Jumat, 22 April 2011

Last part 2

Senyum mengembang di bibirnnya, tangan kanannya membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak makanan. Alvin langsung paham dan mempersilahkan shilla masuk ke dalam apartemennya. Seperti sudah menjadi kebiasaan, shilla langsung ngeloyor masuk ke dapur.
“Kamu abis makan junk food lagi ya ?!” tanya shilla sambil melotot dan menunjuk sisa sampah yang ia temukan dari atas meja makan alvin. Alvin cuma bisa nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Udah berapa kali sih aku bilangin, aku kan pasti dateng bawain kamu  makanan !” alvin mendekati shilla. Dia menarik tangan shilla dan menatap matanya.
“Makasih ya..” ujar alvin lembut. Shilla hanya bisa mendesah pelan, ia selalu takluk pada senyum menawan itu. Shilla mengangguk, kemudian ia mulai memindahkan makanan-makanan yang ia bawa.
“Nih, kemarin aku sama mama masak rendang, kalo kamu mau makan, tinggal di panasin aja, kasih air sedikit, aku taro kulkas ya. Terus ini aku bawain sayur sop juga, terus yang ini tadi aku gorengin ayam buat kamu” layaknya seorang istri, shilla menerangkan secara runtut semua yang ia bawa, menatanya untuk alvin.
“Kok senyum-senyum sih ?” tanya shilla bingung.
“Enggak apa-apa seneng aja dapet perhatian dari kamu kaya gini” jawab alvin sambil mengacak-acak rambut shilla.
“Udah dong, berantakan nih..”
“Mau berantakan juga tetep cantik kok” shilla hanya tersenyum.
“Ya udah sekarang kamu makan dulu gih”
“Masih kenyang shil” tolak alvin, shilla ingin memaksa, tapi alvin keburu menarik tangannya keluar dari dapur.
Dalam apartemennya yang cukup luas ini, alvin memang tinggal sendiri. Karena seluruh keluarga besarnya tinggal di singapur. Saat weekend atau libur sekolah, kadang alvin suka mengunjungi keluarganya di sana. Tidak jarang bersama shilla dan teman-temannya yang lain. Dan sebagai pacar yang baik, shilla tentu saja selalu berusaha untuk memperhatikan alvin. Apalagi ia tidak begitu suka dengan alvin yang seorang junk food addicted.
Sambil menyenderkan kepalanya di pundak alvin. Shilla menemani alvin menyaksikan acara yang ada di tv, meski chanelnya sudah berkali-kali alvin ganti. Dalam diam, shilla mengamati wajah alvin.
“Ada apa sih ? dari kemarin kamu lihatin aku melulu” alvin yang sadar, mengalihkan matanya dari tv ke shilla. Shilla mengangkat kepalanya dari pundak alvin, dia menatap alvin sambil tersenyum.
“Yee, di tanya kok malah senyum-senyum..”
“Emang aku enggak boleh ngelihatin muka pacar aku sendiri” sahut shilla. Kali ini malah gantian alvin yang mengamatinya.
“Aku emang enggak salah pilih ya, aku sayang sama kamu” alvin mendekat ke arah shilla dan membisikkan kata-kata itu di telinga shilla. Cukup membuat pipi putih shilla memerah.
“Aku juga sayang sama kamu”
“Bener ya ? awas aja kamu sampai berani ninggalin aku”
“Mau ninggalin kamu kemana coba ?”
“Ya makanya sebelum kamu ninggalin aku, aku udah ngelarang duluan. Kan aku enggak mau kehilangan kamu..” ujar alvin sambil bergelayut manja. Shilla hanya terkekeh melihat alvin seperti itu. Alvin yang cuma bisa manja sama shilla, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia merebahkan kepalanya di pangkuan shilla.
“Hmm..manjanya kumat deh” goda shilla sambil mengelus-elus rambut alvin.
“Biarin, udah lama enggak kaya gini”
Sejenak kesunyian menemani keduanya. Terhanyut dalam suasana hangat yang mereka ciptakan. Menikmati setiap detik kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Membiarkan setiap perasaan sayang yang terasa mengikat keduanya.
“Shil..”
“Ya ?”
“Janji ya..”
“Janji apa sih vin ?”
“Jangan pernah ninggalin aku” ujar alvin serius sambil meraih tangan shilla dan menggenggamnya.
“Iya alvin..” balas shilla sambil tersenyum. Alvin meletakkan tangan shilla yang tadi ia genggam diatas kepalanya, mengisyaratkan agar shilla mengusap-usap rambutnya lagi.
Dan lagi-lagi, mereka kembali tenggelam dalam dunia privat mereka. Meski hubungan ini telah memasuki tahun kedua, tapi nyatanya kemesraan itu tetap dapat terjaga di antara keduanya. Yang terkadang menebarkan aroma iri ke sekitar mereka. Tapi sejauh apakah kesempurnaan akan bertahan.
***
Suara dentingan garpu dan sendok yang beradu dengan piring, cukup untuk mengikis keheningan di antara mereka berdua. Bukan mereka tidak ingin saling mengenal lebih dekat, hanya saja rasa canggung itu masih mengelilingi keduanya.
“Ehm, sekolah lo gimana ?” rio akhirnya memutus untuk bertanya lebih dulu, berharap keadaan ini akan mencair.
“Gimana apanya ?”
“Ya gimana keadaanya ?”
“Biasa aja, gue ikut ekskul drama dan ya selebihnya gue cuma murid biasa”
Lalu keadaan hening kembali. Mereka berdua kembali menekuni makanan di piring mereka masing-masing. Kadang mereka saling mencuri pandang dan menebar senyum, mencoba mengurangi rasa kikuk yang menggentayangi mereka.
“Rio, makasih ya udah mau nganterin gue ke toko buku” rio hanya tersenyum, ia bingung mau membalas apa. Lagipula seperti biasa, pikirannya selalu terpisah jauh dari raganya.
“Lagi mikirin ify ya ?”
“Gue emang selalu mikirin dia de, tahu deh dianya mikirin gue atau enggak” gadis yang sedang duduk di hadapannya, yang tidak lain adalah dea, hanya tersenyum mendengar penuturan rio.
“Mikirin elo jugalah pasti, masa enggak sih” hibur dea. Rio hanya mengangkat kedua bahunya.
“Eh sori de, kita malah ngobrolin ini, padahal elo....” rio menggantung kata-katanya sendiri, agak sulit bibirnya mengungkapkan hal tersebut.
“Santai kali yo, kaya yang udah kita omongin sebelumnya, gue sama elo sama-sama punya kehidupan pribadi masing-masing, dan kita masih punya waktu buat milih” timpal dea yang paham kemana arah pembicaraan rio.
“Thanks ya de, elo udah mau ngertiin ini”
“Sama-sama kali yo, ini juga masih kerasa kaya mimpi kok buat gue. Oh ya, gimana udah berhasil nemuin cara buat cerita ini ke sahabat-sahabat lo ?”
“Belom de, elo sendiri ?” dea hanya menggeleng sambil tersenyum. Rio dan dea sama-sama tahu, ini semua tidak semudah kelihatannya, begitu rumit malah untuk remaja berusia 17 tahun seperti mereka.
***
Suara pantulan bola basket yang menggema menjadi satu-satunya suara yang tercipta di antara mereka. Paling-paling sesekali desahan napas yang menemaninya. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, atau mungkin tidak ada yang bisa menemukan kata yang tepat untuk membuka pembicaraan.
“Ma..main basket yuk”
Cakka menoleh ke arah agni yang merebut bola yang sedari tadi ia pantulkan. Agni tersenyum ke arahnya sambil berlari-lari kecil mendribel bola. Rambutnya yang diikat, bergoyang kesana kemari. Senyumnya yang manis, seperti tidak menyimpan luka.
“Ag, gue mau ngomong”
Seolah tidak mendengar kata-kata cakka, agni terus mendribel bolanya. Berusaha membujuk cakka untuk ikut bermain bersamanya.
“Ag, gue mau minta maaf”
Untuk sesaaat agni terdiam, dia tersenyum tipis, rasanya ia pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya. Tapi kemudian agni mulai memainkan bolanya kembali. Dia berlari ke arah ring, mengambil ancang-ancang dan melempar bolanya.
“Yes, masuk !” ujar agni senang. Cakka mengamati agni, gadis itu, selalu begini. Dia mendekati agni, yang sedang mendribel bolanya kembali. Cakka mengikuti permainan agni, sambil berharap agni mau menatap matanya.
“Ag, gue...”
“Udahlah cak, gue enggak suka ngebahas yang udah lewat, udah ayo main lagi” sela agni sambil tersenyum dan melemparkan bolanya ke arah cakka.
“Ayo dong main..” bujuk agni, karena cakka hanya memegang bola itu erat-erat dan bukan memainkannya. Ia memandangi agni. Sikap agni yang seperti inilah, yang malah terasa menusuk batinnya, menggiringnya dalam perasaan bersalah.
“Cakka, lo mau sampai kapan megang itu bola ?” tanya agni sambil merengut. Cakka melihat bola yang ada di tangannya, dia tersenyum. Kemudian mulai mendribel bolanya.
“Nah gitu dong dari tadi” sahut agni sambil berusaha merebut bola dari cakka. Tidak butuh waktu lama, mereka langsung melebur dalam permainan mereka seperti biasa. Tertawa dan bercanda bersama. Saling berkejaran merebut bola. Berlari seperti ingin meninggalkan hari kemarin, berlari seperti ingin cepat-cepat menemui hari esok. Dan menanti, kejutan apa yang di berikan hidup untuk mereka.
***
Seperti hari minggu yang sebelum-sebelumnya, hari minggu kali ini pun. Iel telah siap sedia di rumah via sejak pagi tadi. Awal-awal hubungan ini berlansung, via sangat menikmati kunjungan iel ini. Menunggu iel yang menemani mamanya belanja ke pasar, memperhatikan iel yang membantu papanya mengurusi kebun kecil di rumah mereka, melihat iel yang begitu akrab dengan adik bungsunya yang masih berusia lima tahun.
Siapapun pasti akan senang ada di posisi via, mendapatkan pacar seperhatian iel. Tapi akhir-akhir ini, perhatian itu terasa sedikit menjemukan bagi hidupnya. Terkadang via merasa bernapas pun ia di batasi. Membuatnya sedikit suntuk, dan memerlukan sesuatu yang baru dalam hidunya.
Via tidak bisa bohong bahwa ia sangat-sangat menyayangi iel, apapun yang terjadi iel adalah orang yang telah menemaninya satu setengah tahun belakangan ini. Dia tidak bisa menjamin dirinya akan baik-baik saja tanpa kehadiran iel di sampingnya.
“Baca apaan sih vi, serius banget” via meletakkan novelnya di meja, ia memberi kode supaya iel duduk di sampingnya.
“Kenapa vi ?”
“Aku mau ngomong yel..”
“Soal apa ? kamu lagi ada masalah ? atau aku salah sama kamu ? atau ada yang enggak enak yang kamu rasain ? apa vi ?” via menghela napas sebentar.
“Soal kita, aku sama kamu” iel meneggakkan duduknya, ia bisa membaca raut serius di wajah via.
“Ada yang salah ?”
“Bukan salah yel, enggak ada yang salah tapi proteck kamu ke aku udah terlalu over dan jujur, aku agak enggak nyaman sama ini” iel diam mendengar kata-kata via, via sendiri menunduk, lebih memilih memandangi lantai ketimbang iel. Lama mereka saling berdiam, membuat via malah merasa bersalah dalam keadaan ini.
“Maaf..” ujar via lirih.
“Aku yang harusnya minta maaf, udah bikin kamu ngerasa enggak nyaman kaya gini” iel tersenyum ke arah via, tapi via tetap menunduk. Dengan tangannya, iel mengangkat dagu via, membuat via menatap matanya.
“Maaf ya, aku cuma terlalu sayang sama kamu.  Terus sekarang kamu maunya gimana ?”
“Aku cuma mau enggak selebai itu yel, aku tahu kok kamu sayang sama aku, tapi enggak usah sampai segitunya” via menunduk lagi, ia takut kata-katanya menyakiti iel.
“Ya udah kalo itu mau kamu” sahut iel.
“Makasih..”
“Senyum dong” bujuk iel sambil mengusap pipi lembut via.
Sambil tersenyum manis, via menatap iel dalam-dalam. Berharap kali ini, iel benar-benar mengerti apa yang dia mau. Bukan dia ingin banyak menuntut ini itu. Dia hanya tidak ingin hubungan ini di penuhi rasa sesak di dada masing-masing. Ia hanya ingin ikatan ini mengalir sejujur mungkin. Tanpa perlu menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, cukup menjalani ini semua apa adanya.
***
Sore yang cerah, waktu yang tepat untuk berkumpul. Dan seperti biasa, gazebo rumah rio yang luas menjadi sasaran mereka semua untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Saling melempar candaan dan cerita.
“Eh gue mau ngomong” ujar rio tiba-tiba.
“Ya udahlah ngomong..” sahut alvin. Rio menatap semua temannya satu persatu-satu, yang tentu saja malah membuat teman-temannya itu heran.
“Elo kenapa ?” tanya iel bingung.
“Emang nyokap lo enggak cerita shil ?” shilla yang ikutan hening kaya yang lain, cuma bisa menggeleng menjawab pertanyaan sepupunya itu.
“Ada apa sih ?” tanya cakka semakin penasaran.
“Ehm..itu..gue mau cerita..kalo gue..itu..ehm..”
“Ya elah yo, ribet amat mau bilang apa sih ?” tanya agni enggak sabaran. Rio menggaruk belakang kepalanya sebentar.
“Gue..eh..gue..”
“HALO SEMUANYA !!!”
Semua mata yang dari tadi sibuk memandang rio, kini langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah lain, termasuk rio sendiri. Sorot mata bingung dan kaget perlahan-lahan berubah menjadi sorot mata senang.
“Kok ngelihatinnya gitu banget sih lo semua ?”
“IFY !!” teriak via, agni dan shilla kompak. Mereka bertiga langsung menghambur memeluk ify.
“Eh udah woi, sesek ini gue” ujar ify, yang membuat ketiganya nyengir dan melepaskan pelukan mereka. Rio yang matanya terus mengamati ify sejak tadi, berjalan mendekat ke arah ify, dan berhenti tepat di depan ify.
“Hai rio..” ingin rasanya rio melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan via, agni dan shilla. Tapi satu-satunya ekspresi yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum. Ify membalas senyum itu. Senyumnya masih sama, masih selalu membuat jantungnya lompat kesana kemari.
“Enggak kangen sama gue ya lo ?” goda ify, yang sesungguhnya sedikit bingung dengan kelakuan rio. Rio menarik tangan ify, membuat badan ify jatuh di dalam pelukan rio.
“Selalu fy, gue selalu kangen sama elo” bisik rio, sehingga kata-kata itu hanya dapat di dengar oleh ify.
“Makasih..” balas ify sambil tersenyum. Tanpa ify atau siapapun tahu, di balik senyuman rio yang menawan itu, ada pikiran lain yang memenuhi pikiran rio saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar