaan kakak, bikin gue sadar, mungkin sikap gue emang terlalu egois” jawab gita polos. Alvin terkekeh mendengarnya.

“Ada yang salah kak ?”

“Lo salah paham git, ayo ikut gue” ajak alvin sambil menarik tangan gita. Tidak bisa menolak, gita hanya bisa pasrah mengikuti alvin yang mengajaknya ke gazebo samping kolam renang.

“Gue tuh enggak marah sama lo kali git. Mau marah buat apa juga ? gue cuma nanya, apa elo enggak benar-benar setuju sama keputusan mama ?”

Gita tersenyum kecil. “Bukan enggak setuju kak. Tapi semua terlalu cepat buat gue, papa baru meninggal satu setengah tahun lalu, dan mama udah mutusin buat nikah lagi. Semua enggak gampang buat gue. Gue enggak siap sama perubahan secepat ini”

Sepanjang alvin mengenal gita. Baru kali ini, ia mendengar gita berbicara sepanjang ini. Biasanya gita lebih banyak tersenyum, dan kalaupun bicara, paling hanya satu dua kalimat pendek yang keluar dari bibirnya.

“Enggak cuma elo kok yang ngerasain itu, gue sama acha juga gitu” alvin tersenyum ke arah gita. “Mama gue udah meninggal, sejak acha umur setahun. Kita terbiasa tinggal bertiga, ya kecuali lo ngitung supir sama pembantu di rumah ini. Sampai suatu hari, papa nanya apa kita bakal ngasih ijin, kalau dia mau nikah lagi.
Prosesnya enggak gampang juga, terutama acha, dia sempet ragu juga kaya lo gini. Sampai akhirnya, awal tahun ini, papa ngenalin mama ke kita berdua. Dan hal pertama yang kita sama-sama lihat, adalah tawanya papa saat sama mama kamu, dan ketulusan mama yang enggak dibuat-buat” lanjut alvin.

“Beberapa hari yang lalu, waktu pernikahan mama sama papa, bakal berlangsung. Acha juga masih ngungkapin kekhawatirannya ke gue. Apalagi dengan stereotip yang ada, ibu tiri cuma cinta sama anaknya aja, dan bakal ngabisin harta suaminya. Tapi saat itu, gue mencoba untuk ngeyakinin acha, kalau mama bukan ibu tiri kaya gitu. Dan memang kenyataannya kaya gitu kan ?”

“Iyalah kak, gue yakin, mama enggak akan jadi ibu tiri yang kejam kaya di sinetron” timpal gita yakin.

“Nah sekarang, gue juga mau bikin lo percaya, kalau papa, bukan papa yang bakal pilih kasih sama anak-anaknya. Gue jamin, papa bakal sayang sama elo, kaya dia sayang sama gue dan acha”

Sambil melirik tas kertas yang gita letakkan di sampingnya, gita menyetujui perkataan alvin. Sejak mamanya, memperkenalkan gita dengan keluarga alvin, gita sudah bisa merasakan bahwa calon papa dan saudara barunya, adalah orang-orang yang baik. Hanya saja sekali lagi, menerima ini semua sekali kedipan mata bukanlah hal yang mudah.

“Gue tahu, sikap gue enggak sopan kak. Kakak sama acha, udah manggil mama ke mama gue, tapi gue masih belum bisa buat ngelakuin hal yang sama. Gue sendiri enggak tahu kenapa, tapi rasanya lidah gue beku, kalau mau ngelakuin itu”

Alvin tersenyum ke arah gita. “Gue pernah denger, kalau elo sama almarhum papa lo, emang deket banget ya ?”

Gita mengangguk. “Papa yang ngajarin gue banyak hal. Papa selalu ngajak gue ke tempat-tempat baru kalau gue lagi libur. Dia selalu ada buat gue. Waktu papa mulai sakit, gue juga enggak pernah absen buat nemenin papa. Makanya kehilangan papa, adalah kehilangan terbesar buat gue” ujarnya lirih.

“Papa lo, bakal selalu jadi papa lo, sama kaya mama gue, mereka enggak akan terganti. Tapi bukan berarti, kita harus terus-terusan mengenang mereka dengan cara seperti ini kan. Kita harus move on. Dan itu semua bakal lebih mudah kalau kita saling melengkapi satu sama lain”

Apa yang alvin bilang, memang benar. Gita mencoba menanamkan kata-kata itu dalam hatinya. Berusaha membuat hatinya percaya bahwa tidak ada satu halpun yang patut ia takuti. Tuhan telah memilihkan keluarga baru yang tepat untuknya, dan seorang kakak laki-laki yang perhatian padanya.

Alvin meraih gitar, yang sejak tadi bersandar diam di tiang gazebo. Ia mulai memetik senar-senar gitar satu persatu.

“Kak, makasih ya, gue ngerasa lebih baik sekarang”

“Sama-sama, udah jadi tugas gue sebagai kakak..” sahut alvin sambil mengacak-ngacak poni gita. “Eh spesial nih, lagu buat adek baru gue..hehe..”


When you're down and troubled
And you need a helping hand
And nothing, nothing is going right
Close your eyes and think of me
And soon I will be there
To brighten up even your darkest night

You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I'll be there, yeah, yeah, yeah.
You've got a friend


Gita menikmati permainan alvin. Ternyata selain perhatian dan tampan, kakaknya ini juga mempunyai suara yang bagus. Pantas saja, di sekolah mereka, banyak anak perempuan yang mengidolai sosok alvin.

If the sky above you
Should turn dark and full of clouds
And that old north wind should begin to blow
Keep your head together
And call my name out loud, yeah
Soon I'll be knocking upon your door

You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running, oh yes I will
To see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I'll be there, yeah, yeah, yeah.

Ain't it good to know that you've got a friend
When people can be so cold
They'll hurt you, and desert you
And take your soul if you let them
Oh yeah, but don't you let them


Di tengah-tengah lagu, sebuah suara lain yang juga lembut, menimpali suara alvin. Gita dan alvin sama-sama menoleh dan menemukan acha sebagai sumber suara. Seperti memang sudah menjadi hal yang biasa, acha dan alvin langsung berduet dengan kompak.

You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I'll be there, yes I will.

You've got a friend
You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running to see you again (oh baby don't you know)
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
Lord, I'll be there yes I will.
You've got a friend


“Kalian berdua keren..” puji gita tulus.


“Haha, makasih ya git..” sahut alvin.


“Woo, kalian berdua curang nih, ngobrolnya berdua doang, enggak ngajak gue” protes acha.


Gita jadi merasa tidak enak, ia tidak mau di cap perebut kakak orang. “Eh maaf cha, tadi kak alvin yang maksa gue ikut dia..”


Acha terkikik pelan. “Santai git, udah sering ini gue ngobrol sama dia, hehe. Oh ya, gue bantuin beresin kamar lo aja yuk, pasti barang-barang lo masih banyak di dalam koper kan ? sekalian kita ngobrol-ngobrol”


Perkataan acha, membuat gita teringat dengan barang-barang dan setumpuk kardus yang masih tertutup rapi di kamarnya.


“Eh boleh deh cha, ayo..”


“Ya udah, gue juga mau cabut ke tempat shila. Pamitin ke papa sama mama ya” acha dan gita kompak mengangguk ke arah alvin yang beranjak pergi. Dan setelah itu, mereka berdua juga langsung menuju kamar gita.


“Seneng deh, besok kita bisa berangkat bareng ke sekolah” ujar acha sambil membantu gita menata baju-bajunya ke dalam lemari. Gita hanya melempar senyum tipis, sambil melanjutkan pekerjaannya.


Suatu kebetulan memang, gita, acha dan alvin bersekolah di tempat yang sama. Dan bukan hal susah untuk mengenal acha dan alvin. Dua orang yang termasuk jajaran murid-murid populer di sekolah mereka. Bukan seperti dirinya, yang hanya murid biasa-biasa saja, yang tidak bergabung dengan organisasi seperti osis, dan tentu saja hanya di kenal oleh segelintir orang yang pernah sekelas dengannya. Itu sebabnya, gita tidak heran waktu acha berkali-kali bertanya padanya bahwa mereka satu sekolah, karena meski seangkatan, acha merasa tidak pernah bertemu gita.


“Gue masih malu sendiri deh, kalau inget, dulu gue enggak yakin kita satu sekolah. Berasanya gue belagu banget ya, sama temen seangkatan sendiri padahal” celoteh acha lagi.


“Kita kan emang enggak pernah sekelas cha, wajarlah”


“Iya tapi tetap aja gue malu. Kesannya gue sok eksis banget gitu, hehe..”


“Tapi emang elo eksis kan cha ? anak osis, cheers, cantik, banyak yang suka”


Acha tertawa mendengar kata-kata gita. “Gue anggep itu pujian ya git. Tapi jangan samain gue sama anak-anak sombong lainnya ya. Kalau lo ngeliat gue kaya gitu sih, ya gue seneng-seneng aja, tapi kenyataannya gue enggak pernah minta jadi terkenal kok. Gue aja kadang masih bingung kalau ketemu orang di kantin dan dia nyapa gue walaupun kita enggak kenal”


“Eh iya cha, gue tahu kok elo enggak sombong” sahut gita sambil tersenyum. Ia memperhatikan lemarinya, 
yang bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi, karena spacenya yang masih tersisa banyak, padahal sudah hampir semua baju yang ia bawa ia masukkan ke dalam lemari.


“Kosong banget ya cha lemari gue ?”


“Nanti juga banyak git isinya, kalau enggak besok pulang sekolah, kita belanja aja yuk..” tawar acha semangat.


“Eh tapi...” gita merasa uangnya tidak cukup banyak. Apalagi yang ada di bayangannya, standar toko yang akan didatangi acha, pasti yang menjual barang-barang mahal.


“Kenapa ? papa belum ngasih elo kartu kredit ya ? entar gue mintain deh”


“Jangan cha..” cegah gita.


“Lho kenapa ?”


“Nanti dikira gue ngelunjak lagi, gue baru aja dikasih BB”


“Oh ya ? gue minta nomer pinnya dong. Biar kita gampang bbman. Santai kali git, papa memang bawain gue sama kak alvin kartu kredit, biar kita gampang kalau mau beli apa-apa”


Gita hanya tersenyum tipis. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia memang belum banyak mengetahui kebiasaan keluarga ini.


Acha memperhatikan gita, dan ia tersadar satu hal. “Eh maaf git, elo enggak tersinggung kan sama kata-kata gue barusan ? gue terkesan belagu lagi ya tadi ? maaf yaa..”  ujar acha sambil mengatupkan kedua tangannya.


“Eh, enggak kok cha, enggak apa-apa”


“Gue emang ceplas-ceplos gini git, jadi jangan heran ya”


Drrt..drrt..drtrttt. acha melihat Bbnya, raut wajahnya langsung berubah. “Git mau tolongin gue enggak ?”


“Apa cha ?”


“Angkatin telpon ini dong, terus bilang, guenya lagi enggak ada. Please..” pinta acha sambil menyodorkan bbnya. Meski bingung, toh gita tetap menerima bb itu juga. Sepintas ia melihat nama ‘mario’ di layarnya.


“Ha..halo..”


“Cha, acha. Aku mau ngomong sama kamu..”


“Ehm, maaf, ini gita bukan acha. Achanya lagi keluar, hapenya ditinggal di rumah”


“Gita ? kalau alvin ada ?”


“Enggak ada juga, kak alvin lagi pergi. Ada pesan ?”


“Enggak deh, bilangin aja, gue nelpon dia”


“Oh yaudah..”


“Thanks”


Klik. Acha tersenyum ke arah gita dan memeluknya. “Thankyou so much gita..”


“Ini rio yang anak basket ya ?”


Acha mengangguk. “Eh beresinnya udah selesai kan ? kita ngobrolnya di tempat tidur aja yuk”


“Kalian beneran pacaran ya ?” tanya gita lagi. Ia sering melihat acha berdua bersama rio di sekolah.


“Enggak tahu deh, panjang git ceritanya”


“Lho kok ?”


“Ya gitulah. Gue sama dia bisa dibilang lagi break”


“Ohh, kalau elo mau cerita, gue mau kok dengerin. Kak alvin sama kak shilla juga pacaran ya ?” gita berniat untuk mencoba aktif mencari tahu tentang keluarga barunya ini.


“Kalau mereka sih, enggak pernah pacaran. Tapi memang deket dari dulu. Makanya banyak orang yang ngira kaya gitu. Elo sendiri, punya pacar ?”


Gita hanya menggeleng sambil menyunggingkan senyum.


“Hmm..kayanya emang damai ya hidup tanpa pacar..” sahut acha. “Entar malam, gue tidur disini ya git, biar bisa cerita banyak ke elo. Tapi elo jangan heran kalau denger gue nyerocos terus..’


“Sip. Eh cha tahu enggak ?”


“Enggaklah, kenapa ?”


“Gue belum mandi lho..”


“Haha, sama gue juga. Tetap cantik ini git..hehehe..” gita hanya bisa ikut tertawa. Awal yang baik pikirnya. Segala rasa takut dan gusar itu, harus segera pergi dari hatinya. 


song = you've got a friend-mcfly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar