“Saya punya penjelasan untuk ini semua..”
Semua yang ada disana menoleh ke arah pintu masuk. Bahkan ada beberapa yang berdiri untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin” ucap rio pelan hampir tidak terdengar.
Alvin hanya tersenyum kecil. Di tangan kirinya terjepit kruk yang menopang badannya. Kondisinya jelas masih terlihat payah. Sambil tertatih-tatih dan di bantu oleh via yang berdiri di sampingnya, alvin berjalan menuju panggung. Rio yang baru tersadar dari lamunananya langsung turun untuk membantu alvin.
“Enggak usah yo, gue bisa sendiri..” tolak alvin sambil terus berusaha jalan ke atas panggung. Rio melirik ke arah via, berusaha mencari penjelasan tapi via hanya menggeleng.
“Pasti semua bingung, apa hubungan lukisan ini sama turnamen kali ini, untuk itu saya punya penjelasannya..” ujar alvin lirih sambil berdiri di samping lukisannya.
Bagai sedang ada di dalam pengaruh hipnotis, semua yang ada di ruangan itu menatap lurus ke arah alvin dan lukisannya. Sesungguhnya lukisan itu sangat sederhana, di dalam lukisan itu, tergambar punggung seorang anak laki-laki kecil yang sedang bergandengan dengan papanya. Latarnya tampak seperti sebuah taman kota, mereka terlihat berjalan ke arah matahari yang hampir terbenam. Tidak begitu istimewa tapi ada sebuah daya tarik yang mampu membuat orang untuk tidak berpaling dari lukisan tersebut.
“Lukisan ini menceritakan tentang hubungan seorang ayah dan anaknya, hubungan yang begitu dekat, hubungan yang begitu bersahabat, hubungan yang begitu privat, seperti layaknya seorang ayah dan anak pada umumnya. Energi itulah yang menghubungkan lukisan ini dengan turnamen kali ini..” alvin jeda sebentar, rasa sakit di kepalanya berdenyut hebat.
“Ibu memang elemen paling utama dalam kehiudpan kita, tapi bukan berarti juga kita harus melupakan sosok ayah, tanpa dia yang berkerja keras siang malam, tidak mungkin untuk kita bisa merasa hidup nyaman dan tenang. Ayah selalu di gambarkan sebagai sosok yang keras, galak, cenderung otoriter bahkan kadang kasar..” alvin menatap mata papanya yang sedang menatap matanya, dan ia hanya tersenyum.
“Tapi di balik semua itu, dialah yang selalu berusaha keras memikirkan segala yang terbaik untuk anaknya untuk keluarganya. Seperti halnya turnamen ini, kita semua saling berteman bersahabat satu sama lain, layaknya seorang ayah dan anak, tapi ada kalanya, kita harus saling memeras otak memikirkan bagaimana caranya untuk menang tanpa harus merubah pertemanan kita menjadi permusuhan, seperti seorang ayah, yang selalu keras pada anak-anaknya tanpa harus merubah posisinya dari seorang ayah menjadi seorang musuh untuk anak-anaknya..”
“Lukisan ini saya persembahkan untuk...pa..pa..” papanya alvin yang dari tadi diam menyimak, tidak mampu menyembunyikan raut wajah sedihnya lagi. Kata-kata alvin, seorang anak yang selama belasan tahun selalu ia cela, yang selama belasan tahun selalu ia hadiahi pukulan dan tamparan, yang selama belasan tahun selalu tidak pernah ia anggap, kini berdiri di atas panggung, berbicara seolah hubungan mereka begitu akrab.
Rio dan via yang menyaksikan dari sisi panggung, juga ikut terbawa suasana. Butiran hangat malah telah membasahi pipi via.
“Rio, bisa bawa gitar lo ?” permintaan alvin tentu saja membuat rio bingung, tapi iel yang entah datang dari mana, menyodorkan sebuah gitar ke arahnya, tanpa pikir panjang rio langsung naik ke atas panggung.
“Mau ngapain vin ?” alvin membisiki rencanya, rio tampak mengernyit, tapi ia mengerti. Alvin menganggukan kepalanya, dan rio mulai memetik senar gitarnya.
Hey dad look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
Do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
but it hurts when you disapprove all along
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
Do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
but it hurts when you disapprove all along
Rio menoleh ke arah alvin, dia baru tahu saudaranya itu ternyata memiliki suara yang enak di dengar. Apalagi isi lagu yang ia bawakan memang curahan hatinya.
And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't pretend that I'm alright
And you can't change me
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Alvin diam sebentar, hal itu tentu saja membuat rio bingung, dia menoleh lagi ke alvin dan sadar bahwa muka alvin begitu pucat.
“Lo baik-baik aja kan ?”
“Lanjut yo..” ujar alvin lirih sambil tersenyum dan melanjutkan nyanyiannya.
I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spend with me
Now seem so far away
And it feels like you don't care anymore
And now I try hard to make it
I just want to make you, proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't stand another fight
And nothing's alright
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Nothing's gonna change the things that you said
Nothing's gonna make this right again
Please don't turn your back
I can't believe it's hard
Just to talk to you
But you don't understand
I try not to think
About the pain I feel inside
Did you know you used to be my hero?
All the days you spend with me
Now seem so far away
And it feels like you don't care anymore
And now I try hard to make it
I just want to make you, proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't stand another fight
And nothing's alright
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Nothing's gonna change the things that you said
Nothing's gonna make this right again
Please don't turn your back
I can't believe it's hard
Just to talk to you
But you don't understand
Papa mereka terus melihat ke arah mereka berdua. Suara alvin terasa seperti mengiris batinnya perlahan-lahan.
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
Cuz we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry
I can't be perfect
Now it's just too late and
We can't go back
I'm sorry
I can't be perfect
“Bruukk”
“Alvin !” teriak rio dan via bersamaan. Via dan iel langsung naik ke atas panggung, mendekati rio yang sedang bersimpuh di sisi alvin.
“Bawa alvin ke rumah sakit !” via, rio dan iel kompak menoleh.
“Papa..”
“Ayo rio kita bawa alvin ke rumah sakit !” perintah papanya sekali lagi. Di bantu oleh rio, iel dan beberapa anak lain, alvin pun langsung di bawa ke rumah sakit.
Sementara itu cakka yang saat itu masih ada di dalam kelas, merasa risih dengan hpnya yang terus-terusan bergetar di saku celananya. Akhirnya cakka pun memutuskan untuk ijin kepada gurunya.
“Halo cha..”
“Kak cakka lama amat sih baru diangkat ? udah aku telponin dari tadi juga, kakak tahu enggak keadaan kak alvin sekarang gimana ?” acha langsung memberondong pertanyaan.
“Cha, satu-satu ngomongnya. Aku kan lagi ada kelas. Emang alvin kenapa ?”
“Emang kak cakka enggak tahu ?”
“Enggak..”
“Kak alvin tuh tadi ke sekolah, tapi terus dia pingsan, sekarang di bawa lagi ke rumah sakit, aku pikir kakak ikut..”
“Kamu serius cha ?”
“Iya kak kan ak..”
“Ya udah cha aku mau cek dulu ya, entar kalo aku udah tahu, aku telpon kamu” potong cakka cepat sambil langsung mematikan teleponnya. Cakka langsung berlari ke arah ruang osis, dia pengen tahu apa yang terjadi.
“Tadi emang alvin kesini ? dia ngapain ?” tanya cakka ke siapapun yang mau jawab.
“Iya tadi dia kesini terus...” seorang anak perempuan mulai menjelaskan semua yang terjadi ke cakka. Cakka cuma ngangguk-ngangguk serius mendengarkan. Setelah mendengar penjelasan tersebut, cakka langsung berniat untuk nyusulin alvin ke rumah sakit, tapi dia penasaran sama lukisan alvin yang di ceritain anak tadi.
“Wow..” gumam cakka saat melihat lukisan di depan matanya itu, gumam kekaguman yang nyata. Tiba-tiba otaknya berkerja, sebuah rencana langsung tergambar jelas di pikirannya. Tanpa basa-basi lagi, cakka langsung berlari.
“Harus hari ini vin, orang bakal tahu hari ini” ujar cakka sambil terus berlari.
Seperti sebuah setrika, papanya alvin terus mondar-mandir di depan pintu kamar alvin. Dokter sedang memeriksa alvin di dalam. Raut panik juga tampak di wajah via, untuk itu rio terus menggenggam tangan via yang terasa dingin dan gemetar.
“Ini salah gue yo, harusnya gue enggak bantuin dia buat pergi ke sekolah” sesal via.
“Enggak vi, enggak ada yang salah..” sangkal rio. Hatinya sendiri terasa tidak karuan, selain masih ada rasa bersalah yang begitu besar bersarang disana, rasa kekhawatiran yang teramat sangat juga menguasai rio.
“Gimana dok keadaan alvin ?” tanya papanya cepat begitu dokter keluar dari kamar alvin. Rio dan via yang ada di situ juga langsung mendekat ke arah dokter.
“Kondisinya belum stabil, dia terlalu memaksakan, padahal fisiknya masih sangat lemah, biarkan dia beristirahat dulu..” papanya langsung mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, mengucap syukur dalam hati.
“Vi kamu balik ya, aku anterin..” via menggeleng menolak tawaran rio.
“Ayolah vi, lihat deh kamu belum ganti baju dari semalem. Lagian alvin belum bisa di jenguk” bujuk rio lagi.
“Udah nak via, bener kata rio, mending kamu pulang dulu” papanya alvin-rio ikut membujuk via. Sesungguhnya via masih ingin tetap disini meski ia tahu belum bisa melihat alvin, tapi rio mungkin benar, ada baiknya ia beristirahat dulu di rumah sebentar.
“Aku naik taksi aja yo..”
“Kamu mau aku di gorok alvin kalo dia udah sadar dan tahu aku ngebiarin kamu naik taksi, udah ayo..” rio langsung menarik tangan via. Via hanya pasrah di tarik. Sepanjang perjalanan di mobil, mereka berdua hanya saling berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Memantapkan langkahnya, cakka langsung menghampiri papanya alvin yang nampak sedang duduk seorang diri di depan kamar alvin.
“Kok di luar om ?” tanya cakka basa-basi sambil duduk di samping papanya alvin.
“Alvin masih istirahat di dalam, belum boleh di ganggu”
“Om masih inget saya kan ? saya yang semalem..”
“Pacarnya acha kan ?” cakka cuma nyengir mendengar tebakan papanya alvin yang tepat.
“Ternyata om perhatian juga”
“Kecuali sama alvin” cakka menoleh, dia hanya bisa tersenyum. Kemudian ia teringat benda yang ia bawa dan memang ingin ia tunjukkan ke papanya alvin.
“Ini om..” meski bingung, papanya alvin tetap menerima sketch book yang cakka sodorkan. Perlahan ia membuka sketch book itu, halaman demi halaman, kadang ia meraba gambar yang alvin bikin, ada bermacam-macam objek disana, mulai dari hanya sebuah kotak, bola, hingga gambar pemandangan yang indah.
Tangannya berhenti di sebuah halaman. Batinnya terenyuh melihat gambar itu. Nalurinya terasa tercabik. Gambar itu menunjukkan, alvin kecil yang sedang duduk di apit oleh kedua orang tuanya. Sesuatu yang tidak pernah sekalipun terjadi di kehidupan nyata. Lalu halaman berikutnya, lagi-lagi mengoyak batinnya, sebuah sketsa yang sedang menggambarkan mereka berdua, alvin dan papanya nampak sedang bermain bola bersama. Dan di halaman terakhir, sebuah gambar yang sangat sederhana cenderung aneh malah, hanya gambar sebuah telapak tangan yang terbuka lebar, tapi di bawah gambar itu ada tulisan tangan alvin.
Satu-satunya fakta yang gue tahu tentang papa...
Sebutir air mata menetes menjatuhi gambar tersebut. Ya, memang hanya tangannyalah yang selalu ia berikan untuk alvin, atau lebih tepatnya, hanya tamparannyalah yang selalu menyentuh alvin.
“Maaf om..” ujar cakka kikuk, dia merasa tidak enak melihat papanya alvin menangis.
“Dia pintar menggambar seperti mamanya”
“Ada banyak sketch book yang dia punya, dimana ada dia, pasti ada sketch booknya, di loker sekolah, di tas ranselnya, dan pasti di kamarnya. Ini cuma salah satu yang tertinggal di loker sekolah om..”
“Kenapa dia enggak pernah bilang tentang ini”
“Saya juga tahunya enggak sengaja, dia selalu ngerahasiain ini, entah untuk apa. Saya nunjukkin ini ke om, bukan untuk apa-apa saya cuma mau nunjukkin kalo om enggak cuma punya satu anak laki-laki berbakat, tapi om punya dua anak laki-laki berbakat..” jelas cakka.
“Om tahu, semoga alvin masih mau ngasih kesempatan kedua buat om..”
“Pasti mau, saya rasa dia juga udah mulai kangen sama sosok om, dia udah lama kehilangan figur papa di hidupnya dia..”
“Semoga..” kata papanya alvin sambil tersenyum. Kemudian ia melihat sketch book yang ada di tangannya, semua yang ada disitu, serasa benar-benar menusuk perasaannya. Impian-impian alvin yang sederhana, hanya tentang kebersamaan di antara mereka berdua yang terbuang begitu saja, bahkan tidak dapat ia wujudkan.
***
Hanya tinggal rio dan papanya saja yang menunggui alvin. Kondisi alvin sudah mulai stabil, tapi ia belum juga sadar dari komanya. Rio sudah berhasil untuk membujuk via agar istirahat dulu seharian ini, biarkan ia dan papanya yang menunggui alvin. Mereka berdua sama-sama duduk di samping tempat tidur alvin.
“Pa..pa..” panggil alvin lirih.
“Iya vin, ini papa, rio kamu panggil dokter sana..” rio langsung bergegas keluar kamar.
“Papa..” panggil alvin lagi kali ini sambil berusaha tersenyum, alvin tampak senang, melihat papanya ada di sampingnya sekarang.
Sorot kebahagiaan bercampur rasa lega juga tergambar jelas di mata papanya alvin. Tapi nuraninya bertanya-tanya, masih pantaskah ia di panggil seorang papa ?
“Jangan banyak ngomong dulu vin, kondisi kamu masih lemah” ujar papanya, meski ia ingin sekali ngobrol panjang lebar dengan alvin, melakukan hal simpel yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.
“Biar saya periksa dulu pak..”
Papanya mempersilahkan dokter yang rio panggil untuk memeriksa alvin. Setelah di pastikan kondisi alvin telah lebih baik, dokter pun langsung keluar dari kamar alvin. Meninggalkan alvin, rio dan papanya lagi.
“Papa mau minta maaf vin..” alvin dan rio kompak menatap papanya.
“Alvin yang selama ini bandel pa, alvin yang harusnya minta maaf” jawab alvin. Rio jadi merasa ia bagai orang asing di situasi ini.
“Kamu enggak akan kaya gini kalo papa sedikit aja perhatiin kamu..”
“Pa, boleh alvin nanya ?” papanya hanya mengangguk.
“Apa alasan papa benci sama alvin ? alasan papa enggak pernah mau nerima alvin dari alvin kecil ?” alvin merasa miris sendiri menanyakan hal seperti itu, tapi dia merasa ini momen yang pas untuknya.
“Bukan benci tapi papa cuma terlalu egois. Apa kamu pernah merasa, setiap inci wajah kamu, mata kamu, hidung kamu, semuanya, mirip banget sama mama kamu. Saat papa melihat kamu, saat itu papa seperti melihat mamamu, itu alasan awal kenapa papa enggak pernah bisa melihat kamu, karena saat itu terjadi, yang papa lihat adalah mama kamu..” papanya tersenyum lirih. Tapi alvin seolah ingin terus mendengar semua apa yang ingin ia dengar sejak lama.
“Konyol kan alasan papa ? tapi tanpa papa sadar, sikap papa itu bikin ada jarak diantara kita. Dan lama-kelamaan jarak itu timbul jadi jurang yang semakin membesar. Papa minta maaf, minta maaf untuk semuanya..”
Alvin memandang papanya letih. Sekian lama ia dan papanya berseberangan, hanya untuk sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal untuknya, hanya karena ia menuruni wajah yang sama dengan mamanya sendiri.
“Papa juga minta maaf. Enggak seharusnya papa banding-bandingin kamu sama rio, kalian jelas-jelas berbeda, kadang papa ngelakuin itu biar kamu termotivasi untuk maju juga, tapi papa tahu, cara papa salah, enggak seharusnya papa kasar dan keras sama kamu..” sambung papanya lagi.
“Enggak sepenuhnya salah papa. Alvin juga enggak pernah nurut sama semua yang papa perintahin, awalnya alvin lakuin itu biar papa lebih perhatian ke alvin, tapi lama-lama semua itu malah tambah bikin alvin jauh sama papa, alvin juga minta maaf ya pa..” papanya tersenyum ke arah alvin. Dia berdiri dan mencoba memeluk alvin. Hati alvin berdesir tatkala tangan papanya, memeluknya erat, untuk pertama kalinya, alvin merasakan hal ini, hangat dan nyaman.
“Papa janji enggak akan pernah kasar lagi sama kamu”
“Alvin pegang janji papa..”
“Soal kecelakaan kamu ini, papa udah minta tolong sama polisi untuk nyelidikin siapa yang nabrak kamu, kalau perlu entar kita sewa tim independen buat cari tahu..” kata-kata papanya itu, cukup menyambar bagi rio, keringat dingin langsung membasahi tubuhnya.
“Udahlah pa, mungkin waktu itu memang alvin aja kali yang salah. Yo, kok lo diem aja sih dari tadi ?”
Rio diam terpaku. Haruskah ia mengakuinya sekarang, di tengah suasana yang sedang hangat dan tentram ini. Bisakah ia mengakuinya sekarang. Sanggupkah ia menerima segala resikonya.
“Rio..” panggil alvin lagi membuat rio tersentak. Rio menatap papanya dan alvin bergantian.
“Gue mau ngaku vin, gue..ehm..gue yang udah bayar orang buat nabrak elo” alvin dan papanya sama-sama terlonjak kaget mendengar penuturan rio. Kata-kata itu terdengar seperti lelucon di telinga mereka.
“Kamu ..”
“Iya pa, aku yang udah ngelakuin itu”
“Rio !”
“Papa !” tepat saat papanya mau menampar rio, tangan alvin menahan tangan papanya.
“Papa udah janji enggak bakal kasar lagi, dan janji itu juga berlaku buat rio” ujar alvin sambil menatap papanya tajam, papanya akhirnya menurunkan tangannya meski memandang rio geram.
Rio hanya menunduk, memandangi lantai yang memantulkan bayangan wajahnya. Dia tahu dia bahkan pantas menerima lebih dari sebuah tamparan. Tapi mengapa alvin masih membelanya. Karena hal itu malah membuat dirinya tambah merasa bersalah dan menyesal.
“Segitu bencinya elo ke gue yo ? sampai elo ngelakuin cara kaya gitu ?” tanya alvin yang masih sangat shock dengan pengakuan rio.
“Saat itu gue panas banget vin, gue enggak terima ngelihat elo bisa lebih daripada gue, gue enggak pernah ada di posisi itu dan sekalinya gue ngerasain posisi itu, gue enggak siap mental buat ngadepinnya. Gue sadar, gue salah, gue siap nanggung semuanya. Kalo papa mau, pulang dari sini papa bisa bawa rio ke kantor polisi..” rio memberanikan diri menatap papanya.
Lagi-lagi papanya merasa ialah yang patut di persalahkan dalam hal ini. Seandainya dia tidak selalu mengunggulkan rio, rio pastilah tidak terbentuk sebagai orang yang selalu ingin menjadi yang pertama di segala hal hingga menggunakan cara yang tak lazim seperti ini.
“Enggak yo, buat gue elo mau ngaku kaya gini aja udah cukup kok. Elo udah nunjukin sikap ksatria lo, toh gue enggak peduli-peduli amat, lagian gue juga sehat-sehat aja kan sekarang, gue maafin elo..”
“Vin elo ?”
“Iya gue maafin asal lo ikhlasin via buat gue..hehe..” rio langsung nyengir selebar mungkin. Dia enggak nyangka alvin sangat berjiwa besar seperti ini.
“Makasih banyak ya vin..haha..dia emang lebih pantes sama lo kok..”
“Papa seneng lihat kalian kaya gini. Oh ya rio, papa juga mau minta maaf sama kamu, mulai hari ini terserah kamu mau ngelakuin apa, papa enggak akan banyak ikut campur lagi, asal, itu sesuatu yang positif”
“Siap bos !” seru rio sambil hormat ke arah papanya. Mereka bertiga terus larut dalam obrolan-obrolan seru yang selama ini mereka lewatkan. Tertawa dan bahagia bersama, layaknya seorang keluarga sejati.
***
Suasananya gelap, bahkan lampu taman yang biasanya menyala pun malam ini padam. Sedikit terasa horor dan membuat bulu kuduk aren berdiri. Aren meraih hpnya, dan melihat sms terakhir dari iel, memastikan bahwa ia tidak salah mengartikannya.
From : ka’gabriel
Gue tunggu di taman, cepet ya cantik J
“Kak iel !” panggil aren sambil celingak-celinguk.
“Kak..kak iel..” tidak ada satupun sahutan untuknya. Sebenernya bisa saja aren menunggu disini, tapi gelapnya taman malam ini cukup mengadu nyalinya. Setelah mencoba beberapa kali memanggil iel kembali dan tetap tidak ada balasan, aren pun memutuskan untuk kembali.
“Belum ketemu kok udah mau pulang sih cantik” aren berbalik ketika suara yang familiar itu muncul di belakangnya. Dan betul saja, tampak iel sedang memegang sebatang lilin di tangannya.
“Kak iel kok bawa lilin ?” tanya aren bingung.
“Lampu tamannya gelap ren, jadi tadi gue cari warung dulu buat beli lilin, biar elo enggak kegelapan”
“Makasih..” iel hanya tersenyum sambil mengajak aren duduk di bangku taman yang biasa mereka duduki. Aren dan iel memang diam-diam suka ketemu di taman ini, sekedar untuk saling bercerita dan menghibur satu sama lain.
“Ada apa kak ?”
“Apa harus ada alasan buat ketemu elo ren ? hehe..”
“Enggak sih, tapi mungkin emang ada sesuatu gitu”
“Enggak ada apa-apa sih, gue cuma kangen sama lo” bahkan hanya dengan bermodalkan cahaya lilin, iel bisa melihat rona merah di pipi aren.
“Gombal deh”
“Haha, ren gue boleh nanya ?” aren hanya mengangguk, selalu ada rasa nyaman saat dia menghabiskan waktu berdua bersama iel.
“Apa gue boleh berharap untuk jadi cowok lo ?”
“Maksud kakak ?”
“Gue sayang sama lo, dari awal gue ngelihat elo. Gue enggak gampang jatuh cinta, dan elo cinta pandangan pertama gue” aren melihat senyum iel, mengingat segala hal yang telah iel lakukan, rasa aman dan nyaman yang ia rasakan.
“Gue juga sayang sama elo kak” ujar aren sambil tersenyum.
“Jadi ?”
“Enggak usah berharap lagi, gue mau jadi cewek lo” di bawah temaram sebatang lilin iel dan aren sama-sama mengakui tentang isi hati mereka, meski mereka sama-sama tahu, rintangan apa yang harus mereka lalui bersama.
“Makasih, aku sayang sama kamu cantik” ucap iel sambil mengusap pipi aren, yang cukup membuat aren tersipu. Tanpa mereka sadari, bukan hanya mereka yang ada diantara dingin dan gelapnya malam itu.
nangis bacanya .. sampe sesenggukan .. kerenn ka .. maap telat baca , hehe
BalasHapusTerharu pas baca. Keren dah
BalasHapus