Sabtu, 09 April 2011

Best Friends nd Love with Line part 22

Iel menatap ruangan osis, yang entah mengapa kali ini nampak begitu besar. Pernah ada saat-saat dimana, dia dan alvin menghabiskan waktu disini. Sibuk dalam tugas masing-masing, menyusun proposal ini itu, tapi satu yang selalu di ingat iel, alvin yang suka tiba-tiba keluar dan datang lagi udah bawa makanan atau sekedar minuman untuk mereka berdua.
"Gimana keadaan alvin yel ?" iel melirik ke arah via yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
"Masih sama aja vi"
"Sabar ya, kok belum pulang ?"
"Entar gue mau ke rumah sakit vi, tapi harus ada beberapa proposal yang di selesain, itu sebenernya tugasnya alvin"
"Proposal yang mana ?"
"Yang buat perayaan hari ultah sekolah vi"
"Itu kayanya alvin udah bikin deh, soalnya dia sempet bilang ke gue minta salinan rencananya. Kita cari yuk..." via tahu, daritadi iel hanya berdiri di depan ruang osis karena langkahnya berat, buat menuju mejanya alvin yang selalu tertata rapi. Iel dan via mulai mencari, di setiap laci dan folder-folder tempat-tempat yang memang di gunakan untuk menyimpan proposal.
"Alvin bilang, proposalnya dia bawa pulang yel.." via menunjukkan memo kecil yang tertempel di mejanya iel, dengan tulisan tangan alvin. Iel hanya mengambil memo itu, memandanginya sebentar, dan menaruhnya kembali di atas mejanya.
"Makasih ya vi. Mau ikut gue ke rumah sakit ?" tawar iel.
"Iya.." via menerima ajakan iel. Ingin rasanya via, bisa menenangkan hatinya iel yang ia tahu sangat kacau sekarang, tapi satu-satunya cara yang via bisa lakukan hanyalah menemani iel.
***
Nova menangis bergetar di pelukan acha. Acha cuma bisa mengelus-ngelus pundak sahabatnya itu, dia sendiri tidak mengerti apa lagi yang bisa ia lakukan, semuanya juga terasa begitu membingungkan untuknya.
"Udah dong nov, nova kan enggak cengeng.." hibur acha tulus. Nova memandang acha, yang sudah sejak tadi menemaninya, dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan hatinya, lalu menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.
"Kenapa gue baru tahu sekarang cha ? disaat semua udah kaya gini. Pantes, ada perasaan yang beda saat gue ngelihat kak alvin, saat dia ada di deket gue. Gue ngerasa kita deket banget, gue ngerasa dia selalu ada buat gue, dan ternyata dia emang selalu ada buat gue cha.." desah nova pelan.
"Kita kan sama-sama enggak tahu nov, kalo orang yang selama ini selalu perhatian sama lo itu kak alvin, lo kan enggak tahu apa-apa" nova hanya terdiam, acha pun ikut terdiam. Biasanya achalah yang diam dan nova yang bawel, tapi giliran keadaan berbalik, acha engga tahu harus gimana. Nova mengambil sebuah kotak, dia lalu menyodorkannya ke acha, acha langsung membuka kotak tersebut.
"Ini.."
"Surat-surat dari kak alvin cha, orang enggak penting yang selalu lo bilang, yang katanya jelek banget sampe enggak mau nunjukkin jati dirinya di depan gue, ternyata dia ganteng banget kan cha.."
"Lo sayang sama kak alvin nov ?"
"Empat tahun cha, empat tahun di setia nemenin gue lewat tulisan-tulisannya, empat tahun diem-diem selalu merhatiin gue, salah kalo gue sayang sama dia ?" air mata nova kembali turun perlahan. Acha langsung memeluk sahabatnya itu, berusaha ikut sedikit meringankan apa yang dirasakan nova.
***
Hari ini deva menemani aren. mereka duduk berdua di depan taman sekolah aren. Tepatnya, deva enggak mau ninggalin aren yang kayanya terpukul banget sendirian disini.
"Makasih ya kak, udah mau nemenin aren disini"
"Slow kali ren, apa sih yang enggak buat lo" aren tersipu mendengar kata-kata deva.
"Kak deva, masih nunggu jawaban aren ?" pertanyaan yang sudah lama ingin deva dengar.
"Iya dong ren, tapi gue enggak akan maksain lo di saat kaya gini, gue tahu kok" deva berusaha bijak, meskipun hatinya ingin berkata lebih dari itu.
"Maaf ya kak, selama ini aren cuma kaya manfaatin kakak doang, aren udah ngegantungin kakak" deva menatap aren sebentar, lalu ia hanya tersenyum.
"Kak alvin pernah bilang ke aren, buat ngasih jawaban ke kakak secepetnya, kak alvin bilang, enggak baik nyuruh kakak nunggu lama-lama"
"Terus lo mau jawab itu sekarang ?" tanya deva semangat.
"Aren mau jadi pacarnya kakak" kata aren sambil tersenyum. Hatinya lega sekarang.
"Makasih ya ren.." deva mengacak-acak rambut aren, enggak sia-sia kesabaran dan penantiannya dia selama ini.
***
Setelah menghabiskan hampir satu jam menjenguk alvin, di rumah sakit. Iel mengantarkan via pulang, dan cakka juga melakukan hal yang sama ke agni. Cakka dan iel udah janjian sama ify dan rio ke rumahnya alvin. Mereka mau bantuin beresin barang-barangnya alvin yang harus di bawa ke rumah sakit.
Rio sama ify yang sampai duluan, langsung masuk ke kamarnya alvin. Rio memainkan bola yang sering alvin bawa kemana-mana dan ify melihat, beberapa foto yang alvin susun rapi di meja belajarnya.
"Sori lama..." kata cakka yang langsung duduk di kasurnya alvin.
"Iel juga belum datang kok" jawab ify tanpa mengalihkan perhatiannya dari poto-poto tersebut.
"Ngapain nih kita ?" tanya rio menghentikan permainannya.
"Tunggu iel aja dulu.." usul cakka.
"Maaf, agak macet tadi.." iel udah nongol tiba-tiba.
"Ya udah mau ngapain nih kita ?" rio mengulangi pertanyaannya.
"Gue mau nyari proposal yang udah alvin bikin" jawab iel sambil mulai mencari di meja belajar alvin.
"Gue mau ngerapihin lemarinya alvin aja deh, mungkin semalem, pada buru-buru ngambil bajunya, jadi agak berantakan nih" ify membuka lemari baju alvin.
"Kita ngapain dong yo ?" tanya cakka sambil melirik ke arah rio.
"Gue bantuin ify, lo bantuin iel gih sono"
"Hmm, itu sih mau lo.." balas cakka, tapi dia tetap menuruti rio. Dia mulai membantu iel yang sibuk mencari.
"Ini apa ?" ify melihat-lihat sebuah amplop coklat besar, yang terletak di bawah tumpukan baju-baju alvin.
"Buka aja.." rio mengambilnya dari tangan ify dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terdapat di dalamnya.
"Enggak sopan yo.."
"Biarin, biar kita tahu semua tentang alvin" jawab rio pelan. Iel sama cakka yang denger kasak-kusuk di tempatnya rio-ify, mendekat ke arah mereka. Rio membaca kertas itu satu persatu, ekspresinya sulit di tebak, cakka, ify sama iel cuma ngelihatin doang.
"Parah...alvin..parah.." ucap rio akhirnya terbata-bata. Iel langsung merebut kertas di tangan rio tersebut.
"Baca yang keras yel" kata cakka.
"Ini, ehm..surat pernyataan kalo alvin bersedia buat.. ngedonorin organ tubuhnya.." iel yang membaca itu, memelankan suaranya di tiga kata terakhir.
"Alvin.." ucap ify lirih.
"Dia harus bangun dan ngasih kita semua penjelasan tentang ini" ujar cakka pelan. Lalu semua terdiam, menekuni kerjaan mereka yang terabaikan tadi.
***
Nova berdiri di depan pintu kamar alvin, ingin rasanya ia masuk ke dalam. Tapi ternyata orang tuanya alvinlah yang sedang menjaganya, membuat nova sedikit merasa tidak enak. Apalagi nova masih belum bisa mengontrol air matanya bila melihat alvin.
"Nova ?"
"Eh kak lintar.." nova melihat siapa yang menyapanya.
"Ngapain disini ? temen lo sakit ?"
"Kita ngobrol di tempat lain aja yuk kak" ajak nova, enggak sopan kayanya ngobrol di depan kamar orang, apalagi nova yakin lintar pasti belum tahu keadaannya alvin.
"Yang sakit kak alvin kak.." kata nova setelah mereka duduk di cafetaria rumah sakit.
"Alvin ? sakit apa ?" tanya lintar cepat.
"Kak alvin..leukimia.." nova dapat melihat dengan jelas, guratan kekagetan di wajah lintar.
"Leukimia ? stadium ?"
"Akhir.." jawab nova lirih, entah kenapa kata itu begitu berat ia ucapkan, membuat air matanya kembali mengalir.
"Kok lo nangis ? ya ampun lo kenapa ?" lintar bingung sendiri, dia menyodorkan tisu ke nova.
"Gue sayang sama kak alvin kak.." Lintar menatap nova, hatinya sakit. Gadis manis yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya, telah menautkan hatinya untuk orang lain.
"Jangan nangis dong nov, entar manisnya ilang lho..." goda lintar berusaha bersikap biasa aja.
"Maaf kak, gue jadi cengeng akhir-akhir ini"
"Gue yakin alvin bakal baik-baik aja kok nov, dia..ehm..kalian udah.." lintar menggantung kata-katanya, susah lidahnya menyebutkan kata jadian.
"Belum kak" jawab nova bagai bisa membaca pertanyaan lintar yang tidak tuntas.
"Tapi diem-diem dia selalu ada buat gue..." dan entah mengapa, nova mulai menceritakan semuanya yang baru ia tahu juga. Tentang alvin yang menyukainya dari kelas dua smp, tentang alvin yang sering melakukan hal gila sekaligus konyol untuknya, tentang alvin yang selalu menulis surat-surat ajaib buatnya, dan alvin yang tahu segala hal tentang dirinya dengan caranya.
Lintar menyimak itu, dia jadi inget saat pertama alvin membawa nova ke panti. Saat lintar memuji nova, apa yang alvin rasakan saat itu, saat lintar berusaha mendekati nova, ah, kenapa alvin tidak pernah bilang kepadanya tentang nova. Kenapa alvin malah membiarkannya dekat dengan nova.
"Maaf kak, jadi curhat.."
"Enggak apa-apa, gue suka kok dengerin cerita lo. Gue bangga aja jadi temennya alvin, pernah kenal orang sehebat dia" puji lintar tulus, belum tentu ia mampu ada di posisi alvin sekarang, pikirnya.
"Kak lintar sendiri, gimana caranya kenal kak alvin ?" tanya nova yang mulai bisa sedikit tersenyum.
"Gue kenal dia juga disini..."
_Flashback_
Lintar agak kerepotan, karena harus menemani osa yang sedang cuci darah. Biasanya dia cuma bertugas nganter doang, dan mamanyalah yang akan mengurus semuanya, tapi karena ada suatu urusan dan memang sudah waktunya osa cuci darah, lintar pun mau enggak mau nemenin osa. Untung ada seorang suster yang memang sudah terbiasa menangani osa, sehingga lintar bisa sedikit berjalan-jalan. Lintar ke arah parkiran, ia mau mengambil beberapa buku yang tadi sengaja ia bawa untuk menghilangkan penatnya disini.
"BRUUK" lintar kaget melihat seorang cowok, tinggi, putih keluar dari mobilnya dengan terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh. Darah mengalir segar dari hidungnya, bahkan seragamnya pun sudah hampir basah oleh darah. Lintar langsung memanggil petugas dan membawa laki-laki itu ke dalam rumah sakit.
"Thanks ya.." ujar laki-laki itu lirih, lintar enggak tega meninggalkan laki-laki itu sendirian.
"Gue lintar, ada saudara lo yang bisa gue hubungin ?"
"Gue alvin. Gue baik-baik aja kok.." karena belum kenal dekat, lintarpun menghargai privasi alvin yang sepertinya tidak ingin memberi tahu siapapun tentang kondisinya, yang menurut lintar cukup mengenaskan.
"Lo sakit apa ?" tanya lintar basa-basi, ia sudah berusaha bertanya pada dokter dan suster, tapi semua hanya diam, seolah mereka sudah terbiasa dengan keadaan ini.
"Cuma kecapekan.." lintar tahu betul, alasan kecapekan sangat enggak logis dengan kondisi alvin yang lebih dari kecapekan.
"Ya udah gue cabut dulu ya, mungkin adek gue udah selesai"
"Adek lo sakit apa ?" tanya alvin ramah, meski selang oksigen terpasang di hidungnya.
"Dia lagi cuci darah.."
"Bisa gue minta alamat lo ?" alvin berusaha meraih handphonenya yang di letakkan oleh suster di meja samping tempat tidurnya. Lintar yang paham langsung mengambilkan hp itu.
"Tulis nomer sama alamat lo disitu, terus simpen di draft" perintah alvin, lintar cuma nurut aja. setelah itu ia benar-benar pamit keluar dari ruangannya alvin.
_Flashbackend_
"Beberapa hari kemudian dia dateng ke panti, dia kaget awalnya, tapi dia langsung cocok sama anak-anak, dan semenjak saat itu, alvin jadi kakak asuh buat semua anak panti. Tapi dia tetep enggak mau cerita ke gue, apa yang sebenernya dia alami saat itu, sampai hari ini, semua baru jelas di mata gue" lintar mengakhiri ceritanya yang bikin nova berkaca-kaca lagi.
"Kata ray, adeknya kak alvin. Kak alvin emang selalu ngelakuin semuanya sendiri, selalu berusaha jadi yang terbaik buat semuanya"
"Nova, alvin udah nganggep lo, lebih dari sekedar adek. Enggak banyak, cowok di dunia ini bertahan lama, buat seorang cewek yang sebenernya mudah aja dia raih. Tapi dia ngelakuin itu buat lo, karena lo pemberi semangatnya. Gue yakin, lo enggak akan ngecewain alvin" ujar lintar kalem tapi dalem.
"Makasih ya kak, gue akan berusaha buat terus nyemangatin kak alvin. Gue mau ke atas, kak lintar mau ikut ?"
"Enggak usah, bentar lagi paling nyokap gue selesai. Gue titip salam aja buat alvin.." nova meninggalkan lintar sendiri. Sebenernya lintar hanya ingin memberi ruang untuk alvin dan nova, dia tahu sekarang, alvin orang yang akan mementingkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaannya sendiri.
Dengan mantap, nova menekan angka 5 pada lift. Lintar benar, dia harus bisa menjadi matahari yang sesungguhnya untuk alvin sekarang. Cukup empat tahun alvin menemaninya dengan caranya, kini biarkan ia membalas itu. Jantung nova berdegup kencang, ketika ia melihat para dokter dan suster berlari-larian.
"Kamar mana sus ?"
"Kamar 509 dok" nova terpaku di tempatnya. 509, adalah kamar alvin. Apa yang terjadi dengan alvin, bayangan-bayangan buruk bersliweran di matanya. Bukankah baru tadi, nova bisa meyakinkan hatinya untuk selalu ada buat alvin, lalu sekarang. Nova berlari ke arah kamar alvin, dia melihat kedua orang tua alvin sedang berdiri di depan pintu.
"Tante om, kak alvin kenapa ?" tanya nova panik.
"Bentar ya sayang, bentar.." mamanya alvin membelai rambut nova. Ray sudah mengenalkannya, sebagai orang yang disayangi sama alvin.
"Gimana dok ?" tanya papanya alvin saat dokter-dokter tersebut keluar dari kamar alvin.
"Anda bisa melihat sendiri ke dalam...." tanpa memperdulikan apapun, nova langsung menyeruak masuk ke dalam. Dan tubuhnya seolah membeku, air matanya kembali tumpah, luapan isi hatinya, ketika mata sipit itu membalas tatapan matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar