Jumat, 22 April 2011

Last part 5

Semilir angin yang berhembus perlahan tapi dinginnya menyerang hingga ke tulang serta bau khas dari tanah yang basah sehabis hujan, menemani agni yang sedang duduk sendiri di lapangan basket yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Tidak ada aktifitas lain yang ia lakukan selain bernafas dan berdiam diri. Bola basket yang ia bawa, malah ia acuhkan begitu saja di sampingnya, padahal sejak tadi sudah menggoda dirinya untuk segera bermain.
Basket. Sesuatu yang tidak pernah bisa di lepaskan dalam kehidupannya. Sesuatu yang membuatnya selalu terlihat gagah dan berbeda dengan teman perempuannya yang lain. Sesuatu yang tidak pernah bisa ia tinggalkan dalam kesehariaannya. Sesuatu yang membawanya terkenal dan berprestasi. Dan tentu saja, sesuatu yang mempertemukannya dengan cakka.
Cakka. Satu-satunya laki-laki yang pernah dan masih merebut hatinya. Satu-satunya laki-laki yang ia ijinkan untuk mengecup keningnya selain ayahnya. Satu-satunya laki-laki yang selalu bisa membuatnya bahagia. Dan satu-satunya laki-laki, yang bisa melemahkan dirinya seperti saat ini.
Dia sendiri tidak mengerti, bagaimana bisa akhir-akhir ini terlalu banyak air mata yang jatuh karenanya ? seistimewa itukah cakka bagi dirinya ? sedalam inikah perasaan yang telah terlanjur mengendap di hatinya ?
Lalu seperti apa ia di mata cakka sekarang ? apakah dirinya masih yang paling utama ? atau memang tidak ada lagi perasaan yang tersisa untuknya ? apakah ini akhir kisah mereka ? menepi sendiri, menjauh dalam ketidakjelasan yang pasti.
“Gue kangen elo cak..” gumam agni pelan, tidak peduli meski hanya angin yang mendengarnya. Dia menengadahkan  wajahnya, melihat awan yang gelap tanpa satupun bintang apalagi bulan. Hatinya berdesir, segala pertanyaan memenuhi pikirannya.
“Selalu ada disini..”
“Iel ?”
“Gue duduk ya..” agni hanya mengangguk, kemudian iel duduk di sampingnya, persis sama seperti kejadian kemarin.
“Ada apa ? gue udah tahu, gue enggak mau ada yang salah paham lagi” ujar agni.
“Gue minta maaf ya, gara-gara itu hubungan lo sama cakka jadi....” iel diam, ia bingung menemukan kata yang tepat, ia tidak ingin kata-kata itu semakin melukai agni.
“Hancur” timpal agni, iel tersenyum tipis.
“Bukan gara-gara lo kali, mungkin emang hubungan gue sama dia, udah cukup sampai disini aja..”
“Lo mau putusin dia ?” tanya iel langsung. Agni hanya mengangkat kedua bahunya.
“Jadi ?” iel menatap agni penasaran.
“Dia yang dulu minta gue jadi ceweknya, jadi biar dia juga yang ngambil keputusan soal hubungan ini” iel tertegun sesaat, mengapa sahabatnya ini terlihat begitu memasrahkan hatinya.
“Kenapa gitu ? kenapa elo terkesan pasrah, padahal kan lo kuat ?” agni terkekeh mendengar pertanyaan iel.
“Gue juga enggak ngerti, kenapa ya gue jadi kaya gini sekarang ? gue tahu, gue kehilangan diri gue yang dulu yang kuat dan enggak kenal cowok, tapi cakka dateng dan naklukin gue, gue dia buat enggak berkutik, gue sendiri juga bingung..” iel hanya diam mendengar penjelasan agni.
“Saat gue nerima dia, gue udah tahu gue nerima siapa, gue udah tahu gue jalan sama seorang cakka yang di gemarin banyak cewek, dan saat gue sadar gue udah sayang sama dia, gue tahu gue harus siap nerima semua resikonya” sambung agni lagi.
“Termasuk di sakitin berkali-kali kaya gini ?” lagi-lagi agni hanya terkekeh mendengar pertanyaan iel.
“Lo sendiri gimana sama via ?” agni malah melontarkan pertanyaan lain, dan iel paham, agni tidak mengijinkannya tahu lebih banyak dari ini.
“Pusing gue mikirnya, gue enggak tahu mau dia apa dan gimana, gue enggak ngerti, cewek terlalu susah buat diikuti dan ditebak jalan pikirannya. Gue cuma mau dia jadi milik gue seutuhnya, gue cuma mau jadi orang yang selalu ada di samping dia, jadi orang pertama yang diingat saat dia butuh, gue cuma mau dia tahu, kalo perhatian gue ke dia karena gue enggak akan sanggup kehilangan dia” curhat iel panjang lebar.
“Kalo cuma sekedar dengerin curhatan lo doang sih gue bisa yel, tapi kalo lo minta nasihat dari gue, lo salah orang, karena lo lihat kan, cerita gue sendiri aja berantakan..hehe..” ujar agni sambil menepuk-nepuk pundak iel, yang membuat iel mau tidak mau juga ikut tersenyum.
“Main basket aja yuk” ajak agni sambil menunjukkan bolanya yang dari tadi ia diamkan.
“Sip” sahut iel sambil berdiri. Lalu keduanya langsung asik bermain bola basket berdua.
Hujan telah reda sejak tadi, dan kini yang tersisa hanyalah kesepian dan kesunyian yang perlahan namun pasti mengepungnya. Via mengalihkan matanya ke handphonenya, sepi. Tidak ada satupun sms apalagi telpon yang masuk.   
Via menghela napasnya, mungkin sedikit udara segar akan membuat pikirannya sedikit merasa tenang. Ia meraih cardigan pinknya yang ia gantung di belakang pintu kamar, setelah pamit pada mamanya, via langsung berjalan-jalan keluar rumah.
“Kemana ya ? ehm, lapangan basket, agni pasti lagi main disana” via mengarahkan langkah kakinya menuju lapangan basket. Letaknya tidak begitu jauh dari rumahnya, dan seperti yang ia yakini, agni pasti sedang ada disana. Tubuhnya otomatis terdiam, matanya menatap lurus ke depan, melihat agni dan iel tampak akrab berdua.
Hatinya bertanya-tanya, ada apa ini ? pikirannya kacau, tanpa basa-basi, via langsung mempercepat langkahnya, mendekati mereka yang tampak asik berebut bola.
“Kalian tega !!” raung via cukup membuat iel dan agni berhenti bermain dan menatapnya.
“Vi, lo jangan salah paham, ini enggak kaya yang lo lihat” ujar agni sambil menghampiri via, tapi selangkah agni maju, selangkah juga via mundur.
“Stop ag, gue enggak butuh penjelasan. Berarti bener kata cakka !”
“Vi, dengerin dulu dong..” kali ini gantian iel yang berusaha menghampirinya.
“Jadi ini ? oke, makasih buat semuanya !!” tanpa sempat memberi iel ataupun agni kesempatan, via langsung berbalik dan berlari meninggalkan mereka.
“Kejar yel..”
“Ag..”
“Kejar via, dan gue rasa, kita enggak usah deket-deket dulu” agni mengambil bola basketnya dan membiarkan iel sendiri.
“Arghh ! sial !” umpat iel, sambil menendang batu-batu yang ada di sekitarnya. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan sekarang.
***
Rio memacu mobilnya dengan kecepatan yang jauh di atas rata-rata, pikirannya agak kacau saat ini. Kata-kata mamanya tadi, terasa bagai kaset rusak yang terus saja berputar di otaknya. Tidak butuh waktu lama, rio telah sampai ke tempat yang ia tuju.
Sambil melipat kedua tangannya di dada, rio menunggu dengan tidak sabar di depan pintu apartemen alvin. Untungnya sebelum kesabaran rio habis, alvin telah berdiri di ambang pintu apartemennya, dengan mata yang hampir tidak terbuka sama sekali, rambut acak-acakan dan hidung yang memerah. Tanpa menunggu di persilahkan, rio langsung ngeloyor masuk ke dalam, alvin cuma bisa geleng-geleng kepala maklum melihat tingkah sahabatnya tersebut.  
Layaknya di rumah sendiri, rio langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa alvin “Lo lagi sakit ya ?” rio menunjuk ke arah hidung alvin yang memerah.
“Flu..” jawab alvin singkat sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya. Rio yang niat awalnya kesini mau cerita sekaligus numpang tidur memutuskan buat ngekorin alvin ke kamarnya, meski ada kamar tamu yang biasa ia gunakan juga.
“Vin..” panggil rio sambil duduk di kursi kamar alvin.
“Hmm..” alvin sudah sembunyi di balik selimutnya yang nyaman.
“Gue mau cerita”
“Ya udah cerita..”
“Tadi gue ke rumah ify, rencananya sih mau ngajakin dia jalan, tapi malah hujan deres kan tadi, ya udah deh dengan terpaksa gue batalin acara jalan-jalannya. Terus gue akhirnya sama dia cuma duduk-duduk berdua di ruang tamunya, ngobrol-ngobrol gitu. Dan ya kaya biasa, dia selalu asik cerita soal aktifitasnya, enggak sekalipun dia ngarahin obrolan kita tentang perasaan. Belum lama gue ngobrol, eh nyokap gue sms, nyuruh gue ke rumah secepetnya, dengan berat hati gue tinggalin tuh ify, padahal gue masih kangen banget sob sama dia, dan lo tahu sampe rumah, gue...” rio diam, dia bingung kenapa alvin seolah enggak ngerespon dia sama sekali. Dia menoleh ke arah alvin, dan rasa gondok langsung menguasainya ketika dia menyadari alvin sudah terlelap dalam alam mimpinya.
“Capek-capek gue cerita sepanjang tadi dan elo asik tidur, baik banget lo jadi temen !!” sungut rio kesal sambil menghampiri alvin.
“Vin..eh panas banget..” rio yang tadinya mau maksa bangunin alvin, kaget sendiri waktu tangannya menyentuh badan alvin yang panas. Rio meraba kening alvin, dan dia yakin kalo alvin emang demam. Dia melihat jam tangannya, udah jam sebelas malem, enggak mungkin juga mau ngasih tahu shilla sekarang.
“Hmm, mau numpang tidur, gue malah jadi harus ngurusin elo..” gerutu rio sambil keluar kamar alvin, berusaha mencari termometer dan kompresan.
***
 Setelah kemarin meja mereka kehilangan dua personilnya, saat ini malah hanya tinggal dua personilnya saja yang duduk disana, rio dan shilla.
“Lo udah bilang semua yang gue pesenin ke alvin kan yo ?”
“Aduh shil, sekali lagi lo bahas soal alvin, gue tinggal nih” ancem rio yang mulai bosan.
“Sori, tapi gue kan khawatir..”
“Dia cuma demam shilla, jangan lebai oke ?” shilla hanya bisa mengangguk.
“Gimana agni sama via ?” tanya rio mengganti topik pembicaraan.
“Diem-dieman, enggak saling sapa, gue juga bingung deh”
“Sama aja berarti, cakka sama iel juga gitu” rio dan shilla menghela napas kompak. Terbiasa kumpul bareng-bareng dan kini hanya berdua, membuat mereka benar-benar merasa aneh.
“Oh iya, semalem ify sms gue dia bilang lo abis dari rumahnya dia, cie..” goda shilla.
“Enggak lama shil, tadinya gue mau ngajakkin dia jalan, tapi lo tahu sendiri kan kemarin itu hujannya deres banget. Jadi gue cuma ngobrol sama dia doang deh..”
“Ngobrol apa ?”
“Enggak banyak, kaya biasa..” shilla tahu apa yang dimaksud ‘kaya biasa’ sama rio.
“Ya, dia emang kaya gitu kan yo. Oh ya, lo kapan mau usaha lagi ke dia ?”
“Gue selalu usaha, tapi dianya enggak pernah ngerespon gitu”
“Dia itu sayang tahu sama lo, percaya deh sama gue” ujar shilla meyakinkan.
“Iya bukan gue enggak percaya, tapi gue enggak pernah ngelihat dia dikit aja, nunjukkin itu ke gue, gue harus gimana ?” shilla memandang rio prihatin, apa yang rio bilang memang benar, dan shilla juga tidak bisa berbuat jauh daripada itu.
“Terus dea ?” rio membelalakan matanya, ia jadi ingat tentang dea.
“Soal dea, gue mau cerita ke elo nih..”
“Apa ?”
Teng..teng..teng..
“Yah, udah masuk yo..” rio menghela napas kecewa, tapi kemudian ia tersenyum tipis.
“Ya udahlah kapan-kapan aja, ayo balik ke kelas” shilla hanya mengangguk lalu mengikuti rio berjalan menuju kelas mereka masing-masing.
***
Dengan sedikit terburu-buru, cakka menjejalkan secara asal buku-bukunya ke dalam tas. Gara-gara jam pelajaran terakhir yang membosankan, membuat cakka tertidur dengan sukses tanpa di ketahui gurunya, tapi sialnya ia baru bangun saat kelasnya sudah hampir kosong.
“Cak..” tanpa memandang siapa yang menepuk pundaknya, cakka langsung menampik tangan itu.
“Jangan kaya anak kecil dong cak, gue mau ngomong sama lo !”
“Ngomong apaan sih ?!” tanya cakka sewot. Iel menatap cakka tajam.
“Kita enggak bisa kaya gini terus cak, masa persahabatan kita yang udah bertahun-tahun jadi kaya gini cuma gara-gara salah paham” iel masih berusaha mengendalikan emosinya, rio sudah siap sedia untuk mencegah kemungkinan terburuk.
“Gue lagi enggak mood yel buat ngomongin ini”
“Terus kapan lo moodnya ? mau nunggu sampai kita jauh dulu ? sampai semuanya ancur ?”
“Udahlah, gue mau balik”
“Cak ! lo mikir dong, ini bukan cuma tentang lo ! ada gue, via sama agni juga di masalah ini” cakka mendengus kesal.
“Apa sih peduli lo sama hubungan gue sama agni ?! sepenting itu dia buat elo !”
“Ya ampun cak, agni temen gue, salah kalo gue peduli sama dia ?”
“Terserah lo deh, minggir gue mau pulang !” cakka memaksa iel buat memberinya jalan, iel ingin menahan cakka, tapi rio menariknya, memaksanya tetap diam.
“Dia tuh ya bener-bener deh !!” iel mengeluarkan semua emosi yang sudah di pendamnya sejak tadi.
“Biar entar gue yang ngomong sama dia” ujar rio menenangkan sambil menepuk-nepuk pundak iel.
***
Sambil berkali-kali melirik ke arah jam tangannya, shilla mencoba mengalihkan perhatiannya pada novel yang ada di tangannya dari tadi.
“Shilla ?” merasa namanya di panggil, shilla mengangkat wajahnya.
“Hai de..”
“Gue duduk ya” ujar dea sambil menunjuk kursi kosong di samping shilla.
“Duduk aja kali, ngapain disini de ? ada yang sakit ?”
“Enggak, nyokap gue dokter disini, gue lagi nungguin dia. Lo sendiri ?”
“Gue abis kontrol” ucap shilla sambil menunjukkan map yang dari tadi ada di pangkuannya, dea mengamati itu sesaat, lalu tersenyum.
“Oh elo pasien nyokap gue. Lagi nunggu hasil ya ?” shilla hanya menganggukan kepalanya. Lalu mereka berdua sama-sama hening, bingung mau membicarakan apa.
“De menurut lo, rio itu orangnya kaya apa ?”
“Kaya apa ya ? di mata gue dia baik, asik buat dijadiin temen, dewasa dan bijak”
“Kalo tentang hubungan lo sama dia ?” tanya shilla lagi.
“Ya biasa-biasa aja, kaya yang gue bilang, kemanapun hubungan ini bakal berujung, ya udah bakal gue ikutin. Gue enggak mau neko-neko atau terlalu banyak nuntut, tapi gue juga enggak mau pasrah gitu aja” shilla hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan dea.
“Lo punya pacar ? ehm..maksud gue, kaya rio sama ify ?”
“Pacar sih enggak, kalo temen ada. Sebenernya gue termasuk tipe cewek yang tertutup dan diem, kecuali sama temen-temen deket gue kali ya. Hidup gue cuma sekolah, rumah dan di tengah temen-temen gue. Gue enggak pernah mau maksa jalanin hidup..” shilla tersenyum, dia telah menemukan sesuatu yang unik dalam diri dea.
“Terus lo bakal pasrah aja di jodohin sama orang tua lo ? emang lo enggak mau nemuin pasangan sejati lo sendiri ?” layaknya seorang wartawan, shilla terus saja bertanya.
“Hidup kan harus realistis, bukan karena kita terbiasa denger tentang negeri dongeng dengan pangeran kuda putihnya membuat kita jadi banyak berkhayal. Kalo gue sih percaya, Tuhan udah nentuin jalan buat masing-masing umatnya, dan dalam masalah ini, gue bukan pasrah, gue cuma nerima apa yang ada di depan gue”
“Kata-kata lo dewasa banget ya..hehe..” dea ikut tersenyum bersama shilla. Dan dari pembicaraan ini, shilla merasa nyaman bertukar pikiran dengan dea, orang yang apa adanya, tidak begitu terlihat ambisius tapi juga bukan termasuk kumpulan orang pesimis.
“Oh ya shil, apa rio udah cerita tentang gue sama dia ?”
“Cerita yang mana nih ?”
“Ehm, kayanya belom ya ? ya udahlah biar dia aja yang cerita ke elo, itu bukan kapasitas gue”
“Lo malah bikin gue penasaran tahu enggak”
“Haha, entar juga lo bisa tanya ke rionya kan. Eh iya, tumben enggak sama alvin ?” shilla tertawa kecil, bahkan dea yang baru ditemuinya sekali saja, merasa aneh tidak melihat alvin di sampingnya.
“Dia lagi sakit..hehe..biasanya sih dia yang nganter. Abis ini gue mau ke tempatnya dia kok”
“Oh, salam ya buat dia..”
“Ashilla zahrantiara..” shilla menoleh ke arah suster yang memanggil namanya dari dalam loket pembayaran.
“Gue kesana ya de, seneng ngobrol sama lo..”
“Sama-sama, kapan-kapan lagi ya shil” shilla hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan dea.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar