Hening dan sendiri. Dua kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Bukan aku melebih-lebihkannya, hanya saja, memang itulah yang terjadi sebenarnya.
Sejenak aku memejamkan mata. Sambil diam-diam berharap, beberapa detik kemudian, saat mataku terbuka kembali, semuanya akan kembali terasa ringan. Tidak lagi menghimpitku seperti ini. meski aku tahu, itu tentu saja hanya khayalan yang terlalu muluk. Karena sekuat apapun aku berusaha, rasa itu akan tetap mengcengkram perasaanku erat. Memelukku dengan jiwanya yang haus menggerogoti setiap rasa percaya diri yang aku miliki. Mencabik semua kesadaranku, meninggalkan perasaan kalut yang begitu mendalam.
Gambaranku saat ini, tidak lebih buruk dari seorang dengan penyakit mematikan yang sedang menunggu ajalnya. Terduduk diam di pojokan sebuah atap bangunan yang sepi, memeluk lutut dengan erat, dan memejamkan matanya. Aku sedang tidak peduli pada rambutku yang sudah berubah bentuk, berkibar kencang tertiup angin, tidak peduli pada tubuhku yang sudah beberapa hari ini ku abaikan begitu saja, tidak peduli pada wajahku yang terlihat terlalu sendu, dan sejujurnya aku juga sedang tidak peduli pada jiwaku, bila ia sudah bosan bersemayam di tubuhku, silahkan tinggalkan aku, aku tidak peduli.
Inikah rasanya ? akumulasi semua keputusasaan yang selama ini menghantuiku. Kumpulan semua beban, yang tanpa aku sadari, bertambah berat setiap hari. Bersatunya segala macam rasa kecewa yang bertahun-tahun betah tinggal dalam hatiku.
Setelah merasa cukup. Aku kembali membuka mataku. Dan seperti dugaanku tadi, tidak ada yang berubah. Aku tetap sendiri disini. Meratapi semuanya dengan aku dan aku. Tanpa dia, tanpa mereka, hanya aku.
Aku merogoh kantung celanaku. Mengambil satu-satunya benda yang ada di dalam sana. Sebuah handphone mungil. Tentu saja, aku tidak ingin menelpon atau mengirimkan pesan pada siapapun. Aku tidak seberani itu untuk mengadu, bahwa aku sedang butuh mereka saat ini. aku terlalu lemah, untuk sekedar meminta tolong. Aku terlalu takut, takut mereka hanya akan mengucapkan kalimat penenang untukku, yang sejujurnya, sudah tidak lagi terasa khasiatnya di tubuhku.
Benda itu mulai melantunkan sebuah lagu yang memang sengaja ku mainkan. Bukankah lebih menyenangkan bila kesepian dan kepahitan ini aku latari dengan lirik-lirik yang tepat. Intro lagu langsung mengantarkan aku untuk mengingat semuanya. Semuanya.
Jangan berakhir aku tak ingin berakhir
Satu jam saja kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada
Jangan berakhir karena esok takkan lagi
Satu jam saja kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada
Jangan berakhir karena esok takkan lagi
..bila ia ada disini saat ini. bisakah aku memintanya untuk tinggal sejenak. Untuk menemaniku, untuk menghibur kesepianku. Seperti dulu. Seperti ia pernah membuat aku tertawa. Seperti ia pernah memanggilku dengan ‘sayang’. Seperti ia pernah menyadarkanku, bahwa aku juga berhak dapat perhatian yang sama. Namun satu-satunya hal yang paling pasti, kenyataan. Telah menghempaskan aku pada satu titik. Bahwa kami, tidak pernah lagi ada di dalam cerita yang sama. Bahkan bila aku berlutut dan memohon padanya, agar semua tidak pernah berakhir. Meski hanya satu jam. Kita tidak akan bisa lagi, duduk berdua. Lihatlah aku kini, sendiri, mengenangnya dengan air mataku, dengan suaraku yang lirih. Karena semua telah selesai. Sampai di garis akhir. Tidak ada lagi kata esok untuk kami. Esokku adalah milikku, dan esoknya bukan lagi untukku.
Satu jam saja hingga kurasa bahagia
Mengakhiri segalanya
Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
Mengakhiri segalanya
Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
..aku selalu merasa bahagia saat ada di tengah-tengah mereka. Aku selalu baik-baik saja. Karena mereka adalah tameng untukku yang aku tahu, siap menjagaku, buah hati mereka. Tapi pernahkah mereka mengerti satu, bahwa diantara aku dan mereka, ada tirai tipis yang membatasi gerak. Yang perlahan namun pasti, mengalihkan langkah kakiku dan langkah kaki mereka ke jalur yang berbeda. Yang menjadikan semuanya sebuah ketidak berartian yang terlalu menyakitkan. Tangan mereka terulur kepadaku, tapi bukan untuk memelukku, hanya untuk memayungiku dari segala bahaya. Jemari mereka menyentuh pipiku, tapi bukan untuk menghapus air mataku, hanya untuk meyakinkan aku, bahwa aku bisa mengatasi ini semua sendiri. Bertanyalah padaku, sekali saja. Tentang apa yang aku mau. Karena aku hanya akan menjawab, aku mau satu jam, satu jam dimana kita duduk bersama. Dengarkan ceritaku dengan lugas tanpa rahasia. Rasakan hidupku dari sudut mata seorang sahabat. Maka setelah itu, bila kita ingin kembali dengan alur kita masing-masing aku tidak masalah. Toh kita masih akan tetap satu. Kita tetaplah sebuah tautan takdir yang aku sukuri dengan sepenuh-penuhnya. Namun rasanya kini, semua sudah terlalu jauh. Semua sudah tidak berarti. Mungkin aku yang salah. Aku yang salah.
Satu jam saja
Itupun tak mungkin, tak mungkin lagi
Jangan berakhir kuingin sebentar lagi
Itupun tak mungkin, tak mungkin lagi
Jangan berakhir kuingin sebentar lagi
..bertahanlah waktu denganku. Meski hanya satu jam lagi. Biarkan aku terbenam dulu dalam kubangan ini. karena setelah ini. seperti hari-hari sebelumnya. Aku akan kembali lagi mengikutiku gelombangku. Menjalani semua yang telah terekam dan terpatri. Melalui jejak yang membentuk pribadiku di masyarakat. Seperti yang aku bilang tadi. Rasa ini terlalu cukup menggelayut di pundakku, hingga membuat aku terjatuh dan terseok. Jadi jangan berakhir sekarang waktu. Jangan sekarang. Tolong tetap ijinkan aku untuk menikmati ini sendiri. Sebentar lagi. Hingga aku merasa lebih baik, hingga semua rasa ini bersembunyi lagi di balik senyumanku. Aku mohon kabulkan ini.
Satu jam saja ijinkan aku merasa
Rasa itu pernah ada
Rasa itu pernah ada
Baterai handphoneku habis. Cukup wajar, mengingat aku sudah tidak menchargenya sejak dua hari lalu. Sedetik aku memandangi layar handphoneku yang memantulkan bayang wajahku sendiri. Aku tersenyum kecil. hei, aku terlihat terlalu menderita disana. Padahal ini kan bukan pertama kalinya aku begini. Bukan pertama kalinya, aku pergi dari rumah, kesini, menyendiri, untuk menepikan rasa sesak di dadaku, karena hidup yang kadang terasa terlalu mempermainkanku. Aku mengikat rambutku dengan kaleng yang beberapa saat lalu masih berfungsi sebagai gelang di tanganku.
Lalu aku menepuk-nepuk kedua pipiku pelan. “Sadar Na, mellow drama lo harus berhenti sampai sini, lo harus balik ke rumah sekarang..”
Tidak sampai satu setengah jam kemudian. Aku telah berdiri di depan pintu rumahku sendiri. Menunggu di bukakan pintu. Dengan sabar dan dengan senyum tentunya.
Klek.
“Assalamu alaikum ma..”
“Waailaikum salam, udah pulang Na ? gimana acara nginepnya ?”
“Seru ma, entar Nara ceritain deh, sekarang Nara mau mandi dulu” mama hanya tersenyum, begitupun denganku. Aku langsung masuk ke dalam kamar, merebahkan diriku di atas kasur, memeluk guling kesayanganku.
“Aku memang remaja yang munafik, namun aku bukan satu-satunya..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar